Menuju konten utama

Mitos Panjang Pantai dan Polemik Kebiasaan Impor Garam

Praktik impor garam dianggap tidak tepat karena dalih garis pantai Indonesia yang panjang. Apakah persoalannya sesederhana itu?

Mitos Panjang Pantai dan Polemik Kebiasaan Impor Garam
Seorang petani membersihkan lumpur yang memenuhi tambak sebelum digunakan untuk membuat garam di kawasan penggaraman Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (3/3). Petani garam setempat kembali mengolah tambak setelah selama tiga bulan tidak berprodilsi akibat musim hujan. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/kye/17.

tirto.id - Kebijakan impor garam sering menuai kritik masyarakat karena satu fakta sederhana: bahwa garis pantai Indonesia sangat panjang, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Bahkan persoalan ini sudah menjadi kritikan dunia usaha dalam negeri sejak hampir satu dekade lalu.

Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 2013 lalu menyebut garis pantai Indonesia mencapai 99.093 kilometer (km) berdasarkan telaah teknik pemetaan Tim Kerja Pembakuan Nama Pulau, Perhitungan Garis Pantai, dan Luas Wilayah Indonesia. Data ini lebih panjang ketimbang data tahun 2008 sepanjang 95.181 km.

Saat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa kementeriannya merekomendasikan impor garam 2,1 juta ton tahun ini, dan Kemenko Perekonomian merekomendasikan lebih besar, 3,7 juta ton, kritikan pun datang lagi.

Kerangka berpikir soal garis pantai yang panjang berbanding lurus dengan produksi garam memang perlu ditelaah lagi. Ini karena banyak faktor yang tak bisa langsung menjadi kausalitas antara panjang pantai dan produksi garam yang dihasilkan oleh suatu negara. Sebagai contoh, Cina dengan panjang garis pantai hanya nomor ke-12 dunia, kenyataannya menurut catatan Statista mampu sebagai produsen garam terbesar di dunia. Begitu pula dengan Amerika, dengan garis pantai di urutan ke-9 dunia, justru jadi produsen garam terbesar kedua.

Korelasinya memang sangat kompleks, dalam kasus Indonesia, faktanya tidak semua wilayah pantai di Indonesia bisa menjadi sentra produksi garam. Menurut laman Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Tegal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada sejumlah persyaratan agar suatu lahan bisa dipakai untuk tambak garam. Di antaranya, sumber daya air laut, yang meliputi kadar garam, derajat keasaman (Ph), dan polusi air; pasang surut air laut; iklim dan cuaca; angin; serta kelembaban udara.

Sekretaris Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Cucu Sutara mengatakan bahwa garis pantai yang panjang berbanding lurus dengan produksi garam adalah mitos yang terus langgeng di masyarakat. "Tidak semua garis pantai bisa jadi sentra garam. Di Indonesia hanya tujuh provinsi yang jadi sentra produksi garam," kata Cucu kepada Tirto, Selasa (23/1).

Tujuh provinsi yang dimaksud adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan sebagian Aceh. Sementara kawasan yang terkenal dengan pantainya seperti Pangandaran dan Pelabuhan Ratu tidak bisa menjadi sentra produksi garam karena kadar garam di air laut di sana rendah.

Menurut Cucu, luas lahan produksi garam Indonesia sebesar 126.024 haktare. Dengan musim panas yang konstan empat bulan, kata Cucu, "maksimal produksi 1,9 juta ton per tahun."

Apa yang dikatakan Cucu mendekati data yang dilansir KKP. Disebutkan bahwa pada 2014 lalu, produksi garam rakyat mencapai 1,87 juta ton, naik signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya 930 ton. Meski demikian, produksi garam rakyat masih jauh lebih besar ketimbang PT Garam (persero), yang hanya bisa membuat 315 ribu ton pada 2014 dan 156 ribu ton pada tahun sebelumnya.

Sebagai pelaku industri yang membutuhkan garam, Cucu dan organisasinya tentu mendukung kebijakan impor pemerintah. Sebab selain memang tidak semua wilayah pesisir Indonesia bisa dibuat menjadi sentra produksi garam, produksi yang ada saat ini juga hanya sesuai dengan spesifikasi garam konsumsi/rumah tangga. Sementara garam untuk kebutuhan industri dengan spesifikasi lebih tinggi belum banyak bisa dipenuhi di dalam negeri.

"Produksi dalam negeri diperuntukkan untuk garam konsumsi dan tidak memenuhi standar untuk industri. Sehingga suka tidak suka kita harus impor garam," katanya.

Mochammad Yusuf Habibi dan Edwin Riksakomara dalam jurnal Teknis ITS mengatakan bahwa perbedaan antara garam konsumsi dan garam industri adalah kandungan natrium klorida-nya (NaCL). Sementara garam konsumsi kandungan NacL 94 persen, garam industri 97 persen, atau punya kandungan air yang lebih sedikit.

"Untuk mendapatkan kadar tersebut, masa panen garam diperhitungkan sekitar 10 hari ke atas. Sementara oleh petani lokal, 4-5 hari sudah dipanen," kata Cucu.

Cucu melanjutkan, sebetulnya potensi produksi garam masih tinggi. Secara kuantitas, produksi garam bisa digenjot dengan menambah lahan. "Yang sekarang lahan produktif bisa dijadikan lahan garapan garam," kata Cucu. Sementara dari segi kualitas, "dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi."

Hal ini pernah dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Agustus tahun lalu ia menekankan penerapan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi garam. Menurut JK Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) telah menyanggupinya.

"Dengan teknologi lah [produksi garam] bisa dinaikkan dua sampai tiga kali lipat. Itu BPPT sudah menyanggupi bersama Universitas," kata JK, dikutip dari Antara.

Hal ini juga dikatakan Kepala BPPT sendiri, Unggul Priyanto. Menurutnya BPPT telah mampu melakukan rekayasa agar produksi garam bisa dilakukan tanpa mengenal musim. "Jadi produksi tak hanya dilakukan pada musim kemarau saja," katanya, dikutip dari Antara. Namun ini belum diterapkan secara massal. Presiden Joko Widodo mencanangkan swasembada garam pada 2020.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, setuju dengan Cucu. Menurut Susan, pemerintah harus segera bergerak cepat dengan cara berkoordinasi antara kementerian/lembaga terkait untuk membuat peta jalan (roadmap) swasembada garam.

Pemerintah juga diminta untuk memastikan harga jual pokok garam, meliputi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). "Ini bisa jadi solusi bagi petani garam agar ada kepastian soal keuntungan, sehingga jumlah petani garam tidak berkurang," katanya.

Pemerintah juga, katanya, harus mampu mencegah petani memanen garam di usia muda sehingga menghindari produksi garam yang punya kandungan NaCL rendah.

Kemudian soal pembenahan teknologi. Menurutnya hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Di sana dijelaskan bahwa pemerintah memang wajib mengembangkan teknologi agar bisnis nelayan dan petani garam bisa terus berkembang.

Persoalan garam memang kompleks, karena bukan hanya soal kemauan politik dari pemerintah tapi bagaimana mengangkat petani garam dari sisi kemampuan dan kesejahteraannya. Negara-negara lain yang punya garis pantai lebih pendek dari Indonesia mampu membuktikannya.

Infografik Tunggal Krisis garam

Baca juga artikel terkait IMPOR GARAM atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino