Menuju konten utama

 Misteri Tewasnya Olof Palme, PM Swedia & Sobat Fidel Castro

Kematian Olof Palme adalah salah satu misteri politik dunia yang tak kunjung terungkap hingga hari ini.

 Misteri Tewasnya Olof Palme, PM Swedia & Sobat Fidel Castro
Perdana Menteri Swedia Olof Palme saat konferensi sosialis internasional di Berlin pada 23 Februari 1975. AP Photo / Edwin Reichert

tirto.id - Malam itu, Olof Palme dan istrinya, Lisbeth, baru saja menonton The Mozart Brothers (1986), film komedi yang disutradarai Suzanne Osten. Usai keluar dari bioskop, keduanya pulang ke rumah melewati jalanan di pusat Stockholm.

Sayang, nasib buruk datang 40 menit sebelum pergantian hari. Peluru menembus tubuh pasangan itu. Nyawa Lisbeth berhasil diselamatkan, sementara sang suami tak tertolong.

Kabar tewasnya Palme langsung menggemparkan publik Swedia, mengingat ia adalah seorang perdana menteri. Perburuan besar-besaran pun dilakukan pihak kepolisian dengan menginterogasi lebih dari 10 ribu orang guna menangkap pelaku.

Kematian Palme, sang singa sosialis Skandinavia, bukan sekadar jadi sejarah buruk dalam kancah perpolitikan Swedia—dan Eropa—pada era 1980-an, tetapi juga meninggalkan misteri besar yang sampai detik ini belum berhasil dipecahkan: siapa pelaku dan apa motif pembunuhannya.

Bunuh Diri Kelas

Palme merupakan sosok politisi yang menarik untuk diperbincangkan. Lahir pada 1927, Palme adalah anak bungsu dari pasangan Gunnar dan Elisabeth von Knieriem Palme. Keluarganya terhitung golongan elite dan keturunan bangsawan di Swedia.

Tumbuh di keluarga terpandang, Palme menikmati pelbagai fasilitas kelas satu, termasuk dalam urusan pendidikan. Ia, misalnya, lulus setahun lebih awal, ketika usianya baru 17 tahun, di Sigtuna Humanistiska Laroverk, salah satu sekolah swasta terbaik di Swedia. Selepas menjalani wajib militer pada 1944, Palme pindah ke AS. Ia memperoleh beasiswa untuk belajar politik dan ekonomi di Kenyon College, Ohio.

Di tanah Abang Sam, Palme mendapatkan pengalaman yang tidak diperoleh di Swedia. Arsip The New York Times menyebutkan, setelah lulus kuliah dengan nilai A, Palme memutuskan untuk mengelilingi 34 negara bagian di AS, bermodalkan uang sebesar $300. Perjalanan ini menghadirkan pemandangan yang selama ini asing baginya: kemiskinan.

Pengalaman itu menandai titik balik dalam hidupnya kelak: meninggalkan kemewahan ala ningrat dan memeluk sosialisme sebagai jalan perjuangan.

Sekembalinya ke Swedia, Palme langsung terjun ke gelanggang politik dengan bergabung bersama Partai Sosial Demokrat pada 1951. Sejak mula, komitmen Palme sudah besar. Ia bertekad untuk menjadi anggota partai yang berhaluan kiri tersebut selama sisa hidupnya.

“Saya lahir dari [golongan] kelas atas. Tapi, saya bagian dari gerakan buruh,” ucapnya suatu saat. “Saya bekerja untuk gerakan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan di antara orang-orang.”

Perlahan, karier politik Palme kian moncer. Dimulai dari menjadi sekretaris pribadi PM Tage Erlander, duduk di kursi Riksdag (parlemen Swedia), diangkat sebagai menteri dalam kabinet Erlander, dan akhirnya menjabat perdana menteri menggantikan pendahulunya pada 1969—di usianya yang masih 42 tahun.

Ketika ditunjuk menjadi perdana menteri, Palme langsung dihadapkan serangkaian permasalahan di dalam negeri: dari pengangguran, tingginya konsumsi narkoba dan alkohol, defisit neraca pembayaran, hingga tajamnya polarisasi antara kaum kiri yang mendominasi media dan kelompok konservatif yang mendominasi dunia bisnis serta perbankan.

Palme nyatanya mampu melewati rintangan tersebut melalui serangkaian kompromi dengan partai-partai oposisi. Pemerintahannya berhasil merangsang pertumbuhan industri, kegiatan ekspor, serta mendorong parlemen melakukan revisi undang-undang perburuhan.

Namun, keberhasilan Palme tak berlangsung lama. Tekanan ekonomi pada warsa 1970-an membuatnya kehilangan jabatannya, sekaligus mengakhiri dominasi Partai Sosial Demokrat selama empat dekade lebih. Palme harus duduk di gerbong oposisi, sebelum akhirnya berkuasa lagi pada 1982.

Berani dan Karismatik

Palme dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang progresif. Di dalam negeri, misalnya, sebagaimana dilaporkan The Local, Palme mendorong sejumlah reformasi di bidang pendidikan dan kesetaraan gender.

Pemerintahan Palme mendirikan banyak sekolah, dari tingkat TK hingga universitas, dengan sistem pembiayaan berupa pinjaman dan tunjangan. Untuk kebijakan kesetaraan gender, salah satunya dapat dilihat lewat kebijakan pajak terpisah bagi suami dan istri.

Gebrakan Palme di tataran internasional tak kalah berani. Ia berkali-kali mengkritik kebijakan AS selama Perang Vietnam, menolak politik apartheid di Afrika Selatan, menentang kediktatoran Franco di Spanyol dan Pinochet di Cile, mendukung zona bebas nuklir di Eropa, hingga mengkritik kebijakan keamanan Washington dan Israel terkait konflik dengan Palestina.

Tak ketinggalan, Palme pun mendukung Revolusi Kuba 1959 yang dipimpin Fidel Castro untuk menggulingkan kediktatoran Fulgencio Batista y Zaldívar yang pro-Amerika Serikat. Sejak itu keduanya bersahabat.

Sikap Palme yang cenderung blak-blakan turut mengubah citra Swedia, dari yang semula negara pinggiran Eropa tak diperhitungkan menjadi mercusuar politik progresif di dunia Barat.

Infografik Olof Palme

Infografik Olof Palme. tirto.id/Nadya

“Lebih dari apapun juga, Palme tersohor karena memperkenalkan Swedia ke seluruh dunia. Menempatkan negara ini pada peta [politik global],” jelas Klas Eklund, mantan penasehat ekonomi Ingvar Carlsson, yang menjabat perdana menteri setelah Palme.

“Ia ingin menciptakan ruang untuk memahat posisi negara-negara di Dunia Ketiga yang tak bersekutu, bukan komunis maupun kapitalis, untuk sama-sama progresif,” imbuhnya.

Kendati begitu, pemerintahan Palme tak selamanya mendatangkan pujian. Kebijakan pajak tinggi, ambil contoh, menuai kritik karena dianggap memberatkan—sekalipun pajak ini nantinya digunakan Palme untuk keperluan medis, pendidikan, dan rekreasi bagi masyarakat Swedia.

Kaum konservatif mengatakan pajak tinggi telah membuat Swedia kehilangan daya saing ekonomi. Sementara kaum sosialis beranggapan Palme tak cukup radikal karena gagal menjalankan Meidner Plan secara utuh sebagai proyek transisi dari masyarakat kapitalis ke sosialis yang menjamin kepemilikan kolektif atas sarana produksi.

Sedangkan di tingkat internasional, proposal perdamaian Palme gagal mengakhiri Perang Irak-Iran. Upaya Palme ketika turun ke lapangan guna membantu meredakan tensi Iran-AS sehubungan dengan penyanderaan staf kedubes di Teheran pun juga mentok.

Pembunuhan dan Konspirasi

Sudah tiga dekade lebih pembunuhan Palme menggantung tanpa kepastian. Pihak kepolisian seperti kehilangan taring dalam mengusut kasus ini sampai tuntas.

Tapi, pada kenyataannya, kasus pembunuhan Palme memang tak sesederhana yang dibayangkan. Kasus tersebut melibatkan banyak kepentingan yang kemudian melahirkan bermacam spekulasi—dan teori-teori konspirasi.

Dua tahun usai Palme tewas, 1988, seperti ditulis Imogen West-Knights dalam laporan panjangnya berjudul “Who Killed the Prime Minister? The Unsolved Murder That Still Haunts Sweden” yang dipublikasikan The Guardian (2019), polisi menangkap Christer Pettersson, pria 42 tahun yang sebelumnya sempat dipenjara karena kasus pembunuhan.

Di balik penangkapan Pettersson rupanya tersimpan keraguan yang besar. Pasalnya, polisi tak menemukan alat bukti berupa pistol jenis Magnum, juga tak dapat mengidentifikasi apa motif kriminal kelas teri macam Pettersson membunuh Palme.

Namun, Pettersson tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Keputusan ini cuma bertahan setahun sampai banding Pettersson diterima pengadilan. Tidak ada bukti kuat yang menghubungkan Pettersson dengan tewasnya sang perdana menteri. Ia pun dibebaskan dengan kompensasi sebesar $50 ribu, yang lantas ia pakai untuk mengonsumsi narkoba dan alkohol.

Bola spekulasi makin menggelinding liar. Ada yang bilang Palme dibunuh utusan pemerintah Afrika Selatan karena ia begitu getol menyerukan penghapusan apartheid. Ada yang berkata nyawa Palme hilang di tangan Partai Pekerja Kurdistan yang tinggal di Swedia. Ada pula yang meyakini pelaku penembakan adalah polisi ultra-kanan yang tak suka dengan kebijakan Palme yang cenderung ke kiri.

Beberapa orang bahkan percaya Palme dihabisi UDBA, polisi rahasia Yugoslavia yang dikenal kejam, sebagai buntut kegagalan sang perdana menteri membendung aksi orang-orang radikal asal Kroasia yang pernah menyerang kedutaan Yugoslavia di Stockholm pada 1971.

Spekulasi—dan teori konspirasi—yang bermunculan pada kenyataanya dibarengi pembuktian yang lemah. Sebagian ada yang diusut, sebagian yang lain menguap entah ke mana. Satu hal yang jelas: pada akhirnya, kasus Palme tak pernah benar-benar berhasil mencapai kata “tuntas.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf