Menuju konten utama

Misteri Segitiga Masalembo di Balik Rentetan Kecelakaan Kapal

Indonesia negara kepulauan, tapi belum siap dengan sarana transportasi air, khususnya di laut. Kondisi alam dan kelalaian manusia kerap berujung petaka.

Misteri Segitiga Masalembo di Balik Rentetan Kecelakaan Kapal
Kapal Tampomas terbakar di perairan Ujung Pandang pada tahun 1980. FOTO/Doc. Istimewa

tirto.id - Masalembu atau Masalembo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang terdiri dari tiga pulau, yakni Masalembu, Masakambing, dan Kramian. Perairan di kepulauan ini kerap memakan korban. Musibah transportasi laut yang paling mengundang perhatian khalayak di perairan ini adalah peristiwa tenggelamnya Kapal Tampomas II pada 27 Januari 1981.

Lagu Iwan Fals berjudul “Celoteh Camar Tolol” menggambarkan betapa mengerikannya kecelakaan tersebut. Kapal Tampomas II yang terbakar dan tenggelam, seperti yang dinyanyikan Iwan dan dibuktikan laporan-laporan yang muncul setahun setelah kecelakaan, dibeli "lewat jalur culas".

Tampomas II memang kapal bekas buatan Mitsubishi Heavy Industries di Shimonoseki, Jepang, yang diproduksi pada tahun 1956. Pada 1971, kapal ini dimodifikasi sehingga kecepatannya dapat ditingkatkan. Meski bekas, tapi harga Tampomas II mencapai $8,3 juta. Angka ini mengundang kecurigaan, sebab Jepang sempat menawarkan kapal lain yang harganya jauh lebih murah, yakni $3,6 juta.

Pelbagai kecelakaan transportasi laut di perairan Masalembu terus terjadi setelah tragedi Tampomas II. Yang terbaru adalah terbakarnya Kapal Motor (KM) Santika Nusantara yang berpenumpang 111 orang pada Kamis (22/8/2019).

Hingga Minggu (25/8/2019) sore, kapal yang berlayar dari Surabaya menuju Banjarmasin itu masih dalam proses evakuasi. Sebanyak 56 penumpang yang sebelumnya berhasil dievakuasi oleh sejumlah kapal nelayan ke Pelabuhan Masalembu, selanjutnya dibawa oleh KNP Chundamani ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Menurut Ahmad, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), dari 56 orang yang berhasil dievakuasi, 53 selamat dalam kondisi sehat, sementara tiga meninggal dunia.

Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 22 Mei 2017, Kapal Motor Penumpang (KMP) Mutiara Sentosa I mengalami kebakaran. Kapal yang bertolak dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya itu hendak menuju Balikpapan. Dari 197 penumpang, lima di antaranya meninggal dunia.

Sepanjang 2006-2009, setidaknya terjadi enam kecelakaan tranportasi laut di perairan Masalembu. Pertama, pada 29 Desember 2006, kapal Roro Senopati Nusantara tenggelam. Berpenumpang 569 orang, kapal bertolak dari Teluk Kumai, Kalimantan Tengah, menuju Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.

Sejumlah penumpang selamat mengutarakan pengalaman lolos dari maut kepada Antara.

“Saat kapal oleng dihantam ombak setinggi enam meter, anak saya langsung lepas dari genggeman tangan,” ujar Jasmin, warga Ungaran, Semarang, yang terombang-ambing di atas sekoci selama dua hari.

“Suasana di dalam kapal gaduh banyak anak-anak dan orang tua pasrah ketika kapal sudah mulai tenggelam,” imbuhnya.

Kesaksian lain disampaikan oleh Yanti. Warga asal Poncoharjo, Grobogan, Jawa Tengah itu mati-matian menggapai sekoci yang penuh oleh air karena gelombang tinggi dan hujan deras. Seperti Jasmin, ia dan lima penumpang lainnya terapung-apung di atas sekoci selama dua hari dalam keadaan setengah telanjang. Mereka bertahan dengan hanya minum air hujan dan sisa air dalam kemasan.

“Saya hanya memakai pakaian dalam. Karena kalau tidak lepas celana jeans, maka saya tidak bisa naik sekoci, sebab terlalu berat,” ujarnya.

Setahun setelah kejadian nahas itu, giliran KM Mutiara Indah tenggelam pada 19 Juli 2007 setelah diterjang ganasnya gelombang perairan Masalembu. Belum genap sepuluh hari, KM Fajar Mas tenggelam di perairan Masalembu pada 27 Juli 2007. Sebulan kemudian KM Sumber Awal tenggelam pada 16 Agustus 2007.

Petaka bertubi-tubi sepanjang 2007 disambung lagi pada 2008 saat sebuah kapal kargo karam pada tanggal 8 Juli. Lalu pada 2009 KM Teratai Prima tenggelam pada tanggal 11 Januari.

Infografik Petaka di Masalembo

Infografik Petaka di Masalembo. tirto.id/Sabit

Pertemuan Dua Arus dan Segitiga Imajiner

Dalam sebuah catatan yang mirip memoar bertajuk Injak (2018), Sutrisno, sang penulis, mengisahkan pengalamannya saat kapal yang dinaikinya menuju ke Pelabuhan Semayang, Balikpapan, berada di atas perairan Masalembu.

“Selama perjalanan itu, hal yang paling mendebarkan adalah ketika memasuki laut Masalembu. Ombaknya begitu besar. Kapal Kambuna (yang ia naiki) yang menurut saya ukurannya sangat besar sempat bergoyang, ombak begitu ganasnya menghantam sampai jendela kaca kapal,” tulisnya.

Dalam kondisi seperti itu ia hanya bisa memanjatkan doa. Pelbagai cerita tentang keganasan perairan Masalembu meneror dirinya. Apalagi yang ia lihat hanya gelombang, laut, laut, dan laut. Tak ada daratan sama sekali.

Menurut keterangan Sutrisno, kawasan perairan ini memang memiliki arus laut yang sangat kencang. Perairan Masalembu adalah tempat bertemunya dua arus. Arus pertama berasal dari barat dan terus memanjang ke Laut Jawa, sementara arus utara berasal dari Selat Makassar.

“Dua arus yang berbeda ini kemudian bertemu di ‘Segitiga Masalembo’ dengan membawa materi lain termasuk sedimen laut,” imbuhnya.

Penamaan “Segitiga Masalembo” mengacu pada segitiga khayal yang dibayangkan masyarakat kepada wilayah perairan yang menghubungkan Pulau Bawean, Kota Majene, dan sejumlah kepulauan yang berada di Laut Jawa, termasuk wilayah perairan Masalembo.

Oleh karena itu, sejumlah kecelakaan transportasi laut yang berada pada wilayah segitiga khayal ini kerap disebut petaka perairan Masalembu, meskipun kejadiannya secara administratif masuk wilayah perairan Majene, Sulawesi Barat.

Selain kecelakaan transportasi laut, segitiga khayal Masalembu juga akhirnya mencakup kecelakaan transportasi udara. Wilayah udara di segitiga ini diyakini terdapat air pocket atau kantung udara yang dapat menyedot pesawat yang terbang rendah.

Kecelakaan pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan DHI-574 pada Januari 2007 di Polewali Mandar, diduga karena kantung udara tersebut sebagaimana disampaikan Martono, pengamat hukum penerangan kepada Antara.

“Kesalahannya, pesawat hanya terbang 8.000 kaki yang seharusnya 35.000 kaki. Karena itu kemungkinan besar kecelakaan karena air pocket,” ujarnya.

Menurutnya, kecelakaan tersebut sama dengan sejumlah musibah transportasi udara lainnya yang terjadi di wilayah tersebut pada 1960-an.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN KAPAL atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf