Menuju konten utama

Misteri Pemerkosaan Sum Kuning

Kasus perkosaan yang menggegerkan publik muncul di awal Orde Baru, pelakunya diduga anak pejabat.

Sum Kuning atau Sumarijem (tengah), korban pemerkosaan yang dikriminalisasi pada tahun 1970 di Jogja. Foto/istimewa

tirto.id - Bis kota sudah tak lewat Ngampilan selepas pukul 17.00. Malam itu, 21 September 1970, urusan dagang membuat Sumaridjem terlambat. Terpaksa dia berjalan ke arah utara. Lalu belok kanan lewat Jalan Patuk menuju Jalan Ngupasan. Bis menuju angkutan ke Godean tak juga muncul. Pinggiran Yogyakarta di tahun 1970 itu masih sepi. Sumaridjem berjalan dengan rasa was-was di hari menjelang gelap itu. Ketika melintas di timur Asrama Polisi Patuk, tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet dan berhenti di dekatnya.

“Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sumaridjem untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan brandal-brandal itu, namun tak berhasil,” tulis Kamadjaja dan kawan-kawan dalam Sum Kuning: Korban Penculikan pemerkosaan (1971).

Mobil itu lalu bergerak lagi dan mengitari Jalan Diponegoro menuju Bumidjo. Seingat Sumaridjem, mobil melintasi Jalan Magelang dan tergoncang ketika menyeberangi rel (yang kini sudah tidak ada lagi). Di dalam mobil bahkan ada yang mengancamnya dengan menempelkan pisau belati di lehernya.

Setelahnya, Sumaridjem dibius dan nyaris tak sadarkan diri. Apa yang lamat-lamat diingatnya adalah “kain panjangnya disingkap sampai pada pusatnya dan terdengarlah pemuda-pemuda itu ramai-ramai menyanyi mengiringi rasa sakit Sumaridjem pada kelaminnya sebagai dimasuki benda keras. Sakit dan rasa nyeri luar biasa terasa pada kelamin Sumaridjem sampai tiga kali.”

Tak hanya diperkosa ramai-ramai, uang Rp4.650 hasil dagangan telornya juga disikat pemuda-pemuda tadi. Setelah urusan syahwat mereka beres, gerombolan pemuda membuang Sumaridjem yang tak berdaya di tepi Jalan Wates-Purworejo, daerah Gamping.

Baca juga:

Seingatnya, ketika dibuang hari masih gelap. Sumaridjem yang tak berdaya itu berjuang keras berjalan menuju ke arah kota Yogyakarta. Ketika hari agak terang, terlihat segelintir orang berlalu lalang. Dengan sisa uang Rp100 dan tubuh tak berdaya, Sumaridjem menyetop becak. Si pengayuh becak lalu mengantarkannya ke rumah salah seorang langganannya di Bumijo, Nyonya Sulardi.

Sumaridjem menangis. Pagi itu, “keadaan Sumaridjem sangat menyedihkan, kaki dan kainnya berlumuran darah”. Isak tangisnya sampai ke telinga tetangga Nyonya Sulardi. Kebetulan, Nyonya Sulardi bertetangga dekat dengan Tut Sugijarto, wartawan Minggu Pagi. Pada pukul 06.00 tanggal 22 September 1970, Tut segera menghubungi rekannya, Imam Sutrisno, wartawan Kedaulatan Rakyat.

Imam segera melapor ke unit Polisi Militer, Denpom VII/2. Begitu anggota PM datang dan menyaksikan derita Sumaridjem, tak menunggu lama mereka membawanya ke Rumah Sakit Bethesda. Ketika dibawa ke rumah sakit, karena melewati Jalan Patuk, Sumaridjem menunjukan tempatnya diculik para pemuda gondrong malam sebelumnya.

Lalu, gegerlah apa yang menimpa Sumaridjem. Orang kemudian mengenalnya sebagai Sum Kuning. Koran-koran di Yogyakarta, bahkan di luar Yogyakarta, ramai membicarakannya. Bahkan pada 1980, muncul sebuah film berjudul Perawan Desa yang disutradarai Frank Rorimpandey. Si perawan desa yang jadi korban itu dinamai Sumirah. Dalam film itu dikisahkan, nasibnya sebelas-duabelas dengan Sum Kuning.

Korban pemerkosaan Sekaligus Korban Ketidakadilan

Apa yang menimpa Sumaridjem, yang saat itu baru berumur 17 tahun, rupanya bukan pertama kali terjadi di awal Orde Baru berkuasa. Tiga bulan sebelumnya, seorang guru muda di Stella Duce, biasa disebut dengan inisial "Gadis N", juga jadi korban pemerkosaan pada 26 Juni 1970. Apa yang menimpa Gadis N dan Sumaridjem pun jadi kegelisahan masyarakat, terutama yang punya anak gadis. Mereka takut anak gadis mereka dimangsa.

Sumaridjem dan Gadis N juga dianggap korban ketidakadilan. Janda Ki Hadjar Dewantara bahkan ikut gelisah. Dia bertanya, “kenapa penculik Gadis N lama tidak tertangkap?”

“Dan dugaan-dugaan timbul bahwa pelaku-pelaku peristiwa Sum Kuning tidaklah lain daripada penculik Gadis N,” tulis Kamadjaja.

Seminggu setelah Sumaridjem jadi korban, pada 28 September 1970, tersiar kabar bahwa para penculik dan pemerkosa Sum dan Gadis N akan diarak. Ribuan orang pun memadati kantor polisi di selatan Malioboro. Namun, tak ada yang diarak hari itu. Semua pelaku ternyata belum tertangkap.

Masyarakat sudah menduga-duga siapakah para pelaku sebenarnya. “Dugaan masyarakat jatuh kepada anak-anak orang terkemuka di Jogja. Dugaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa penculik-penculik itu menggunakan mobil. [Di tahun 1970-an] Hanya orang-orang terkemuka dan orang-orang kayalah yang memiliki mobil,” tulis Kamadjaja.

Kemudian, para penculik dan pemerkosa malah terlupakan. Apa yang terjadi setelahnya, tak ada penangkapan para pelaku, justru Sumaridjem yang ditahan polisi setelah keluar dari rumah sakit. Masyarakat pun protes, dan terpaksa Sumaridjem dibebaskan dari tahanan. Kasusnya jadi semakin rumit. Hasil visum dokter menyebut adanya pendarahan alat kelamin, selaput dara sobek, dan luka di paha kanan-kiri, seolah tak lagi penting.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/11/16/sum-kuning--MILD--Quita_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infgrafik Kasus perkosaan di yogyakarta 1970" /

Dalam posisi yang tersudut, Sumaridjem bercerita kepada Slamet Djabarudi, wartawan Pelopor di Yogyakarta. Ia mengisahkan, ruang geraknya dibatasi dan diancam akan disetrum. Bahkan, muncul tuduhan konyol Sumaridjem adalah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, yang identik dengan PKI).

Diungkap dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009) yang ditulis Aris Santoso dan kawan-kawan, “Pada suatu malam polisi mendatangi Sum. Mereka menyuruh dia menanggalkan pakaian. Alasannya, mereka akan mencari kalau-kalau di tubuhnya ada tanda palu-arit.”

Baca juga: Pemerkosaan Massal sebagai Strategi Militer

Polisi dengan sigap memunculkan seseorang bernama Trimo sebagai pelaku pemerkosaan. Dibumbui pula bahwa keduanya menjalin hubungan gelap. Trimo membantah keras tuduhan itu. Ia tak kenal Sum.

Menurut catatan Aris Santoso, masyarakat dianggap terlanjur percaya versi Budidono. Orang ini adalah makelar mobil yang ditangkap polisi setelah Sumaridjem melapor. Budidono mengaku ikut memperkosa. Pengakuan mengejutkan Budidono: Tiga pemerkosa lainnya adalah anak penggede. Pengakuan kepada polisi itu bocor, lalu beredar di masyarakat.

Siapa pelaku penyebab penderitaan Sumaridjem tak pernah jelas. Sumaridjem bahkan nyaris dipenjara. Ia kena tuduh “memberikan laporan palsu dan telah menyiarkan kabar bohong”.

Tergambar di awal film Perawan Desa, Sum menangis sambil mengaku dia telah berbohong. Katanya, Sum yang anak desa itu hanya kejar popularitas. Namun lebih banyak masyarakat yang gelisah, juga tidak percaya Sum berbohong atas apa yang dialami.

Baca juga: Masih Banyak Negara yang Membebaskan Pemerkosa

Semula jaksa menuntut Sumaridjem atas tuduhan memberi keterangan palsu dengan sanksi tiga bulan penjara. Tuntutan itu ditolak Hakim Nyonya Lamijah Moeljarto karena Sumaridjem tidak terbukti memberi keterangan palsu dan Sumaridjem dibebaskan dari tuduhan.

Ketika kasus Sum Kuning terjadi, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dijabat Hoegeng Imam Santoso. Hoegeng berusaha dengan serius membongkar kasus ini. Pada Januari 1971 ia bahkan membuat tim khusus yang dinamai "Tim Pemeriksa Sum Kuning". Ketua tim itu adalah Kadapol IX/Jateng, Suwardjiono.

Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Salah satunya Paku Alam VIII, yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY.

"Berita itu sama sekali tidak nyata. Itu overbodig (berlebihan), sama sekali overbodig," bantahnya seraya mempersilakan anaknya ditindak jika bersalah.

Masih menurut catatan Aris Santoso, dkk., Hoegeng sampai melaporkan perkembangan pengungkapan kasus Sum Kuning kepada Soeharto. Alih-alih memberikan dukungan, Soeharto malah meminta kasus itu diambilalih oleh Team Pemeriksa Pusat/Kopkamtib. Pendeknya, kasus Sum Kuning dianggap berdimensi politik yang luas, sehingga rezim merasa perlu mengambilalih sepenuhnya.

Kendali Hoegeng pun hilang dalam pengungkapan kasus Sum Kuning. Di kemudian hari, dia menyayangkan penanganan yang seharusnya hanya dilakukan aparat hukum seperti polisi menjadi dicampuri pihak lain.

“Harapan saya agar urusan Polri tidak dicampurtangani pihak lain, menjadi memprihatinkan,” katanya dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993) yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH.

Hingga kini, siapa para pemerkosa itu tidak pernah terungkap dengan terang benderang.

Baca juga artikel terkait PEMERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->