Menuju konten utama

Misteri Kecelakaan DC-6 di Langit Afrika yang Menewaskan Sekjen PBB

Sekjen PBB Dag Hammarskjöld tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat September 1961, penyebabnya masih misteri dan tudingan konspirasi.

Misteri Kecelakaan DC-6 di Langit Afrika yang Menewaskan Sekjen PBB
United Nations DC-6. FOTO/en.wikipedia.org

tirto.id - Pada 18 September 1961, pesawat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Douglas DC-6 yang membawa 16 penumpang termasuk Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Dag Hammarskjöld bertolak dari Kota Kinshasa Kongo menuju Ndola di Rhodesia Utara (kini Zambia).

Pesawat itu mulai mendekati landasan udara di Ndola tengah malam. Nahas, belum sampai mendarat, pesawat itu jatuh di hutan dan menewaskan 15 orang termasuk Hammarskjöld. Puing-puing pesawat ditemukan oleh para penebang kayu setempat.

Hasil penyelidikan penerbangan sipil yang dilakukan segera setelah kejadian tidak dapat menyimpulkan penyebab pasti kecelakaan pesawat tersebut. Komisi penyelidikan Rhodes pada Februari 1962 mengaitkan kecelakaan pesawat itu akibat kesalahan pilot. Sedangkan Komisi Penyelidikan PBB pada April 1962 tidak dapat menyimpulkan penyebab kecelakaan.

Pada Oktober 1962, Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi 1759 (XVII) yang isinya meminta sekretaris jenderal PBB untuk terus memberi tahu kepada Majelis Umum mengenai bukti baru yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat DC-6.

Bertahun-tahun berlalu tak ada titik terang, bahkan sampai 50 tahun pasca peristiwa kecelakaan DC-6. Susan Williams menerbitkan buku berjudul Who Killed Hammarskjold? The UN, the Cold War and White Supremacy in Africa (2011). Meski buku tersebut berhasil mengumpulkan berbagai bahan bukti yang mencolok, tapi tetap saja, buku itu tidak memberikan jawaban yang pasti mengenai apa penyebab atau siapa pihak yang bersalah dan paling bertanggungjawab atas kecelakaan pesawat DC-6.

Kecelakaan pesawat yang menewaskan sekjen PBB itu memang patut dicurigai sebagai peristiwa tidak biasa. Sedangkan kematian Hammarskjöld menjadi misteri terbesar dalam sejarah berdirinya PBB sejak Oktober 1945.

Perang Dingin di Kongo

Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjöld atau yang kemudian dikenal Dag Hammarskjöld adalah seorang ekonom Swedia yang kemudian menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB pada 1953 setelah sebelumnya menjadi delegasi Majelis Umum PBB.

Selama beberapa tahun kepemimpinannya di PBB, ia dikenal vokal dalam hal mendorong penyelesaian kasus konflik bersenjata di banyak tempat terutamanya pada saat itu di Timur Tengah antara Arab – Israel maupun sesama negara-negara Arab lainnya.

Belgia Kongo merdeka menjadi Republik Kongo (sekarang Republik Demokratik Kongo) pada 30 Juni 1960. Namun segera setelah kemerdekaan, kerusuhan sipil meletus. Encylopaedia Britannica mencatat, peristiwa pemicu Krisis Kongo salah satunya dipicu oleh pemberontakan tentara di dekat Léopoldville pada 5 Juli 1960 serta ada intervensi dari pasukan terjun payung Belgia yang seolah-olah melindungi kehidupan warga negara Belgia.

Intervensi Belgia ini dalam wujud dukungan mereka kepada Provinsi Katanga yang menyatakan kemerdekaan dari Kongo pada 11 Juli 1960 di bawah kepemimpinan Moise Tshombe. Belgia sebagai negara yang lama menjajah Kongo mendukung upaya pemisahan Katanga.

Katanga dikenal sebagai wilayah kaya mineral termasuk bijih uranium yang ikut dipakai Amerika Serikat meracik bom atom Hiroshima. Di Katanga bercokol perusahaan tambang multinasional Belgia, Union Minière du Haut-Katanga yang berdiri sejak era kolonial 1906.

Pemimpin nasionalis sekaligus Perdana Menteri Kongo Patrice Lumumba mengadu kepada PBB, menginginkan wilayah Katanga kembali bersatu dengan Kongo. Hammarskjöld kemudian mengirim pasukan perdamaian ke Kongo. Lumumba turut meminta bantuan Uni Soviet untuk memberi bantuan logistik dan mengirim pasukan ke Katanga. Sedangkan di pihak Katanga, untuk menambah daya gedor, Tshombe merekrut tentara bayaran dari Afrika Selatan dan Rhodesia.

Di tengah pertempuran antara pasukan pro-republik Kongo dengan milisi kemerdekaan Katanga, Hammarskjöld ingin menyelesaikan konflik Kongo dengan Katanga melalui cara damai lewat meja diplomasi. Belum sampai perundingan terlaksana, dalam perjalanan Hammarskjöld terbunuh saat pesawat yang ditumpanginya jatuh di dekat Zambia.

Penuh Konspirasi

Berbagai penelitian yang pernah dilakukan belum mampu mengungkap secara sah dan meyakinkan tentang penyebab jatuhnya pesawat DC-6 yang menewaskan sekjen PBB.

Jika merujuk pada laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan pada 1998, dinas rahasia Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika diduga terlibat dalam skenario dugaan pembunuhan berencana terhadap Hammarskjöld.

Kementerian Luar Negeri Inggris lantas membantah tuduhan itu dan berbalik menunjuk Uni Soviet yang telah menyebarkan kabar bohong terkait keterlibatan Inggris. Meski begitu, ketua komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, Uskup Desmon Tutu juga belum bisa memastikan keaslian dokumen yang mereka pegang. Sehingga membutuhkan penyelidikan lanjutan.

Beberapa tahun terakhir sebelum 2015, peneliti independen seperti Göran Björkdahl, seorang pekerja bantuan Swedia, termasuk Susan Williams yang seorang peneliti senior di Institute of Commonwealth Studies di London membujuk PBB untuk membuka kembali penyelidikan kasus jatuhnya pesawat DC-6.

PBB pada 2015 mengadakan panel diskusi dan menyimpulkan ada cukup bahan baru untuk melanjutkan penyelidikan. Dilansir dari The Guardian, pada Februari 2017, PBB memutuskan menunjuk mantan Hakim Agung Tanzania, Mohamed Chande Othman untuk meninjau dan menyelidiki kembali kasus tersebut.

Dalam hasil laporan Othman tertanggal November 2018 (PDF), meski penyelidikan lagi-lagi belum mencapai kesimpulan bulat, namun dugaan kuat mengerucut pada adanya serangan udara dari pihak lain yang membikin jatuh pesawat DC-6.

Pada malam kejadian, penduduk setempat melaporkan melihat adanya pesawat kedua di langit. Dugaan mengarah ke pesawat yang dioperasikan oleh kelompok Katanga yang didukung Belgia.

Penyelidikan turut berfokus pada peran paramiliter Eropa dan tentara bayaran yang bertarung dengan separatis. Satu teori yang terus dikembangkan adalah bahwa pesawat Hammarskjöld ditembak jatuh oleh seorang pilot tentara bayaran Belgia yang memakai pesawat perang Fouga. Pesawat tersebut diam-diam disuplai oleh pemerintah Perancis kepada para milisi Katanga.

Othman mencatat bahwa Inggris dan Afrika Selatan adalah dua negara yang tidak bisa diajak bekerjasama dalam penyusunan laporannya lantaran minimnya informasi yang diberikan terkait penyelidikan jatuhnya pesawat dan kematian Hammarskjöld. Sedangkan Rusia mengatakan akan melakukan peninjauan arsip intelijen dan keamanannya.

Resolusi Majelis Umum PBB menyerukan penunjukan seorang pejabat tinggi dan independen untuk melakukan tinjauan internal khusus intelijen, keamanan dan arsip pertahanan dalam rangka mengungkap jatuhnya pesawat DC-6.

Investigasi Othman juga mengarah pada keterlibatan intelijen Inggris MI6. Otham menyebut dalam laporannya bahwa seorang pejabat MI6 bernama Neil Ritchie memerintahkan helikopter pribadi pada malam kecelakaan untuk terbang ke markas pemimpin Katanga, Moïse Tshombe, dan membujuknya untuk bertemu dengan Hammarskjöld di perbatasan. Tshombe setuju untuk pergi ke Ndola. Setelah menunggu lama dan rombongan Hammarskjöld tidak juga muncul, ia pergi meninggalkan Ndola.

Masalahnya, informasi yang diberikan Inggris untuk memperkuat bukti tersebut justru kurang. Inggris malah memasok informasi yang sebagian besar berasal dari arsip Kantor Kolonial dan Luar Negeri. Akibatnya hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak berisi mengenai data keterlibatan badan intelijen M16 mereka di kasus Hammarskjöld.

Pada Januari 2019, sebuah film dokumenter berdurasi dua jam lebih tentang pembunuhan Hammarskjöld dirilis berjudul Cold Case Hammarskjöld. Film besutan jurnalis asal Denmark, Mard Brugger itu menampilkan Alexander Jones, mantan anggota tentara bayaran dari Afrika Selatan. Jones menyebut bahwa jatuhnya pesawat yang ditumpangi Hammarskjöld merupakan salah satu misi tersukses mereka.

Dilansir dari The New York Times, penelusuran film dokumenter itu turut menguatkan adanya pesawat lain yang menyerang DC-6. Seorang pilot tentara bayaran Belgia, Jan van Risseghem disebut menerbangkan pesawat Fouga milik pasukan Katanga dan menyerang DC-6. Bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut, Risseghem menceritakan kisahnya itu kepada kawannya di Belgia, Pierre Coppens yang kemudian ditemui oleh tim peneliti film dokumenter.

Sedangkan menurut sejarawan Jerman Torben Gülstorff, temuannya merujuk pada pesawat jenis Dornier Do 28A milik milisi Katanga yang dipakai untuk menjatuhkan pesawat DC-6. Dalam laporan Gülstorff yang dibuat pada 2018 (PDF) disebut bahwa pesawat Dornier adalah jenis pesawat yang bisa lepas landas di landasan pendek di Kota Kipushi Kongo dan sanggup mencapai Ndola yang cukup dekat. Meski begitu, ia menyebut bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menguatkan analisisnya itu.

Infografik Kematian Dag Hammarskjold

Infografik Kematian Dag Hammarskjold di Pesawat DC-6. tirto.id/Fuad

Sementara itu John Gange, mantan inspektur senior detektif di kepolisian kolonial Inggris yang memeriksa lokasi kejadian beberapa jam setelah peristiwa bersikeras bahwa jatuhnya pesawat akibat serangan udara adalah tidak terbukti.

"Setiap serpihan pesawat dievakuasi keluar tempat kejadian dan diperiksa oleh teknisi ahli," kata Gange. "Tidak ditemukan hal-hal yang tidak diinginkan."

Keterangan Gange berbeda dari pengakuan korban DC-6 yang sempat selamat, Sersan Harold Julien. Ia sempat mengatakan kepada para pejabat penyidik bahwa ada ledakan sebelum pesawat DC-6 jatuh. Julien meninggal beberapa hari setelah peristiwa tersebut.

Keengganan Inggris dan Afrika Selatan ini sejalan dengan penelitian Williams dalam bukunya Who Killed Hammarskjöld? yang menyebut bahwa Inggris gagal menunjukkan catatan kegiatan Ritchie dan anggota MI6 lainnya di sepanjang perbatasan Rhodesian-Kongo. Pentingnya Afrika Selatan terbuka terutama terkait jejak South African Institute for Maritime Research (SAIMR), sebuah organisasi internasional bayangan yang diklaim Williams terkait erat dengan badan-badan intelijen MI5 dan MI6 Inggris, CIA Amerika, hingga Mossad Israel.

Dengan belum adanya penjelasan yang dapat menyimpulkan secara bulat, maka teori-teori soal jatuhnya pesawat DC-6 dan kematian Hammarskjöld bakal terus berseliweran dan mengusik rasa penasaran, dan jadi misteri hingga kini..

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN PESAWAT atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra