Menuju konten utama

Misi Spurs Menciptakan Keajaiban di Kandang Ajax

Penggunakan formasi 4-4-2, bisa membuat penampilan Spurs lebih baik dalam pertandingan leg pertama melawan Ajax. Apakah formasi itu akan kembali digunakan Spurs dalam leg kedua nanti?

Misi Spurs Menciptakan Keajaiban di Kandang Ajax
Pesepak bola Eric Dier Tottenham Hotspur bereaksi setelah gagal mengeksekusi tendangan penalti pada akhir leg kedua pertandingan sepak bola semifinal Piala Liga Inggris antara Chelsea dan Tottenham Hotspur di stadion Stamford Bridge di London, Kamis, 24 Januari 2019. AP / Matt Dunham

tirto.id - Tottenham Hotspur akan melawat ke markas Ajax Amsterdam dalam pertandingan leg kedua babak semifinal Liga Champions, Kamis (9/5/2019) dini hari waktu Indonesia. Setelah kalah 0-1 pada leg pertama, anak asuh Mauricio Pochettino punya misi yang kelewat sulit buat lolos ke final: wajib menang dan mencetak gol tandang lebih banyak daripada Ajax yang sedang tampil bagus-bagusnya.

Namun, ada situasi yang bikin Spurs sulit membuat kejutan di kandang Ajax, Johan Cruyff Arena. Pertama, adalah catatan sejarah: Ajax adalah satu-satunya tim yang berhasil lolos ke final kalah di kandang pada leg pertama babak semifinal Liga Champions/Piala Champions. Kedua, langkah The Lilywhites tergopoh-gopoh belakangan ini: 9 kekalahan dari 15 laga di semua kompetisi.

Pelatih Spurs, Maurico Pochettino sadar bahwa timnya butuh keajaiban untuk lolos ke laga final--atau menjadi juara Liga Champions--yang akan digelar di Madrid, Spanyol, pada 1 Juni mendatang. Maka, saat jurnalis Inggris bertanya kepadanya tentang apa yang akan ia rasakan saat keajaiban benar-benar terjadi, Pochettino memberikan jawaban yang barangkali tak kalah ajaib.

"Menutup lima tahun perjalananku di sini dan pulang ke rumah," jawab Pochettino.

Para jurnalis Inggris jelas meminta klarifikasi dari jawaban Pochettino itu. Mereka mengira Pochettino, yang kontraknya bersama Spurs baru akan habis pada 2023, sedang bercanda. Namun, Pochettino ternyata menjawab pertanyaan itu secara serius.

"Aku tidak bercanda. Mengapa?," jawab Pochettino. "Bisa memenangkan gelar Liga Champions pada musim ini dengan keadaan seperti ini [adalah keajaiban] – mungkin itu bisa membuatku melakukan sesuatu yang berbeda pada masa depan. Karena untuk mengulangi keajaiban seperti itu, anda tahu sendiri jawabannya."

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan Pochettino agar Spurs benar-benar mampu menciptakan keajiaban pada pertandingan nanti?

Memainkan Formasi 4-4-2 Berlian

Pada pertandingan leg pertama, Spurs memulai laga dengan formasi yang biasa: 3-1-4-2. Entah apa tujuannya, daripada menjadi solusi untuk mengimbangi permainan Ajax, formasi itu justru menjadi sumber malapetaka bagi Spurs. Setidaknya hitung-hitungan Whoscored bisa menjadi bukti.

Spurs bermain dengan formasi 3-1-4-2 selama 22 menit. Dalam periode tersebut, mereka hampir kalah segalanya dari Ajax. Mereka tidak sekali pun melakukan percobaan tembakan ke arah gawang, sementara Ajax sudah melakukan 5 percobaan di mana salah satunya berhasil menjadi gol. Selain itu, penguasaan bola kedua tim juga sangat jomplang: 31,8% untuk Spurs dan 68,2% untuk Ajax.

Tahu bahwa timnya tak berdaya, Pochettino lantas mengubah formasi Spurs menjadi 4-4-2 berlian. Danny Rose dan Kevin Trippier beralih peran dari duet wing-back menjadi duet full-back. Dan Moussa Sissoko, yang menggantikan Jan Vertoghen karena cedera, dimainkan lebih ke depan, berdiri berdampingan dengan Dele Alli, mengapit Victor Wanyama yang bermain sebagai gelandang bertahan tunggal.

Yang menarik, perubahan formasi itu ternyata mampu mengubah peruntungan Spurs. Secara perlahan Spurs kemudian berhasil bangkit. Bahkan, meski tak sampai mencetak gol balasan, Spurs mampu mendominasi jalannya babak kedua.

Lantas, mengapa perubahan formasi itu bisa berhasil?

Menurut JJ Bull, dalam salah satu analisisnya di Telegraph, permainan menawan Ajax mempunyai tiga formula dasar; formasi 4-2-3-1, peran Frenkie de Jong sebagai bek ketiga [baik di sebelah kiri, kanan, maupun tengah], dan kemampuan Donny van de Beek untuk menjadi pemain nomor 8 maupun pemain nomor 9 dadakan.

Dan secara kasat mata, karena peran de Jong dan van de Beek , Ajax tampak tak peduli dengan keadaan di lini tengahnya. Saat secara situasional Frenkie de Jong mundur ke belakang atau Donny van De Beek menjadi penyerang dadakan, Lasse Schone seringkali menjadi satu-satunya gelandang tengah yang dimainkan Ajax.

Meski demikan, ruang kosong di lini tengah itu sebetulnya menjadi kunci permainan cair Ajax. Dengan Lasse Schone berperan sebagai penghubung, pemain depan Ajax bisa bermain lebih dalam saat van de Beek maju ke depan, pemain-pemain belakang Ajax juga bisa secara leluasa maju ke depan saat Frenkie de Jong mundur ke belakang. Dari sana, serangan-serangan Ajax pun menjadi sangat sulit untuk ditebak lawan.

Saat mengubah formasinya menjadi 4-4-2 berlian, Spurs secara tidak langsung sebetulnya membuat lini tengah mereka tampak padat. Sementara Christian Eriksen berada di ujung paling depan dan Wanyama berada paling ujung di belakang, Moussa Sissoko dan Dele Alli bisa naik turun untuk membantu keduanya.

Dengan pendekatan seperti itu, terutama untuk melakukan pergerakan secara vertikal, pemain Ajax lantas tak banyak mendapatkan ruang yang mereka inginkan di lini tengah. Alhasil, ditambah dengan kemampuan fisik pemain-pemain tengah Spurs, alur serangan Ajax mandek dan Spurs mulai mampu mendominasi jalannya pertandingan.

Formasi 4-4-2 berlian pun bisa menjadi modal berharga bagi Spurs pada pertandingan leg kedua nanti

Memaksimalkan Peran Fernando Llorente

Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, menyebut Fernando Llorente bermain tidak konsisten dalam pertandingan leg pertama. Bermain selama 90 menit penuh, Wilson menilai Llorente "sering menyentuh bola dengan kekuatan berlebih, sering luput menerima operan sederhana, dan sering membuang peluang untuk melakukan tembakan ke arah gawang Ajax."

Meski begitu, Wilson ternyata tak menampik, jika Llorente mampu dimaksimalkan, pemain asal Spanyol itu sesungguhnya bisa menjadi juru selamat Spurs saat melawan Ajax. Alasan Wilson: Spurs harus menjadikannya sebagai target-man.

Wilson tentu tidak sedang berjualan kecap. Pada pertandingan pertama, bermain bersama Lucas Moura di lini depan, Llorente memang tidak punyai peran khusus. Ia sering bertukar posisi dengan pemain asal Brasil tersebut, sekaligus sering bergantian turun ke belakang untuk menjeput bola. Meski demikian, ada satu hal yang tampak menonjol dari Llorente dalam pertandingan tersebut: ia jago dalam duel di udara.

Dalam pertandingan tersebut, Whoscored mencatat Llorente berhasil memenangi 11 duel udara yang dilakukannya. Angka itu merupakan yang terbanyak di antara pemain lain yang terlibat di dalam pertandingan.

Saat Llorente dimainkan sebagai target-man, Spurs setidaknya akan mendapatkan dua keuntungan.

Pertama, kemampuan Llorente dalam memantulkan bola dengan kepalanya akan membuat pemain-pemain belakang Ajax berpikir dua kali untuk memainkan garis pertahan tinggi. Itu artinya, saat pemain depan Ajax tetap memaksa mem-pressing sementara garis pertahanan Ajax tetap rendah, akan tercipta ruang yang bisa dieksploitasi pemain-pemain Spurs di depan garis pertahanan Ajax.

Kedua, kemampuan Llorente dalam memantulkan bola juga bisa digunakan untuk melakukan transisi. Segera setelah merebut bola dari pemain depan Ajax, pemain belakang Spurs bisa langsung mengirimkan umpan direct ke arah Llorente. Setelah itu, Llorente bisa meneruskan umpan tersebut ke arah Son Heung-Min, yang kemungkinan besar akan menjadi tandem di lini depan dalam pertandingan nanti.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih