Menuju konten utama

Misi Sosial di Balik Rancangan Baju Baptis Pangeran Louis

Gaun baptis anggota kerajaan Inggris awalnya dirancang untuk menyelamatkan kondisi keuangan perajin renda kota Honiton.

Misi Sosial di Balik Rancangan Baju Baptis Pangeran Louis
Pangeran Louis tertidur dalam dekapan ibunya saat tiba dalam acara pembaptisan di The Chapel Royal, St. James Palace (9/7/18). AP/Dominic Lipinski

tirto.id - Hari pembaptisan ialah kali kedua Pangeran Louis Arthur Charles, putra ketiga Pangeran William dan Kate Middleton, tampil di depan publik. Pada hari itu ia terlelap di gendongan sang ibu dan dipaptis dengan air sungai Yordan yang diletakkan dalam cawan perak seharga 11.000 Poundsterling. Louis mengenakan gaun panjang berwarna putih gading yang dipenuhi aksen renda. Gaun itu ialah seragam baptis anggota keluarga inti kerajaan Inggris.

Louis memakai gaun yang sama dengan George dan Charlotte, kedua kakaknya. Gaun dibuat pada tahun 2004 oleh Angela Kelly , desainer dan pengarah gaya pribadi Ratu Elizabeth II. Desainnya mengikuti gaun baptis milik Putri Victoria Adelaide Mary Louisa, anak Ratu Victoria dan Pangeran Albert.

Kelly menunjuk Joel & Son Fabrics, toko kain di Inggris, untuk membuat bahan busana yang terdiri dari sutera dan renda. Kelly berupaya mempertahankan kesan otentik dengan membeli bahan dari perusahaan asal Britania Raya. Sayangnya Joel & Son tidak bisa membuat desain renda seperti yang Kelly inginkan. Mereka lantas merekomendasi satu mitra usaha di Italia yang sanggup memroduksi renda. Kelly menyetujuinya.

Ia kemudian pergi ke Como, Italia, tempat perajin renda berada. Selama tiga hari Kelly menghabiskan berjam-jam di dalam toko guna memastikan bentuk renda betul-betul serupa dengan Honiton lace yang dibuat pada tahun 1841. People menulis bahwa para perajin renda Italia itu berupaya semaksimal mungkin untuk membuat renda dengan tangan demi mempertahankan cara asli pembuatan busana. Pada akhirnya, gaun baptis juga dibuat dengan bantuan mesin jahit.

“Busana ini dibuat dari nol. Saya membuat sketsa dan meletakkan renda pada tulle berbahan sutra pilihan,” kata Kelly.

Keberadaan mesin jahit di Inggris membuat keterampilan tangan masyarakat setempat untuk membuat renda kian berkurang. Hal ini berawal dari abad ke 19. Pada masa itu, Inggris punya satu kota bernama Honiton yang terletak di Devon. Honiton dikenal sebagai kota perdagangan renda. Ketika mesin jahit masuk ke kota tersebut, permintaan untuk membuat renda terus menurun. Para perajin renda mengalami kesulitan finansial.

H.J. Yallop dalam The History of the Honiton Lace Industry (1992) mengungkap bahwa pabrik pembuatan renda di Honiton tadinya mempekerjakan 2.400 orang. Saat memasuki awal tahun 1800an, jumlah pekerja pabrik menurun jadi 300an orang.

Ratu Victoria iba dengan keadaan para perajin renda. Oleh karena itu ia memesan gaun baptis anaknya di Honiton. Buat Victoria, pembaptisan punya makna lebih karena momen tersebut juga merupakan momen ulang tahun pernikahan pertama dirinya dan Albert. Sang ratu punya ide untuk memakaikan gaun yang serupa dengan baju pernikahan untuk putri pertamanya.

Ia meminta Janet Shuterland, seorang anak penambang batubara yang tinggal di Honiton untuk membuat gaun. Victoria berharap agar tindakannya menginspirasi kaum elite Inggris untuk tetap memesan busana dari perajin renda Honiton. Victoria mengabadikan material busana baptis dalam buku hariannya. Ia menulis bahwa putrinya tampil menawan dalam jubah putih Honiton lace dan satin putih.

Infografik Seragam Baptis Anak dan Cucu Raja

Keinginan Victoria untuk membuat perajin renda Honiton kebanjiran pesanan tidak serta-merta terjadi. Perajin renda di kota tersebut sibuk mencari cara untuk berinovasi agar bisa bertahan hidup. Menurut Yallop, cara yang mereka lakukan ialah membuat teknik dan motif baru yakni mengukir motif renda di atas sutera hitam dan membuat renda berbagai warna. Model renda tersebut sempat dipamerkan pada tahun 1851. Inovasi itu ternyata tidak menarik minat publik.

Kebaruan yang cukup menarik hati masyarakat zaman itu ialah renda bermotif bunga. Tapi hal itu belum cukup menyelamatkan kondisi perajin. Treadwin, seorang perajin renda, mencoba mempromosikan jasanya dengan berkata bahwa ia mampu membuat motif renda yang serupa dengan renda Belgia. Cara ini membuatnya sukses, walau sebentar. Perajin lain yang meniru cara Treadwin dengan berkata bahwa ia mampu membuat motif serupa renda Venesia dan Milan. Kesuksesan tidak bertahan lama, malah kondisnya makin terpuruk. Pada abad ke 20, industri renda di Honiton lenyap.

Kerajaan Inggris jadi pihak yang cukup lama mempertahankan Honiton lace. Gaun baptis yang dibuat pada tahun 1841 itu telah dipakai sebanyak 62 kali. Ratu Elizabeth, Pangeran Charles, Pangeran William, dan Pangeran Harry dibaptis dengan gaun tersebut. Pada awal tahun 2000-an, kondisi gaun sudah terlalu rapuh untuk dikenakan.

Kini publik hanya bisa menyaksikan gaun lewat foto. Tahun 2014 lalu, keluarga kerajaan memamerkan baju baptis karya Kelly di Buckingham Palace dalam pameran bertajuk Royal Childhood. Baju tersebut diharapkan bisa jadi satu benda yang akan menarik perhatin pengunjung.

Sementara itu, jejak Honiton lace bisa dilacak di Allhallows Museum of Lace and Antiquities. Museum itu menciptakan program lokakarya bagi orang yang hendak memelajari teknik pembuatan renda. Mungkin saja ia mengajarkan motif serupa dengan baju baptis Louis.

Baca juga artikel terkait TATA BUSANA atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono