Menuju konten utama

Minimnya Serapan Tenaga Kerja di Tengah Capaian Investasi 2022

Ekonom Indef sebut untuk mendorong penyerapan tenaga kerja lebih optimal, pemerintah harus benahi dari sisi investasinya.

Minimnya Serapan Tenaga Kerja di Tengah Capaian Investasi 2022
Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Menteri BUMN Erick Thohir, Bupati Batang Wihaji dan jajaran menteri lainnya berbincang saat peninjauan Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia di Kedawung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp.

tirto.id - Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan realisasi investasi sepanjang 2022 tercatat sebesar Rp1.207,2 triliun atau 100,6 persen dari target ditentukan sebesar Rp1.200 triliun. Capaian tersebut meningkat 34,0 persen dibanding periode sama pada 2021.

Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia merinci, realisasi investasi sebesar Rp1.207,2 triliun tersebut, berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp552,8 triliun atau tumbuh 23,6 persen secara (yoy). Kemudian untuk Penanaman Modal Asing (PMA) senilai Rp654,4 triliun atau tumbuh 44,2 persen secara (yoy).

“Alhamdulillah kita mampu mencapai sebesar Rp1.207,2 triliun, secara year on year (yoy) tumbuh 34 persen. Ini salah satu pertumbuhan investasi yang terbesar,” kata Bahlil dalam konferensi pers, di kantornya, Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Dari realisasi investasi didapatkan, total jumlah tenaga kerja Indonesia pada Januari - Desember 2022 yang berhasil diserap hanya mencapai 1.305.001 orang. Jumlah tenaga kerja itu terdiri dari proyek PMDN sebanyak 759.738 orang (58,2 persen) dan proyek PMA sebanyak 545.263 orang (41,8 persen).

Jika dibandingkan periode 2021, serapan tenaga kerja dari realisasi investasi di Indonesia pada 2022 memang naik sekitar 97.108 orang, atau 7,5 persen secara tahunan. Pada 2021, total penyerapan tenaga kerja hanya berkisar 1.207.893 orang.

Namun penyerapan tenaga kerja dari torehan realisasi investasi tersebut dinilai tidak maksimal atau belum mampu menutup gap angka pengangguran yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2022 sebesar 5,86 persen atau 8,4 juta orang dari total angkatan kerja nasional.

Terdapat 4,15 juta orang (1,98 persen) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (0,24 juta orang) dan Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena COVID-19 (0,32 juta orang). Sementara tidak bekerja karena COVID-19 (0,11 juta orang) dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (3,48 juta orang).

“Hal harus dioptimalisasi itu adalah sisi dampak dari investasi ini kepada penyerapan tenaga kerja. Kalau 1,3 juta kurang kalau kita lihat,” kata Vice Director Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listyanto saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (25/1/2023)

Eko menuturkan, jika dikomparasikan dengan pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 1,3 juta orang dalam setahun, maka 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap sekitar 250-260 ribu tenaga kerja. Padahal idealnya adalah mampu menyerap sekitar 400 ribu tenaga kerja setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi.

“Ini belum ideal sebetulnya. Tapi poinnya dia (penyerapan tenaga kerja) belum maksimal. Karena kalau melihat track record dulu, dulu kalau ekonomi Indonesia dianggap sebagai salah satu macan Asia Tenggara yaitu investmen itu mampu 1 persennya meningkatkan sampai 400 -550 ribu tenaga kerja," jelasnya.

Oleh karenanya, pemerintah masih harus berupaya untuk bisa memastikan investasi ini tidak hanya berkontribusi bagi pertumbuhan itu sendiri. Tetapi juga bagi penyerapan tenaga kerja. “Karena kan strategi dasar dari kebijakan investasi ini juga untuk penyerapan tenaga kerja,” kata dia.

Eko mengatakan, untuk mendorong penyerapan tenaga kerja lebih optimal, pemerintah harus membenahi dari sisi investasinya terlebih dahulu. Pemerintah, kata dia, harus memilah investasi yang memang padat modal agar bisa menyediakan lapangan kerja yang maksimal.

Dia menduga sebagian investasi yang masuk ke Indonesia pada 2022 ke sektor infrastruktur, sehingga memang dia tidak banyak menyerap tenaga kerja. Apalagi sektor tersebut sekarang sebagaian besar sudah menggunakan mesin untuk mencetak alat dan lain-lainnya.

“Jadi tidak bisa menyediakan tenaga kerja sebanyak dulu," kata dia.

Selain mendorong investasi padat modal, pemerintah juga perlu mengarahkan ke hilirisasi. Karena jika investasi diarahkan ke hilirisasi semakin banyak menciptakan tenaga kerja.

“Cuma dipastikan dulu kira-kira lebih siap dihilirkan yang mana? Karena itulah berpeluang penciptaan lapangan kerja tadi," pungkas dia.

Butuh Waktu Panjang

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai, realisasi investasi tersebut memang masih membutuhkan waktu untuk sepenuhnya beroperasi dan menyerap tenaga kerja. Contohnya investasi pada smelter.

Pada tahapan pembangunan smelter, realisasi investasi sudah dicatat penuh. Akan tetapi penyerapan tenaga kerjanya masih baru terbatas penyerapan untuk pembangunan smelter, belum tenaga kerja untuk operasional smelter.

“Jadi masih belum maksimal dan membutuhkan waktu," kata Piter dihubungi terpisah.

Meski begitu, kata Piter, bukan berarti realisasi invertasi ini tidak menyerap tenaga kerja. Karena bagaimanapun tetap perlu disyukuri realisasi investasi yang demikian tinggi. Sebab hal ini membuka peluang penyerapan tenaga kerja yang tinggi pada tahun-tahun mendatang seiring investasi tersebut sudah operasional.

“Kita memang masih membutuhkan realisasi investasi yang sangat tinggi untuk dapat menyerap pertumbuhan angkatan kerja kita yang sangat tinggi," ujarnya.

Terlepas dari realisasi investasi dan penyerapan tenaga kerja, pemerintah sendiri mengaku kesulitan dalam menekan angka pengangguran di dalam negeri. Hal ini tidak lepas dari banyaknya pengangguran yang mengalami hopeless of job atau mereka yang merasa tak mungkin memperoleh pekerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menyebut, dari total 8,4 juta orang pengangguran, sebanyak 2,8 juta atau 33,45 persen mengalami hopeless of job. Dari 2,8 juta orang pengangguran yang mengalami situasi hopeless of job tersebut, sekitar 76,90 persen berpendidikan rendah (lulusan SMP ke bawah).

“Jadi karena tingkat pendidikan rendah, mereka tak memiliki harapan untuk memiliki pekerjaan. Ini mengindikasikan tingkat pendidikan mereka tak mampu menyiapkan mereka memasuki pasar kerja, baik pendidikan yang rendah maupun kompetensi mereka," kata Ida Fauziyah.

Ida menambahkan tantangan kedua dalam penurunan pengangguran adalah tekanan untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja, khususnya di sektor formal. Tantangan ketiga adanya nilai budaya kerja baru.

“Generasi Y dan Z yang masuk dalam pasar kerja telah membawa nilai-nilai budaya kerja baru. Misalnya nilai work-life-balance, pekerjaan yang bermakna dan worktainment," kata Ida.

Tantangan keempat, lanjut Ida Fauziyah, yakni risiko mismatched (ketidaksesuaian antara supply and demand) akibat digitalisasi. "Digitalisasi mendorong perubahan permintaan keterampilan kerja, pola hubungan kerja, serta waktu dan tempat bekerja yang semakin fleksibel," ujarnya.

Ida Fauziyah menambahkan, kunci untuk mengatasi pengangguran di pasar kerja yakni menciptakan pasar tenaga kerja yang inklusif. Salah satunya lewat kebijakan Active Labour Market Policy (AMLP).

“Ini untuk menciptakan pasar kerja yang inklusif dan penurunan pengangguran," ujarnya.

Strategi Menekan Pengangguran

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengklaim, pemerintah sudah memiliki strategi khusus untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia. Salah satunya mengoptimalisasi belanja pusat dan daerah untuk program padat karya baik di kota maupun desa.

“Untuk mendorong penyerapan tenaga kerja, pemerintah akan mengoptimalisasi belanja pusat dan daerah untuk program padat karya," kata Airlangga.

Tak hanya itu, pemerintah juga bakal memperluas kerja sama government to government bagi pekerja migran, meningkatkan inklusi keuangan dengan PNM dan KUR, serta program upskilling dan reskillinge seperti program kartu prakerja 2023.

Khusus untuk program kartu prakerja, berbeda dengan tahun sebelumnya, yaitu peserta akan mendapat biaya pelatihan sebesar Rp1 juta, dan insentif pelatihan di angka Rp2,4 juta, dengan total pemberian sebanyak empat kali selama empat bulan (Rp600.000p er bulan) dan insentif survei Rp150.000.

“Jadi tahun ini bauran bantuan ataupun biayanya adalah per orang Rp4,2 juta, namun biaya pelatihannya lebih tinggi. Kalau pada saat skema bansos pelatihan lebih rendah daripada bantuan," imbuh Airlangga.

Baca juga artikel terkait REALISASI INVESTASI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz