Menuju konten utama

Mimpi Metromini Bergabung dengan TransJakarta

Persekot yang mahal, penghasilan kecil, dan mekanisme yang belum jelas membuat para pemilik Metromini masih enggan bergabung dengan tawaran operator TransJakarta.

Mimpi Metromini Bergabung dengan TransJakarta
Sejumlah angkutan umum menunggu penumpang di Terminal Bus Blok M, Jakarta, Selasa (1/11). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Leonardo Tampubolon, pemilik Metromini, mengatakan ia masih sungkan menyambut tawaran pemerintah provinsi Jakarta supaya Metromini bergabung dengan PT TransJakarta lantaran persekot bus yang mahal. Ia bilang, pihak TransJakarta memang menjanjikan uang muka murah, yang semula Rp152 juta menjadi Rp75 juta. Tetapi, katanya, janji itu belum jelas sampai sekarang.

“Hermawan, anak buah Budi Kaliwono (Direktur Utama PT TransJakarta), bilang ke kita belum bisa kasih DP Rp75 juta karena belum ketok palu,” ujar Leonardo saat saya menemuinya di pool Metromini Rawamangun, 12 April lalu.

Pada 2016, di bawah wadah Trans Swadaya, anak perusahaan TransJakarta, Pemprov menawarkan agar pemilik Metromini dan angkutan umum lain bergabung demi langkah Jakarta menuju transportasi publik terintegrasi. Kendala besarnya: banyak para raja jalanan ibukota masih menampik tawaran tersebut, terutama dari Metromini.

Selain pertimbangan janji panjar murah yang belum beres, pemilik Metromini seperti Leonardo memikirkan beban biaya operasional bus selama dua bulan pertama sebesar Rp25 juta. Biaya ini buat bensin, gaji sopir, dan perawatan. Jika ditambah uang muka Rp75 juta, maka setiap pemilik Metromini harus punya modal Rp100 juta per armada.

Itu tergolong besar bagi Leonardo, sementara penghasilan yang ditawarkan TransJakarta terbilang sangat kecil.

“Gaji sopir bus gandeng (TransJakarta) Rp9 juta, bus Kopaja Rp6,6 juta. Kita yang punya aset Rp2,5 juta. Layak enggak dapat penghasilan segitu?” keluh Leonardo, menambahkan penghasilan segitu tidak akan cukup buat biaya hidup di Jakarta.

Pria yang sudah 13 tahun menggeluti usaha Metromini ini mengklaim, pemilik Kopaja mendapatkan untung bersih Rp7-9 juta per bulan untuk satu armada. Para pemilik Kopaja, tambahnya, tidak perlu memikir biaya cicilan sewa, perawatan, dan operasional lain.

“Okelah penghasilannya tidak terlalu sama dengan Kopaja, tapi tidak jauh-jauh jugalah. Metromini Rp2,5 juta, Kopaja bisa Rp7-9 juta, beda banget. Kita maunya Rp6 juta,” ujarnya.

Ada juga persoalan lain mengenai mekanisme yang tidak jelas soal langkah menggabungkan Metromini dengan TransJakarta. Ini diungkapkan Azas Tigor Nainggolan, bekas bos Metromini. Anehnya, saat Tigor mempertanyakan hal itu kepada Kepala Dishub DKI Jakarta, ia menerima jawaban bahwa ia akan diurus secara pribadi tetapi pemilik lain tidak.

Tigor tentu sewot. Ia tak ingin mekanisme macam itu membereskan persoalan yang dihadapinya semata. Melainkan untuk ratusan pengusaha Metromini lain yang juga ingin bergabung.

“Hasil survei dari Forum Warga Kota Jakarta, 80 persen pemilik Metromini mau bergabung dengan TransJakarta,” kata Tigor.

Salah satu alasan mengapa mayoritas ingin bergabung, ujarnya, pendapatan usaha Metromini memang terus menyusut. Ia juga mesti bersaing dengan ojek berbasis aplikasi. Gambarannya: dalam sehari kini ia hanya memperoleh Rp100 ribu dari sebelumnya Rp400 ribu.

“Sekarang kita cuma dapat penghasilan Rp100-200 ribu. Bahkan pulang bawa tangan kosong,” kata Leonardo, menambahkan.

INFOGRAFIK HL Metromini

Kendala pada Harga Bus

Dalam peraturan gubernur mengenai TransJakarta, operator baru harus mengikuti mekanisme lelang atau mekanisme lain yang diakui pemerintah jika ingin bergabung ke dalam perusahaan milik daerah.

Kepala Seksi Angkutan Umum Dinas Perhubungan DKI Jakarta Fajar Nugrahaini mengatakan ada dua cara operator angkutan umum bergabung dengan TransJakarta: secara kelembagaan maupun individu.

“Kopaja akhirnya lolos secara kelembagaan melalui sistem Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP),” kata Fajar. Akan tetapi tiga operator lain, yakni Metromini, Kopami, dan Koantas Bima, tidak lolos seleksi. Alasannya, mereka tidak memenuhi syarat kenyamanan dan keselamatan penumpang, ketahanan, daya angkut menumpang, serta penerapan inovasi dan teknologi.

Ketiga operator yang tidak lolos itu, oleh Dishub akhirnya dibikin opsi dengan membentuk Trans Swadaya buat pengelolaan satu atap.

“Saya punya Metromini dua unit, mau berkontrak dengan TransJakarta. Mereka yang ingin berkontrak tidak perlu melalui Metromini atau Kopami. Tapi bisa secara individu dan daftar ke Trans Swadaya,” kata Fajar.

Direktur Utama PT TransJakarta Budi Kaliwono mengklaim sudah ada 100 pemilik Metromini yang mendaftar ke Trans Swadaya. Dari jumlah ini, 15 orang tinggal menunggu persetujuan bank untuk pembelian bus baru Metromini. Angka ini masih kecil bila disandingkan dengan jumlah Metromini yang mencapai 1.500-an unit.

“Speknya kita (Transjakarta) yang tentuin. Saya kasih tahu, dari 100 yang mendaftar (ke Trans Swadaya), enggak ada yang bisa beli sendiri karena harga lebih mahal. Beli dari kita lebih murah, Rp701 juta,” kata Budi.

Salah satu agen pemegang merek (APM) yang dipakai oleh Dishub DKI Jakarta adalah agen pemilik merek Toyota di Jalan Jenderal Sudirman. Agen ini dipakai TransJakarta untuk operator Kopaja.

Widha, seorang penjula senior APM Toyota, mengatakan harga satu unit bus TransJakarta diperkirakan mencapai Rp544 juta. Pembelian ini sudah termasuk sama STNK dan karoseri.

“Bus Kopaja itu tipe Dyna 110 FT. Belinya sasis bus Rp289 juta, BBN bus Rp5 juta, karoseri kurang lebih Rp250 juta,” kata Widha.

Harga mahal, menurut pihak manajemen Transjakarta, karena merek dan sasis bus yang beda. “Sasis kita bus. Kopaja itu sasinya truk,” kata Direktur Pelayanan dan Pengembangan Bisnis PT TransJakarta Welfizon Yuza.

Pihak TransJakarta menjelaskan bus yang ditawarkan kepada Metromini adalah merek Mitsubishi, sementara Kopaja merek Toyota. Perbedaan harga ini yang jadi salah satu faktor pemilik Metromini sulit bergabung dengan Trans Swadaya.

“Kami harus beli merek Mitsubishi jika bergabung dengan Trans Swadaya. Harusnya jangan ditentuin seperti itu, spesifikasi kita ikuti, tapi APM terserah pemilik,” kata Leonardo.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam