Menuju konten utama

Mimpi Membangun Kilang Baru

Pemerintah menyadari bahwa kilang merupakan salah satu infrastruktur penting dalam ketahanan energi. Berbagai terobosan sudah dilakukan, mulai dari insentif, keringanan pajak, kemudahan perizinan, hingga penyediaan lokasi pembangunan kilang. Sayangnya, iming-iming itu tak juga membuat investasi kilang diburu. Akankah mimpi bangun kilang baru dapat terealisasi?

Mimpi Membangun Kilang Baru
Kilang minyak. Foto/shutterstock

tirto.id - Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diteken Sri Mulyani Indrawati, 23 Agustus lalu menjadi babak baru keinginan pemerintah untuk membangun kilang anyar. Jika selama ini tugas tersebut hanya dibebankan kepada Pertamina, maka dengan terbitnya PMK Nomor 129/PMK.08/2016 ini, Pertamina tak lagi menjadi eksekutor tunggal proyek kilang pemerintah. Pertamina harus berbagi dengan swasta asing berdasarkan restu Menkeu.

Sri Mulyani mengatakan, KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) asing dalam proyek kilang minyak dimungkinkan dalam rangka mendukung ketahanan energi nasional, menjamin ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) nasional, serta mengurangi ketergantungan impor BBM.

Kilang Tak Maksimal

Pertimbangan pemerintah cukup masuk akal mengingat kebutuhan konsumsi BBM selama ini ditutupi dengan impor karena produksi kilang dalam negeri tidak mencukupi. Sebagai gambaran, saat ini Pertamina hanya memiliki enam unit kilang minyak dengan total kapasitas 1,04 juta barel per hari (bph). Keenam kilang tersebut adalah Kilang Dumai dengan kapasitas 170.000 bph, Kilang Plaju 133.700 bph, Kilang Cilacap 348.000 bph, Kilang Balikpapan 260.000 bph, Kilang Balongan 125.000 bph, serta Kilang Kasim 10.000 bph.

Rata-rata kilang minyak tersebut sudah berusia tua, seperti Kilang Plaju dan Kilang Balikpapan yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Akibat termakan usia, kilang-kilang ini sudah tak bisa beroperasi maksimal, teknologinya sudah tertinggal, serta tidak efisien. Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang beranggapan kilang merupakan salah satu biang keladi dari mahalnya harga BBM di negeri ini.

Hal itu dapat dilihat dari perbedaan antara desain kapasitas kilang dan produksi BBM yang dihasilkan. Misalnya, dari 6 kilang yang ada, kapasitas kilang didesain mencapai 1,04 juta bph, namun produksi BBM yang dihasilkan saat ini hanya sekitar 820.000 bph. Padahal kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri mencapai 1,68 juta bph. Artinya, sekitar separuh kebutuhan BBM dalam negeri dipasok dari impor.

Menurut data Pertamina, dari enam unit pengolahan tersebut, hanya Unit Pengolahan IV Cilacap yang memiliki kapasitas produksi cukup besar, yaitu 348.000 bph, dan termasuk kilang dengan fasilitas terlengkap. Kilang ini sangat strategis karena memasok 34 persen kebutuhan BBM nasional atau 60 persen kebutuhan BBM di Pulau Jawa.

Selain impor BBM, pemerintah juga mengimpor minyak mentah (crude) untuk mengisi kekurangan pasokan kilang. Hal ini disebabkan karena produksi crude dalam negeri terus anjlok dari tahun ke tahun, padahal ketergantungan terhadap minyak bumi masih sangat besar. Selain itu, beberapa kilang tidak cocok mengolah minyak mentah Indonesia. Misalnya saja kilang minyak I Unit Pengolahan IV Cilacap, yang dibuat hanya untuk mengolah crude dari Timur Tengah. Ini dikarenakan hasil dari kilang selain BBM diharapkan bisa menghasilkan produk NBM, yang merupakan bahan dasar minyak pelumas (lube oil base) dan aspal. Mengolah minyak dari Timur Tengah diharapkan bisa memperoleh bahan dasar pelumas dan aspal. Sementara minyak mentah Indonesia, dianggap tidak ekonomis untuk menghasilkan bahan dasar tersebut.

Outlook Energi Indonesia 2014 menyebutkan, ketergantungan energi fosil dalam negeri masih tinggi, yaitu sebesar 96 persen yang terdiri dari minyak bumi 48 persen, gas 18 persen, dan batubara 30 persen dari total konsumsi.

Melihat fakta tersebut, maka pembangunan kilang baru mendesak untuk segera direalisasikan mengingat konsumsi BBM semakin meningkat. Pembangunan kilang juga membantu penghematan negara dalam jangka panjang karena dapat memangkas impor dalam bentuk BBM, serta tidak ketergantungan pada negara lain.

Ketergantungan pada negara asing tentu berbahaya bagi ketahanan energi nasional. Misalnya, sewaktu-waktu Singapura menghentikan pasokan BBM karena satu dan lain hal, maka Indonesia akan kesulitan. Karena itu, meng-upgrade kilang lama dan membangun kilang baru merupakan solusi yang tepat.

Persoalannya adalah kenapa selama ini Indonesia tidak membangun kilang baru?

Rencana bangun kilang baru sebenarnya sudah digagas sejak lama oleh pemerintah melalui Pertamina, tetapi selalu mendapat kendala. Misalnya, pada tahun 2012 saat Karen Agustiawan menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina, perusahaan pelat merah tersebut sudah menggandeng Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum.

Lambatnya realisasi pembangunan kilang minyak antara lain disebabkan besarnya investasi yang diperlukan dan rendahnya margin. Selain itu, adanya pihak yang tidak suka dengan rencana Pertamina membangun kilang minyak baru sebagai antisipasi program ketahanan energi juga menjadi persoalan pelik.

“Tidak semua pihak 'happy' dengan pembangunan proyek kilang baru di Indonesia,” kata Ali Mundakir yang saat itu masih menjabat sebagai Vice President Corporate Communications PT Pertamina, pada 2012 silam.

Padahal, kata Ali, pembangunan kilang baru sangat penting untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri yang selama ini kekurangannya masih dipenuhi oleh impor. Selain itu, kilang juga memenuhi kebutuhan bahan baku industri petrokimia.

"Kilang yang ada saat ini sudah tua dan desainnya untuk minyak campur alias gado-gado sehingga hasilnya tidak maksimal. Padahal, harusnya kilang harus fokus pada bahan jenis tertentu agar hasilnya bisa maksimal,” imbuhnya.

Solusi Pemerintah

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), upaya untuk mewujudkan pembangunan kilang baru semakin masif. Salah satunya adalah dukungan pemerintah dalam penguatan regulasi untuk mendorong pembangunan kilang baru ini.

Misalnya, pada akhir 2015 lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 146/2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Melalui Perpres ini, Jokowi berharap ada percepatan dalam kegiatan investasi pembangunan kilang di Indonesia.

Persoalan yang selama ini menghambat pembangunan kilang baru seperti besarnya investasi dan keekonomian dari pembangunan kilang ini diakali pemerintah dengan beragam solusi, seperti menawarkan beragam insentif, mulai dari keringanan pajak, kemudahan perizinan, hingga penyediaan lokasi pembangunan kilang, agar investor mau menanamkan modalnya di Indonesia.

Tak hanya berhenti pada Perpres No. 146/2015. Presiden Jokowi juga menerbitkan Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam konteks ini, pemerintah menetapkan proyek pembangunan kilang minyak sebagai proyek strategis nasional dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan menunjuk Pertamina sebagai Penanggung Jawab Kerja Sama Proyek (PJPK). Salah satu yang ditetapkan sebagai proyek strategis percepatan infrastruktur adalah pembangunan kilang minyak di Bontang, Kalimantan Timur.

Perpres tersebut merupakan penegasan pentingnya pembangunan kilang minyak di dalam negeri. Setelah proyek kilang minyak Tuban di Jawa Timur, kilang minyak Bontang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri dan menekan impor yang angkanya semakin besar.

Keinginan kuat pemerintah ini juga dibarengi dengan keseriusan Pertamina untuk mewujudkan kilang baru. Perusahaan pelat merah tersebut terus melakukan pembahasan dengan para calon investor, yakni Rosneft Oil Company dari Rusia, Saudi Aramco asal Arab Saudi, China National Offshore Oil Company (CNOOC) dari Cina, Kuwait Petroleum International dari Kuwait, dan PTT Global Chemical Public Company Limited yang bekerjasama dengan Thai Oil asal Thailand.

Sebagai informasi, Pertamina sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana membangun kilang minyak di Tuban dan Bontang, dengan kapasitas masing-masing sekitar 300.000 bph.

Selain itu, Pertamina juga meng-upgrade kilang yang ada saat ini agar dapat meningkatkan kapasitas pengolahan BBM dan menekan harga di hilir. Dalam siaran pers Pertamina tahun lalu, lima kilang Pertamina diyakini akan memiliki daya saing tinggi di kawasan Asia Pasifik apabila proyek Refining Development Masterplan Program (RDMP) tuntas.

Seperti diketahui, RDMP diproyeksikan akan mendongkrak kapasitas pengolahan minyak mentah dari posisi saat ini sekitar 820.000 bph menjadi 1,68 juta bph atau dua kali lipat. Fleksibilitas kilang juga meningkat, yang diantaranya ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mengolah minyak mentah dengan tingkat kandungan sulfur setara 2 persen, di mana saat ini kandungan sulfur pada minyak mentah yang dapat ditoleransi hanya 0,2 persen.

Teranyar, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan regulasi baru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.08/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 265/PMK.08/2015 tentang Fasilitas Dalam Rangka Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, yang diteken Sri Mulyani pada 23 Agustus lalu.

Regulasi tersebut sebagai respons pemerintah untuk membenahi kembali sektor hulu dan hilir migas yang terbengkalai puluhan tahun, salah satunya pembangunan kilang yang lebih dari dua dekade belum terealisasi.

Dalam konteks ini, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan tugas pembangunan kilang baru kepada Pertamina semata. Kesempatan yang sama juga akan diberikan kepada swasta nasional maupun asing. Syaratnya mereka harus dapat mengatur harga dan kebutuhan minyak secara baik.

Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mewujudkan pembangunan kilang baru ini. Semoga keinginan tersebut segera terealisasikan agar ketergantungan impor BBM dapat diminimalisir dan ketahanan energi nasional dapat terwujud.

Baca juga artikel terkait KILANG MINYAK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti