Menuju konten utama

Mimpi Buruk "Rush Money" Jangan Berulang

Krisis kepercayaan terhadap pemerintah telah memicu rush atau penarikan uang besar-besaran pada1997/1998. Hampir dua dekade krisis berlalu, tetapi dampaknya masih dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia.

Mimpi Buruk
Ilustrasi keuangan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Sebelum krisis moneter menerpa, Indonesia merupakan negara dengan catatan pertumbuhan ekonomi yang gemilang. Dalam kurun waktu 30 tahun, Indonesia menjelma dari negara paling miskin menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam “Ekonomi Indonesia 1800-2010” (2012), pada kurun waktu 1967 hingga 1997, PDB Indonesia rata-rata tumbuh hingga 6,8 persen. Ekonomi Indonesia tumbuh melebihi negara-negara lain di kawasan regional.

Sayangnya, perekonomian Indonesia tidak dibangun di atas pondasi yang kuat. Ini menyebabkan ekonomi Indonesia tak kuat menahan guncangan ketiga badai krisis moneter di Asia datang pada awal tahun 1997. Gejolak krisis yang dimulai dengan anjloknya mata uang baht Thailand ternyata membuat Indonesia tak berkutik.

Krisis dimulai pada Juli 1997, ketika Thailand yang sedang dibelit utang memutuskan untuk menerapkan mata uang mengambang. Kebijakan itu justru menjadi serangan para spekulan yang akhirnya membuat baht terjatuh. Kejatuhan baht kemudian menular kepada mata uang Asia lainnya.

Awal Juli 1997, nilai dolar bergejolak hampir dua kali lipat. Jika rata-rata dolar hanya sebesar Rp2.450 pada semester I-1997, maka nilainya pada semester II-1997 sudah melonjak menjadi Rp4.650. Penguatan dolar terus berlanjut menjadi Rp8.025 secara rata-rata pada 1998. Pada satu titik, dolar bahkan sempat menembus Rp17.000.

Pelemahan rupiah ini kemudian memicu krisis lanjutan. Perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam dolar langsung terpukul, apalagi mereka tidak sempat melakukan lindung nilai. Pelemahan rupiah juga diikuti dengan kebijakan pengetatan likuiditas oleh bank sentral. Kondisi ini ternyata memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Terjadi penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat.

Kondisi ini semakin parah karena praktik perbankan Indonesia ketika itu sangat buruk. Terbukti dari banyaknya bank yang melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Tak hanya itu, pengucuran kredit kepada kelompok usaha juga dilakukan tanpa koridor praktik-praktik perbankan yang sehat.

Untuk mencegah meluasnya krisis, pemerintah akhirnya melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Likuidasi ini juga merupakan kesepakatan dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan IMF pada 31 Oktober 1997. Pemerintah harus melaksanakan LoI demi mendapatkan kucuran dana dari IMF yang saat itu sangat dibutuhkan. Dana IMF untuk Indonesia mencapai 43 miliar dolar AS, yang akan mengucur jika Indonesia mau mematuhi sejumlah kebijakan yang dituangkan dalam LoI.

INFOGRAFIK KRISIS 1997/1998

Dampak langsung dari aksi penarikan dana besar-besaran, mengakibatkan perbankan mengalami kesulitan likuiditas yang besar dan diikuti kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan. Kondisi diperparah dengan melonjaknya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAP) hingga 300 persen per tahun.

Bank tidak dapat membayar kembali pinjaman yang kemudian menyebabkan bank pemberi pinjaman ikut terkena dampaknya. Muncul efek domino yang membuat kondisi perbankan sangat rentan. Bank dengan saldo negatif pada giro di Bank Indonesia pun semakin banyak. Jika dibiarkan akan menimbulkan kelumpuhan ekonomi.

Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan stabilisasi dan reformasi perbankan secara menyeluruh. Pada 26 Januari 1998, pemerintah memutuskan menjamin pembayaran seluruh kewajiban bank, baik kepada deposan maupun kreditur melalui program penjaminan atau blanket guarantee. Kebijakan tersebut diharapkan bisa memulihkan kepercayaan perbankan nasional dan mendukung stabilisasi nilai tukar.

Sayangnya, keuangan pemerintah ketika itu tidak cukup untuk melaksanakan program penjaminan. Bank Indonesia (BI) akhirnya memberikan bantuan dengan menyediakan dana talangan. Karena berupa talangan, pemerintah tetap diwajibkan membayarnya di kemudian hari. Fasilitas dari BI inilah yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pemerintah akhirnya melakukan rekapitalisasi untuk memperkuat permodalan bank. Menurut Djoko Retnadi dkk dalam “Obligasi Rekapitalisasi Perbankan”, pemenuhan modal dalam rangka rekapitalisasi perbankan dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemerintah menyetorkan kas sebagai setoran modal. Kedua, pada saat yang sama setoran kas tersebut wajib diinvestasikan untuk membeli obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah.

Secara total Pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi perbankan hingga Rp430,4 triliun, untuk memperkuat permodalan bank. Sebagai konsekuensi atas dikeluarkannya obligasi rekap ini, pemerintah harus mencadangkan dana pada APBN untuk pembayaran kupon dan pokok obligasi.

Pemerintah memang tidak mendapatkan “cek kosong” saat menyelamatkan bank-bank tersebut. Ada aset-aset bank yang dikuasai dan kemudian dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Penjualan aset-aset dan saham dari bank rekap itulah yang kemudian masuk ke APBN, untuk meringankan utang pemerintah setelah menyelamatkan perbankan. Namun, jumlahnya masih belum setara dengan biaya rekapitalisasi perbankan.

BPPN tercatat menguasai aset hingga Rp600 triliun. Namun, tingkat pengembaliannya sangat rendah. Menurut BPK, hingga berakhirnya masa tugas pada 2004, BPPN hanya berhasil mengumpulkan Rp188,88 triliun atau 30,39 persen dari total target pengembalian uang negara yang dibebankan senilai Rp621,55 triliun. Sementara total biaya penyehatan perbankan mencapai Rp667,13 triliun. Tugas BPPN kemudian diteruskan PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Belum diperoleh angka pasti berapa nilai aset eks BPPN yang berhasil dijual PT PPA. Yang pasti, mendapatkan dana pemerintah kembali sangat sulit mengingat aset-aset yang ditangani PT PPA tinggal sisa-sisa dan sulit untuk dijual pada harga terbaik.

Tidak hanya tingkat pengembalian dari penjualan aset yang rendah, pemerintah juga mendapatkan fakta bahwa penyaluran BLBI ternyata banyak mengalami penyimpangan. Menurut hasil audit investigasi BPK, ditemukan kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan perbankan dan kelemahan manajemen penyaluran BLBI. BPK menemukan bahwa negara rugi sebesar Rp138,442 triliun atau 98% dari total BLBI, yang disalurkan pada 29 Januari 1999.

Biaya yang harus dikeluarkan negara sungguh tidak sedikit. Ongkos krisis kepercayaan ternyata sangat mahal, bahkan hingga saat ini masih harus dipikul.

Tahun demi tahun dihabiskan pemerintah untuk membayar bunga dan pokok obligasi rekap ini. Hingga kini, detail dari proporsi obligasi rekap yang masih ada dan detail pembayaran yang dilakukan pemerintah memang tidak pernah ada. Dalam APBN biasanya hanya disebutkan total pembayaran bunga utang domestik. Pada APBN 2016 misalnya, hanya disebutkan pembayaran bunga utang domestik Rp168,5 triliun. Nilai itu tidak merinci berapa nilai pembayaran bunga obligasi rekap dan berapa porsi untuk surat utang domestik lainnya.

Namun, pemerintah mengakui bahwa obligasi rekap ini terus membebani APBN. Dalam rincian utang pemerintah yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa kenaikan nominal utang pemerintah berasal dari akumulasi utang di masa lalu dan dampak krisis ekonomi 1997/1998.

Krisis terhadap perbankan yang memicu rush besar-besaran telah menyengsarakan negara ini hampir 2 dekade lamanya. Hingga detik ini, negara masih harus menanggung bebannya. Dari pelajaran di masa lalu, semua orang tentunya berharap tidak akan ada lagi krisis yang memicu rush besar-besaran.

Baca juga artikel terkait RUSH MONEY atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Nurul Qomariyah Pramisti
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra