Menuju konten utama

Mimpi Buruk di 'Atap' Kalimantan Selatan Itu Bernama Tambang

Pegunungan Meratus, "atap-nya" Kalimantan Selatan, terancam rusak karena tambang. Warga yang hidup selaras dengan alam juga terancam.

Mimpi Buruk di 'Atap' Kalimantan Selatan Itu Bernama Tambang
Pemuda Dayak Meratus melaksanakan tari Bebangsai sebagai ekspresi menjaga alam di Kampung Kiyo, Hinas Kiri, Batang Alai Utara, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Ia hanya bisa memandang kedua sahabatnya berenang di Sungai Batang Alai saat hari hampir malam dan angin sedang berembus tipis. Ia duduk manis di ujung atas pintu air Bendung Batang Alai, yang berada di Desa Labuhan, Kecamatan Batang Alai Selatan (BAS), Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.

"Aku sedang demam, jadi tidak ikut Raja dan Damar berenang," kata bocah kelas 8 yang memperkenalkan diri sebagai Alexandro ini kepada saya, Rabu (23/10/2019) lalu.

Alex, begitu ia biasa disapa, berenang di sini nyaris setiap hari sehabis pulang sekolah. Ia hanya perlu berjalan kaki 30 menit melewati jembatan gantung.

Ia dan kawan-kawannya rajin berenang di sungai ini karena "airnya jernih dan bagus."

Kadang Alex datang bersama sang ayah untuk memancing. Ia senang menyantap ikan gabus yang dengan mudah didapatkan di sungai ini. "Aku tidak bisa mancing. Tapi aku suka makannya."

Luas Bendung Batang Alai mencapai 5.000 hektare. Pembangunannya dimulai sejak 2006 namun baru rampung pada periode pertama Presiden Joko Widodo. Bendungan ini dimanfaatkan sebagai sumber irigasi 8.000 hektare lahan pertanian dan perkebunan masyarakat setempat: di bagian kiri membentang lahan perkebunan 5.000 hektare dan kanan seluas 3.000 hektare.

Bendungan dilengkapi saluran irigasi primer 12.892 kilometer, saluran irigasi sekunder 30.233 kilometer, dan bangunan pelengkap sebanyak 114 buah. Total biaya yang dihabiskan untuk membangun ini semua mencapai Rp234,5 miliar.

Air sungai mengalir dari Pegunungan Meratus dan melewati delapan kabupaten di Kalimantan Selatan, tiga kabupaten di Kalimantan Timur, dan dua kabupaten di Kalimantan Tengah.

Di pegunungan itu, tepatnya di kaki gunung Halau-Halau, Kampung Kiyo, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Utara, tinggal masyarakat Dayak Meratus.

Butuh waktu dua jam untuk bisa tiba di Balai Kiyo dari Kecamatan Barabai dengan menggunakan kendaraan roda empat. Pengemudi harus cermat dan lihai sebab banyak tanjakan dan turunan terjal. Lebar jalan juga kian menyusut, bahkan di beberapa titik hanya dapat dilewati satu mobil saja.

Sepanjang perjalanan, berderet hamparan perkebunan pisang, jagung, durian, karet, dan padi.

Sebagian besar masyarakat Dayak Meratus memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil bumi. Mereka bisa menjual apa pun, mulai dari sahang atau cabai, jagung, kacang-kacangan, dan karet.

Tapi mereka pantang menjual padi.

Jarkasih, salah satu warga, menyebut padi sebagai karunia Tuhan yang tidak ternilai harganya. Keyakinan ini sudah ditanamkan para leluhur kepada generasi penerus, termasuk dirinya.

Sekali memanen, Jarkasih mampu menghasilkan beras yang dapat dipakai enam sampai delapan bulan ke depan. Setiap rumah Dayak Meratus biasanya memiliki lumbung beras masing-masing.

"Panennya untuk makan sendiri dan keluarga, kalau kelebihan bisa diberikan kepada [warga Dayak Meratus] yang kekurangan," ujarnya saat saya temui di rumahnya. Sebuah sistem sosial yang mungkin aneh jika dilihat dari kacamata masyarakat--yang disebut--modern.

Ladang bertani biasanya terletak di lereng gunung atau di pedalaman hutan Meratus. Masyarakat sangat bergantung pada hujan untuk mengairi ladang.

Sebagai penganut kepercayaan Balian, masyarakat Dayak Meratus memang sangat mengistimewakan padi ketimbang tumbuhan-tumbuhan lain. Bahkan, tidak seperti tumbuhan lain, mereka punya ritual khusus dalam memperlakukan padi.

Tetua Dayak Meratus, Julak Maribut--Julak berarti orang yang dituakan dan dihormati dalam struktur keluarga maupun masyarakat--mengatakan masyarakat tidak akan berani membuka lahan bertani baru kecuali mereka diberi instruksi oleh leluhur melalui mimpi.

"Kalau dalam mimpi tidak ada izin untuk membuka lahan, maka harus pindah lokasi dan memulai ritual lagi." katanya kepada saya. "Jika memaksa untuk berladang, sesuatu yang buruk bisa terjadi seperti mamingit (sakit) bahkan bisa sampai meninggal dunia."

Ritual selanjutnya digelar ketika padi hendak ditanam. Masyarakat akan membawa sesajen ke hutan untuk para leluhur. Sesajen biasanya terdiri dari laman atau ketan yang dimasak dalam bambu, beras, dedaunan, dan aneka tumbuhan hutan lain.

"Baru setelah itu masyarakat akan melakukan mahanyari, ritual untuk memanjatkan syukur pada hasil panen," ujarnya. "Masyarakat juga harus menepati janji mereka saat di [ritual] awal. Jika tidak mereka akan mendapatkan hal buruk."

Apabila hasil panen bagus, mereka akan saling memberi hasil panen, juga kepada leluhur, sebagai bentuk terima kasih. Setelah itu mereka akan melakukan ritual bapisit banih atau menyimpan hasil panen ke dalam lu'ung atau lumbung yang berada di rumah masing-masing. Mereka menyisakan sisa benih untuk musim tanam berikutnya.

“Ritual puncaknya, aruh ganal. Kami mengundang semua Dayak di Kalimantan Selatan dan orang Banua,” ujarnya. Aruh ganal berlangsung puluhan hari di Balai Adat. Pada ritual ini seorang Balian akan merapal mantra atau bamamang.

Ritual aruh ganal juga dimaknai sebagai ekspresi bersyukur atas karunia Yang Maha Kuasa dan leluhur atas kekayaan alam, sekaligus komitmen untuk terus menjaganya tetap lestari sehingga dapat diwariskan untuk anak dan cucu dalam kondisi serupa.

Diganggu Tambang

Julak Maribut gamang ketika mengetahui alam Meratus terancam rusak karena tambang.

Pada 4 Desember 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) mengeluarkan izin operasi Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DBJ/2017.

Area konsesi yang dimiliki perusahaan tambang asal India ini meliputi Kabupaten Balangan, Tabalong, dan Hulu Sungai Tengah, dengan luas mencapai 5.908 hektare. 1.900 hektare di antaranya terletak di Pegunungan Meratus.

Julak Maribut meyakini kalau "alam tidak boleh dirusak" karena itu adalah "sumber kehidupan." "Kalau dirusak sama saja mematikan masyarakat meski kami masih bisa hidup."

Dari Kampung Kiyu, saya berjalan menuju bagian hilir menuju Desa Nateh. Jaraknya kurang lebih empat kilometer. Setelah 'disambut' gundukan karst dari Gunung Pulu dan Gunung Balu, saya bertemu dengan Yanur, pemuda dari Suku Banjar yang menetap di Desa Nateh--yang dikelilingi pegunungan karst, Sungai Batang Alai yang jernih, dan hamparan perkebunan karet hingga durian.

Dia langsung mengajak saya menyusuri Gua Berangin yang menurutnya sangat indah.

Yanur bukan pemandu susur gua tulen. Aktivitas itu hanya kerja sampingan saja. Rutinitas utama tetap penyadap karet. Dari situlah ia bisa menafkahi keluarga kecilnya.

“Harga karet Rp 6.500 [per kilogram]. Walau panennya lama, bisa enam bulan, tapi sudah bertahun-tahun menghidupi saya,” ujarnya.

Jika kebetulan mendapatkan klien, Yanur biasanya sekalian membawa kotoran kelelawar yang tercecer di lantai gua yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk pohon karet.

Sebetulnya ia punya pilihan bertani atau berkebun yang lain semisal cabai, padi, pisang, dan durian. Namun ia enggan, sebab tak punya cukup ongkos untuk merawat jenis tanaman seperti itu.

"Berkebun dan bertani itu perawatannya susah. Harus dijaga terus karena banyak monyet di sini."

Ketua Dewan Pengawasan Desa Nateh, Arbaini, mengatakan kepada saya kalau desa ini juga termasuk kawasan yang terancam tambang. Dan seperti Julak Maribut, pria yang kerap disapa Abah Nateh ini juga khawatir bentang alam desanya berubah.

"Kalau ditambang, hilang mata pencaharian. Makan apa anak-istri?" katanya ketika saya temui di rumahnya yang berada di pinggir Sungai Batang Alai.

Arbaini lantas mengajak saya menyusuri Gua Ali yang berada di Bukit Nateh. Kami menempuh perjalanan sejauh satu kilometer. Perjalanan menuju Gua Ali hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Kami melewati hutan karet, ladang padi, dan bermacam-macam perkebunan milik warga.

Kami berhenti di hamparan rimbun pohon. Untuk sampai bibir Gua Ali, kami masih harus berjalan kaki dan sedikit menanjak sejauh 200 meter. Gua Ali merupakan sumber air bagi masyarakat setempat layaknya Sungai Batang Alai.

"Dari lawang [pintu masuk gua] ada sungai. Kalau mau lihat, jalan lagi 300 meter ke bawah," ujarnya.

Dari sana, Arbaini mengajak saya menuju Gua Tarap yang letaknya masih satu bukit karst dengan Gua Ali. Sama seperti akses menuju Gua Ali, kami harus berjalan kaki sedikit lebih jauh dan bahkan harus menanjak curam setinggi 500 meter. Beruntung banyak gundukan yang bisa dijadikan pijakan.

Di sekitar Gua Tarap banyak tumbuh pohon tarap atau terap, yakni buah sejenis nangka yang ukurannya lebih kecil, serta pohon pakis atau masyarakat sekitar biasa menyebutnya paku.

Arbaini sempat terdiam di bibir gua memandang jauh ke dalam. Ia tidak terima kalau bukit karst yang memiliki sejumlah gua akan beralih menjadi lubang-lubang tambang. Arbaini takut, khawatir, kejadian yang menimpa masyarakat daerah terdampak tambang di banyak titik di Kalimantan terjadi juga di daerahnya.

"Banyak warga yang menjual tanahnya untuk ditambang perusahaan. Uangnya habis untuk senang-senang. Begitu mau balik ke desanya sudah tidak ada lahan. Akhirnya mengontrak rumah seadanya," ujar Arbaini.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan Pegunungan Meratus merupakan benteng terakhir keasrian alam di Bumi Murakata dan Kalimantan Selatan. Lantaran posisinya yang meliputi sembilan kabupaten yakni Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Balangan, dan Tabalong, ia yakin betul apabila tambang beroperasi, itu akan menimbulkan kerusakan ekologis akut.

"Para ahli menyebutkan bahwa ekosistem karst memiliki fungsi akuifer air alami, yakni sebagai penampung dan penyalur air bagi wilayah di sekitarnya," ujarnya. "Fungsi akuifer ini terancam rusak jika kawasan karst menjadi tambang batu bara yang menggali kawasan karst dan tempat di sekitarnya.”

"Meratus juga paru-paru dunia. Rimba terakhir yang harus diselamatkan," tambahnya. "Pegunungan Meratus ibarat atapnya Kalimantan Selatan, bahkan atapnya Kalimantan."

Tempat saya bertemu Alexandro, Bendung Batang Alai, menurut Kisworo, merupakan titik terdekat dengan lokasi konsesi. Posisi tambang berada di hilir dengan jarak hanya 2,9 kilometer.

Akan Dipertahankan Mati-matian

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kemen ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan izin tersebut hanya sebatas izin produksi yang dapat berlaku apabila ada amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Amdal ini belum terbit.

"Kalau tidak ada amdal-nya, mereka tidak bisa bekerja. Kalau [pemerintah] daerah mau tidak mengeluarkan amdal, ya, mereka tidak bisa kerja walaupun punya wilayah itu," kata Bambang, Jumat (25/10/2019).

Bambang mengatakan tidak mungkin mencabut SK PKP2B yang kadung terbit tersebut. Sebab kalau dicabut, "nanti diarbitrase." "Biarkan saja. Kan, lama-lama juga berhenti."

Kendati demikian, baik Julak Maribut dan Arbaini sama-sama siap memperjuangkan daerahnya masing-masing jika kemungkinan paling buruk terjadi: tambang benar-benar beroperasi.

Arbaini tegas berucap: "kami sudah bicara dengan Suku Dayak Meratus, dengan Julak. Kami siap berkelahi."

Baca juga artikel terkait SAVE MERATUS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino