Menuju konten utama

Militer AS Beli Data Aplikasi Muslim Pro, Masih Tak Peduli Privasi?

Militer AS mendapatkan data-data pengguna aplikasi Muslim Pro dari tangan ketiga.

Militer AS Beli Data Aplikasi Muslim Pro, Masih Tak Peduli Privasi?
Aplikasi Muslim Pro. foto/Google Play Store

tirto.id - "Militer Amerika Serikat membeli data pergerakan orang-orang di seluruh dunia, yang diimiliki oleh aplikasi yang tampaknya tidak berbahaya," tulis Joseph Cox dalam laporan investigasinya untuk Motherboard Vice (16/11/20). Data pergerakan manusia itu dimiliki khususnya oleh aplikasi-aplikasi ponsel bertema Islam, seperti Muslim Mingle (sejenis Tinder untuk pengguna muslim) dan Muslim Pro (yang mengklaim sebagai "aplikasi terpopuler bagi kalangan muslim di seluruh dunia").

Militer AS tak langsung membeli data pergerakan manusia dari aplikasi-aplikasi itu, melainkan melalui pihak ketiga alias broker. Menurut Cox, ada dua sumber mengapa data pengguna aplikasi seperti Muslim Mingle dan Muslim Pro dapat jatuh ke tangan militer AS. Pertama, data diperoleh dari perusahaan bernama Babel Street, yang memiliki layanan bernama Locate X. Militer AS memiliki akses pada layanan ini. Locate X mampu mengutak-atik data pengguna berbagai aplikasi untuk diterjemahkan sebagai input mesin pengintai. Locate X juga mampu mengetahui perangkat yang dipakai pengguna berdasarkan data yang telah mereka miliki.

Kedua, data diperoleh melalui perusahaan bernama X-Mode. X-Mode, misalnya, membeli data pengguna Muslim Pro. Lalu, data tersebut dibeli perusahaan lain. Dari perusahaan penengah ini akhirnya data jatuh ke tangan militer AS. X-Mode memiliki kemampuan "reverse engineering" sehingga mampu mengetahui dengan pasti sosok pemilik data.

Sebagai salah satu institusi terkuat di dunia dengan rekam jejak serangan mematikan melalui drone plus koordinat terukur, jatuhnya data-data pengguna Muslim Mingle dan Muslim Pro ke tangan militer AS, tulis Cox, "sangat berbahaya".

Cox, dalam laporan lanjutannya, menyebut bahwa usai laporan investigasinya dipublikasikan, Muslim Pro akhirnya "menghentikan kerjasama dengan pihak ketiga, termasuk X-Mode".

Melalui akun Instagramnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku sebagai pengguna harian Muslim Pro "karena memang bagus sekali". Ia menyerukan kepada "warga tercinta" untuk "sementara mari pindah ke apps yang lain, sampai ada kepastian terkait perlindungan privasi pengguna". Ajakan ini ia sampaikan karena jatuhnya data pengguna Muslim Pro ke tangan militer AS, "melanggar hal fundamental (manusia), yaitu privasi data dan lokasi pengguna".

Data diri dan privasi memang bagian hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh si pengguna, perusahaan yang diberi amanah oleh pengguna, dan negara. Masalahnya, meskipun tahu privasi dan data diri penting, perilaku sebagian besar warga maya di dunia membuktikan sebaliknya: tidak peduli.

Paradoks Privasi: Paham, Tapi Tak Peduli

Pada April 2019 silam, Stuart A. Thompson, jurnalis The New York Times peraih Pulitzer Prize, melakukan sebuah eksperimen yang berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat tentang privasi di dunia maya. Dalam eksperimen itu, Thompson memasang iklan khusus untuk warga maya. Alih-alih menyebarkan iklan sebagaimana iklan (maksudnya, mengajak pengguna internet membeli suatu produk sesuai dengan karakter pengguna, berdasarkan data mereka), Thompson menyebarkan iklan: "Iklan ini mengira Anda mencoba menurunkan berat badan dan masih menyukai toko roti"; "Anda sedang diawasi. Apakah Anda baik-baik saja dengan ini?"; "Iklan ini menganggap Anda laki-laki, yang secara aktif menggunakan uang Anda untuk membeli banyak produk di department store mewah."

Ketika dunia belum mengenal internet--atau tatkala penggunaan internet belum masif-- iklan merupakan ajakan (untuk menggunakan produk/layanan) yang menyasar orang per orang. Billboard iklan rokok, misalnya, dipasang di pinggir jalan untuk dilihat siapapun, entah perokok atau bukan, entah pria atau wanita, entah dewasa atau anak-anak. Yang dilakukan Thompson merupakan evolusi dunia periklanan, yang lahir akibat kian masifnya penggunaan internet dan produk-produk digital lain. Industri periklanan mengenal akrab setiap pengguna maya di seluruh dunia lewat biografi yang diunggah dan "Like" yang ditekan di Facebook, retweet di Twitter, "Love" di Instagram, kata kunci yang diketik di Google, GPS yang diaktifkan di Google Maps, kartu kredit yang digesek di suatu toko, hingga "swipe" kanan yang dilakukan di Tinder. Data-data tersebut dikumpulkan melalui jejaring kerjasama antar perusahaan. Dengan kumpulan data-data tersebut, industri periklanan melahirkan ... "personalized ads".

Dalam eksperimen, Thompson mengaku menggunakan 16 kategori pengelompokkan warga maya, seperti "anggota Partai Demokrat", dan "orang-orang yang berusaha menurunkan berat badan." Menurut Thompson, terdapat 30.000 kategori dalam industri periklanan saat ini. Lewat ribuan kategori inilah iklan dapat menyebar ke masyarakat secara spesifik. "Penyedia data (yang lalu dimanfaatkan industri iklan) memiliki informasi dari hampir setiap bagian hidup Anda, bahkan memiliki informasi yang tidak pernah terbayangkan oleh si pemilik data (pengguna internet)," catat Thompson.

Masalahnya, personalized ads tak hanya digunakan untuk memasarkan produk/layanan dari suatu perusahaan, tetapi juga untuk tujuan-tujuan politik. Tak hanya industri periklanan yang memanfaatkan kekuatan data ini. Institusi negara pun menggunakan data serupa untuk "mengenal" lebih akrab setiap orang di dunia, bahkan lewat paksaan.

Jennifer Valentino-DeVries, dalam laporannya untuk The New York Times, menyebut bahwa sejak 2016 polisi di AS dapat memaksa perusahaan digital untuk menyerahkan data-data pengguna demi mengungkap kejahatan. Polisi bisa meminta informasi ponsel-ponsel yang terdeteksi aktif di sekitar lokasi kejahatan kepada Google. Sampai taraf tertentu, tindakan ini masih bisa dipahami. Sayangnya, peristiwa salah tangkap sering terjadi. Jorge Molina, warga Phoenix, Arizona, AS, yang terbukti tak bersalah, misalnya, harus rela mendekam beberapa hari di penjara gara-gara ponsel yang dimilikinya terdeteksi aktif di sekitar lokasi kejahatan yang sedang diinvestigasi polisi.

Eksperimen Thompson mampu menunjukkan bagaimana perilaku warga maya saat ini dapat dikonversi melakukan "profiling". Sayangnya, Thompson tidak menyertakan tanggapan para penerima iklan yang disebarkannya itu. Namun, merujuk studi Eszter Hargittai bertajuk "'What Can I Really Do?' Explaining the Privacy Paradox with Online Apathy" (2016) kemungkinan besar masyarakat tidak akan peduli informasi dirinya dikonversi semena-mena menjadi personalized ads, meskipun umumnya mereka tahu bahwa data diri dan privasi merupakan barang berharga. Kelakuan ini menciptakan "privacy paradox" alias paradoks privasi.

infografik cambridge analytica

infografik cambridge analytica

Hargittai, mengutip penelitian yang dilakukan Alan Westin sejak 1978 hingga 2004, menyebut masyarakat pada umumnya memang tidak terlalu mementingkan privasi dan informasi pribadi. Ia memaparkan tiga jenis orang terkait privasi. Pertama adalah privacy pragmatist, yakni orang-orang yang mengukur untung/rugi jika data diberika (jumlahnya 57 persen). Kedua, privacy fundamentalist, orang yang benar-benar menjaga privasi dan data diri. Ketiga, unconcerned, yakni orang yang benar-benar tidak peduli. Privacy fundamentalist akan menggunakan cara apapun untuk menjaga kerahasiaan diri. Namun, dalam eksperimen menggunakan chat bot, mereka mudah terpedaya untuk memberikan informasi pribadi secara cuma-cuma.

Dalam studi yang dilakukan pada kalangan mahasiswa yang dikenal memiliki kepedulian privasi yang tinggi, Hargittai menyebut 48 persen terbukti mengunggah data orientasi seksualnya, 21 persen mengunggah nama orang tua, dan 47 persen mengungkap orientasi politik secara online.

Alasan utama mengapa masyarakat tak terlalu peduli dengan privasi di dunia maya kurangnya pemahaman tentang risiko dan perlindungan privasi, bahkan ketika tersiar kabar bahwa data mereka terbukti disalahgunakan. Dalam esainya di The Guardian, John Naughton menyatakan bahwa usai skandal Cambridge Analytica terungkap, Facebook tidak ditinggalkan penggunanya, malahan lebih tokcer. Usai skandal Cambridge Analytica terkuak, pengguna aktif harian Facebook meningkat dan pendapatan per pengguna naik hingga 19 persen.

Faktor lainnya, yang membuat masyarakat tidak terlalu peduli dengan privasi, tak lain terkait faktor "gratis," atau pada sedikit kasus, "murah" alias "freemium".

Untuk menjalankan produk/layanan digital, perlu uang untuk membuat server tetap menyala dan dana untuk membuat karyawan tetap bekerja. Alphabet (induk usaha yang menaungi Google, Youtube, dkk), mengutip laporan keuangannya, membutuhkan uang senilai $72 miliar untuk dapat beroperasi selama 2019. Facebook menghabiskan uang senilai $47 miliar untuk menghidupi Facebook, Instagram, dan WhatsApp sepanjang 2019.

Iklan personal adalah jawaban utama untuk membayar biaya tersebut dan menyajikan layanan/produk secara cuma-cuma kepada masyarakat, yang rupanya sangat senang dengan model bisnis ini. Catherine Han, dalam studinya berjudul "The Price is (Not) Right: Comparing Privacy in Free and Paid Apps" (2020) meneliti 5.877 aplikasi Android. Ia menyebut aplikasi gratisan memang dicintai masyarakat dibandingkan aplikasi berbayar. Aplikasi gratis diunduh 10 kali lebih banyak dibandingkan aplikasi berbayar. Perusahaan senang dengan model bisnis ini. Iklan-iklan personal yang ditayangkan aplikasi-aplikasi di Android gratisan itu, menurut perkiraan, menghasilkan pendapatan hingga $117 miliar di tahun 2020 ini. Dengan jumlah yang sangat menggiurkan ini, perusahaan digital tak untuk menjual data penggunanya.

Sebanyak 1,8 miliar penduduk bumi adalah muslim. Tak heran, Islam menjadi tema yang sangat menggiurkan bagi para pencipta aplikasi. Anum Hameed, dalam studinya berjudul "Survey, Analysis and Issues of Islamic Android Apps" (2019) menyebut terdapat ribuan aplikasi bertema Islam di toko-toko aplikasi ponsel. Benar, ada aplikasi bertema Islam yang baik dan layak digunakan untuk memudahkan hidup kaum muslim. Masalahnya, tidak sedikit yang pencipta aplikasi asal-asalan. Hameed tidak merinci berapa banyak aplikasi bertema Islam yang asal-asalan. Namun, dalam survei pada 40 individu yang dinilai sangat saleh, 10 persennya tahu ada aplikasi bertema Islam yang mengandung layanan/konten sembrono--yang kemungkinan hanya mengincar data penggunanya.

Ini berita buruk. Sembilan puluh persen individu itu benar-benar tidak dapat mengetahui apakah konten-konten dalam aplikasi bertema Islam yang mereka gunakan mengandung kebenaran atau tidak.

Lagi-lagi, siapa peduli?

Baca juga artikel terkait PERLINDUNGAN DATA PRIBADI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf