Menuju konten utama

Mewaspadai Oligopoli dari Gurita Bisnis Digital Global

Aksi korporasi bisnis makin lintas-batas negara terutama di korporasi bisnis digital. Siapkah aturan mainnya?

Mewaspadai Oligopoli dari Gurita Bisnis Digital Global
Ilustrasi bisnis digital. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Saat pertama kali muncul, Tiket.com sama sekali belum punya pesaing di sektor lokal Indonesia. Setidaknya sejak 2011, ia adalah satu-satunya agen perjalanan yang menjajal bisnis jual-beli tiket jalan-jalan lewat medium online. Namanya makin dikenal, ketika 2013 jadi partner PT Kereta Api Indonesia untuk memesan tiket online.

Namun, di tahun yang sama, Traveloka, sebuah situs yang awalnya hadir sebagai pembanding harga tiket penerbangan saja, mulai mengembangkan bisnis mereka menjadi situs reservasi tiket pesawat. Setidaknya, di sektor penerbangan, Traveloka resmi jadi saingan Tiket.com. Pada Juli 2014, Traveloka mulai masuk ke bisnis reservasi hotel. Ia bahkan kini juga menyediakan tiket kereta api, pulsa, dan paket data internet.

Sementara itu, Tiket.com memperluas cakupan bisnisnya sampai ke harga hotel, sewa mobil, hingga tiket berbagai acara, wisata, dan festival. Keduanya jadi pemain utama yang bersaing dalam bisnis online travel agen (OTA). Namun, Traveloka lebih unggul dalam menarik perhatian konsumen. Pengguna aplikasinya jauh lebih banyak daripada aplikasi Tiket.com.

Pendiri dan pemegang saham lantas tak tinggal diam. Demi pengembangan bisnis, mereka menjual Tiket.com pada salah satu e-commerce terbesar di Indonesia, Blibli.com. Akuisisi 100 persen itu berjalan lima bulan, dan baru diumumkan Juni lalu.

Dari perspektif Tiket.com sebagai perusahaan yang diakuisisi, suntikan modal hasil akuisisi akan jadi tenaga baru untuk mengembangkan bisnis. Sementara dari perspektif Blibli.com, akuisisi jadi salah satu upaya paling singkat sekaligus mudah untuk menambah jalur usaha baru. Di saat bersamaan, Blibli.com yang memiliki OTA baru bernama Blibli Travel, langsung menghilangkan satu pesaingnya karena sudah resmi jadi salah satu anak perusahaan.

Kusumo Martanto, CEO Blibli, melihat masa depan cerah dalam bisnis OTA. Ia ingin Blibli.com jadi e-commerce one stop shop yang menyediakan berbagai hal, salah satunya penjualan tiket.

“Kami melihat visi misi dan nilai perusahaan Tiket.com memiliki banyak kesamaan dengan Blibli.com. Berdasarkan pertimbangan ini, kami mantap untuk melakukan akuisisi,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 15 Juni lalu. Sayangnya, kedua pihak enggan menyebutkan nilai akuisisi itu.

Baca juga: Tiket.com Diakuisisi Blibli, Bersiap Menyalip Traveloka

Akuisisi itu akhirnya merombak posisi CEO Tiket.com yang sebelumnya dipegang sang pendiri Wenas Agusetiawan menjadi diberikan kepada George Hendrata dari bisnis Djarum.

Apa yang terjadi pada Tiket.com dan Blibli.com dalam aksi akuisisi telah jadi tren di bisnis digital Indonesia. Selain cerita dari Tiket.com dan Blibli.com, Djarum mengakuisisi Kaskus lewat perusahaan GDP Venture yang berada di bawah naungannya. Sejak 2013, perusahaan itu jadi pemegang saham mayoritas di Kaskus.

Menariknya, pola-pola akuisisi tersebut ataupun penyuntikkan modal yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini saling berkelindan. Alur suntikan dana itu menunjukkan beberapa perusahaan besar akhirnya berada di puncak rantai sebagai penyokong utama. Untuk mayoritas bisnis-bisnis digital besar di Indonesia, nama Tencent Holdings Ltd dan Alibaba Group dari Cina tercatat berada di posisi tersebut.

Dalam perspektif ketentuan soal persaingan usaha, hal ini berisiko terhadap penyimpangan. Di Indonesia memiliki UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU sendiri sudah punya peraturan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan untuk mencegah adanya posisi dominan, monopoli, atau oligopoli saat beberapa grup menguasai pasar menciptakan persaingan bisnis tak sehat sehingga merugikan konsumen.

Ketentuan ini juga diatur oleh PP Nomor 57 Tahun 2010, tentang merger atau akuisisi yang membuat monopoli atau persaingan tak sehat. KPPU mengatur soal kewajiban bagi pelaku usaha untuk notifikasi apabila merger dan akuisisi efektif secara yuridis. Sebaliknya notifikasi hanya sukarela bila belum efektif terjadi.

“Yang paling krusial sekarang itu merger dan akuisisi,” kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf.

“Penggabungan atau pengambilalihan perusahaan yang menciptakan integrasi vertikal, dari hulu ke hilir—baik backward maupun forward—ini bisa menciptakan struktur pasar oligopoli bahkan duopoli,” katanya.

Menurut Syarkawi, persaingan bisnis yang demikian perlu dipantau, sehingga tidak menciptakan monopoli usaha. Ihwal yang perlu dihindari seperti penentuan harga oleh pelaku usaha yang dominan. KPPU memang punya tantangan di tengah aksi korporasi di era digital dan tumbuhnya bisnis digital di Indonesia.

Apalagi celah-celah akuisisi ataupun pembelian aset juga tak lagi sama. Kini muncul perusahaan modal ventura yang kegiatannya hanya membeli aset pada perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang tengah naik daun. Sehingga di saat bersamaan, mereka punya posisi kuat untuk ikut mengatur kebijakan perusahaan.

Baca juga: Ramai-ramai Tak Bisa Mengelak dari Disrupsi Bisnis

Dalam catatan KPPU, kasus merger dan akuisisi ini banyak terjadi di Indonesia. Terutama dilakukan oleh perusahaan asing yang mengakuisisi perusahaan domestik atau akuisisi antar-perusahaan asing yang punya bisnis di Indonesia.

“Ini yang bahaya buat pelaku usaha lokal,” kata Syarkawi.

“Bayangkan nanti ke depan, ada perusahaan asing yang mau masuk ke Indonesia, atau mau mematikan bisnis di Indonesia, ya sudah dia akuisisi perusahaan itu. Baru dia matikan bisnisnya. Tinggal dia jadi perusahaan dominan di kita. Nah, ini kan dampak merger dan akuisisi yang negatif bagi ekonomi kita.”

Di Indonesia, tren akuisisi itu sedang terjadi. GDP Venture pimpinan Martin Hartono misalnya. Generasi ketiga keluarga Hartono pemilik Djarum ini, bersama JG Summit Holdings asal Filipina dan Tencent Holdings Ltd, menyuntikkan dana sebesar 550 juta dolar AS pada Garena yang berganti nama jadi Sea Ltd, Mei lalu.

Sea Ltd sendiri adalah perusahaan asal Singapura yang hadir sejak 2009 lalu. Ia menaungi perusahaan online games Garena, perusahaan e-commerce Shopee, dan perusahaan teknologi finansial AirPay. Valuasi perusahaan ini sampai angka 3,75 miliar dolar AS pada tahun lalu.

Infografik Tren Akuisisi Bisnis Digital

Kucuran dana itu bisa menarik garis lurus keterikatan Kaskus, Djarum, dan Shopee yang bermain di pasar Indonesia dengan Garena, Sea Ltd, JG Summit Holdings, hingga Tencent Holdings. Namun, nyatanya Tencent Holdings tak cuma punya keterkaitan dengan sejumlah perusahaan itu saja.

Dikutip dari Nikkei Asian Review, Tencent Holdings adalah pemegang saham teratas JD.Com, peritel terbesar kedua di Cina, dengan saham 21,25 persen. JD.Com sendiri punya nama JD.ID di pasar Indonesia dan ikut bersaing jadi salah satu e-commerce terbesar di sini.

Dilansir Reuters, Tencent Holdings juga menyuntikan dana pada satu-satunya Unicorn asal Indonesia, Go-Jek. Menurut sumber mereka, angka itu berkisar 100 sampai 150 juta dolar AS. Go-Jek juga mendapat suntikan dana sebesar 200 juta dolar AS dari NSI Ventures yang merupakan bagian dari Northstar Group. Kabarnya, suntikan dana itu dilakukan secara bertahap dan beberapa tahun belakangan.

Baca juga: Bagaimana Data Pengguna Memberi Untung Pada Go-Jek

Northstar juga menyuntikkan dana pada saingan Go-Jek, Grab Taxi Holdings terbesar 350 juta dolar AS. Perusahaan ini di Indonesia sendiri getol membeli saham pada sejumlah perusahaan, misalnya BTPN atau PT Prima Garda Andalan pemilik outlet roti Breadlife.

Sementara Grab juga berkelindan dengan Didi Chuxing, perusahaan transportasi online serupa Gojek dan Grab asal Cina. Di situsnya, Grab mengumumkan kalau perusahaan tersebut jadi salah satu investor unggulan.

Didi punya keterlibatan dengan Alibaba Group dan Tencent Holdings sebagai investornya. Sementara Alibaba punya investasi 1 juta dolar AS pada Lazada, yang juga dapat investasi dari Salim Group lewat Rocket Net.

Garis-garis itu bisa makin luas, jika ditarik menuju sektor lain di luar bisnis digital, misalnya perbankan, kuliner, infrastruktur, dan lainnya. KPPU sebagai wasit persaingan usaha, persoalan persaingan usaha yang makin lintas-batas, terutama batas geografis, jadi sorotan utama. Upaya revisi UU No 5 tahun 1999 yang sedang berlangsung di DPR menjadi momentum penting.

“Sekarang kita mengajukan ke DPR dan pemerintah untuk revisi UU Persaingan Usaha, supaya KPPU punya wewenang mengurusi hal itu,” kata Syarkawi.

“Kita usulkan agar KPPU, misalnya, bisa memanggil perusahaan Singapura yang punya bisnis di Indonesia, yang punya kartel dan menentukan harga produk mereka secara monopoli. Hal itu kan enggak baik untuk usaha di Indonesia,” katanya.

Syarkawi mencontohkan Cina, sebagai negara yang sudah tanggap dalam antisipasi masalah ini. “Di Cina, notifikasi merger diwajibkan bagi perusahaan-perusahaan yang mau masuk ke sana. Untuk apa? Hal ini sebagai antisipasi dampak buruk merger dan akuisisi itu,” katanya.

Model dan aksi korporasi bisnis di era digital makin berkembang dan beragam dan semakin luas, maka aturan yang mengaturnya pun harus bisa mengimbangi dinamika bisnis yang bergerak cepat.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam & Suhendra
Penulis: Aulia Adam