Menuju konten utama

Mewaspadai Ide Amandemen UUD yang Katanya Cuma Mau Hidupkan GBHN

Tidak ada urgensi GBHN dihidupkan kembali, walhasil ide amandemen UUD 1945 dicurigai sebagai modus mengerdilkan demokrasi dan siasat kendalikan kepala negara.

Mewaspadai Ide Amandemen UUD yang Katanya Cuma Mau Hidupkan GBHN
Partai Golkar dan PDI Perjuangan sepakat akan melakukan evaluasi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen keempat. Penilaian pelaksanaan UUD 1945 pasca amandemen akan dilakukan setelah pemilu 2019. Rencana evaluasi itu diungkap Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto usai menerima kedatangan pengurus DPP PDIP di kantornya, Selasa (20/3/2018). tirto.id/Lalu Rahadian

tirto.id -

Kritik terhadap ide PDI Perjuangan dan sejumlah partai yang ingin mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen UUD 1945 belum surut. Selain tidak memiliki urgensi, ide mengembalikan GBHN dianggap berpotensi jadi modus mengerdilkan demokrasi dan menekan presiden.

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Paryitno mengingatkan meski dalam berbagai kesempatan para politikus kerap menegaskan amandemen UUD 1945 sebatas untuk mengembalikan GBHN tetapi tidak yang menjadi dinamika politik akan bertindak lebih jauh dari itu.

"Misalnya mengembalikan pemilihan presiden ke MPR, lalu Bupati gubernur atau kepala daerah dipilih oleh dewan, ini kan kacau," kada Adi saat dihubungi Tirto, Ahad (18/8/2019).

Adi mengatakan tidak ada urgensi yang mengharuskan GBHN dikembalikan. Sebab saat ini presiden tak lagi bekerja sebagai mandataris MPR. Presiden, kini menjalankan visi-misi yang disampaikan sejak berkampanye kepada rakyat. Dan rancangan pemerintah jangka menengah yang disusun oleh eksekutif tak pernah melenceng dari UU Dasar RI.

"Presiden sekarang ini dipilih langsung oleh rakyat dan bisa membangun visi misi dan program kerjanya, bukan menjalankan mandat MPR. Selama ini enggak ada presiden yang programnya melenceng dari UU dan posisi presiden dan MPR equals, itu amanat reformasi kita," ucap Adi.

Dari sudut pandang politik, amandemen itu juga bisa jadi pisau bermata dua. Di satu sisi dapat membuat jabatan presiden menjadi lebih dari dua periode, tapi di saat bersamaan juga membuat posisinya rentan dimakzulkan. Apalagi, Jokowi hanya seorang petugas partai dan tak memiliki posisi tawar yang cukup kuat seperti Soeharto di era Orde Baru--ketika MPR jadi lembaga tertinggi negara dan presiden hanya menjadi mandataris.

Siasat Parpol Kendalikan Kepala Negara

Setali tiga uang, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai bahwa rencana untuk mengamandemen konstitusi sebagai siasat mengendalikan kepala negara oleh partai penguasa.

Apalagi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang kini jadi pemilik suara terbanyak di parlemen, terkesan ngotot dengan wacana tersebut. Jika amandemen itu menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi, presiden harus bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dikehendaki MPR melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Jadi bukan tidak mungkin PDIP mengendalikan Presiden Jokowi, karena ketum partai [Megawati] punya pandangan-pandangan tersendiri [berbeda dengan Jokowi], jadi digunakanlah MPR sebagai alat mengendalikan Presiden ," kata dia kepada Tirto, Senin pekan lalu (12/8/2019).

Ketua MPR, Zulkifli Hasan sebelumnya menerangkan bahwa perencanaan pembangunan nasional dalam GBHN diperlukan mengingat karena kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan besar. Haluan itu, kata ketua umum PAN tersebut, akan menjadi pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan.

"Haluan yang dimaksud disusun secara demokratis berbasis kedaulatan rakyat, disertai landasan hukum yang kuat," ucapnya dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2019, 16 Agustus lalu.

Sementara Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah menampik rencana mengembalikan GBHN lewat amandemen sebagai upaya mengembalikan wewenang MPR memilih presiden dan wakil presiden. "Saya kira semua partai sepakat bahwa amandemen dilakukan untuk membentuk haluan negara dan bukan mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR," ucapnya.

Ketua MPR Zulkifli Hasan mengklaim sebagian besar anggota DPD sudah sepakat mengembalikan GBHN. Menurut dia, hal itu merupakan kesepakatan bersama. "Itu hasil seluruh fraksi DPD yang ada di MPR. Kita sepakat perlu, amandemen terbatas untuk model GBHN. Itu sudah jadi dan selesai kita nanti akan rapat akhir masa sidang, dan akan diserahkan kepada MPR yang akan datang," kata pria kerap disapa Zulhas kepada di Komplek Parlemen, Jumat (16/8/2019).

Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini tidak mempertimbangkan lagi keputusan tersebut. Menurut dia, MPR sekarang sudah bulat dan tidak akan goyah. Keputusan berikutnya akan diserahkan sepenuhnya pada MPR mendatang. "Ya terserah MPR nanti," tegasnya.

Presiden Jokowi sempat menyatakan penolakan terhadap usul mengembalikan GBHN seperti yang disuarakan PDI Perjuangan dan disetujui PAN. Ia beralasan, GBHN sudah tidak diperlukan karena Indonesia sudah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai pengganti GBHN. SPPN juga mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode setiap lima tahun.

Baca juga artikel terkait AMANDEMEN UUD 1945 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar