Menuju konten utama

Met Gala 2018: Acara Selebritas yang Tetap Mewah dan Eksklusif

Di bawah kepemimpinan Anna Wintour, Met Gala mendapat keuntungan belasan juta dolar selama beberapa tahun terakhir.

Met Gala 2018: Acara Selebritas yang Tetap Mewah dan Eksklusif
Anna Wintour (kiri) dan anak perempuannya Bee Shaffer di karpet merah Met Gala, New York (2/5/16). REUTERS/Eduardo Munoz

tirto.id - Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di Met Gala, acara penggalangan dana untuk The Costume Institute, bagian dari Metropolitan Museum of Art (Met) New York. Acara yang juga merupakan pembuka bagi pameran kostum ini sudah diselenggarakan setiap tahun selama 70 tahun terakhir. Tamunya ialah ratusan selebritas ternama. Ketidaktahuan publik soal detail acara, salah satunya, disebabkan karena para selebritas dilarang mengunggah foto-foto acara di media sosial.

Berbeda dengan Oscar, Grammy, atau momen penghargaan lain yang disiarkan langsung di televisi atau internet, Met Gala terkesan tertutup dan menjaga citra eksklusif. Setiap orang yang datang ke pesta harus membayar 30.000 dolar . Bila hendak memesan satu meja, maka orang tersebut harus membayar 275.000 dolar. Semua tamu yang diundang harus lewat persetujuan Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah Vogue dan ketua acara Met Gala sejak tahun 1995. Anna hanya rela acaranya didatangi aktris atau model terkenal, desainer busana tersohor, pendonor acara, perwakilan label busana atau aksesori mewah yang bersedia menyumbang dana.

Mereka yang hadir pun tidak memberi kesaksian tentang detail acara. Fotografer Stephen Lovekin, misalnya. Ia sempat bertugas mendokumentasikan acara. Pada The Independent, ia sebatas memberi kesan terhadap Met Gala “Di mana lagi Anda bisa melihat desainer busana bercanda dengan aktris Hollywood sementara seorang filantropis berdiri di dekat mereka? Kami terdorong untuk melihat bagaimana perilaku selebritas ketika disandingkan dengan orang-orang dari industri lain," ujar Lovekin.

Situs The Cut cenderung memberitakan drama yang pernah terjadi di Met Gala, yakni saat penyumbang dana Met Gala marah ketika tahu Bella Hadid, Ruby Rose, dan Dakota Johnson merokok di kamar mandi.

Bila kejadian selebritas merokok itu berlangsung pada tahun 2013, pendonor tidak punya hak untuk marah-marah. Saat itu Met Gala mengangkat tema PUNK : Chaos to Couture . Saat itu ialah momen pertama para tamu diperbolehkan merokok di area acara.

Met Gala jadi pembukaan pameran yang menampilkan 100 busana dengan gaya punk. Selain memajang baju karya desainer kelas atas seperti Vivienne Westwood, Alexander McQueen, Dolce& Gabbana; pameran ini juga memajang kaus bolong-bolong milik pemain bass Sex Pistols, Sid Vicious.

“Punk menyiratkan kekacauan, anarki, dan perlawanan. Estetika tersebut nampak pada busana yang diwakili lewat sobekan, manik-manik besi, resleting, dan bros. Dalam high fashion, punk adalah antitesis couture,” demikian yang tertulis dalam pengantar pameran.

Andrew Bolton kurator The Costume Institute beranggapan punk adalah pengaruh terbesar dalam fesyen. Budaya tersebut telah memberi warisan terbesar yaitu gaya dekonstruksi dan DIY (do it yourself).

Bolton ialah sosok di balik tema-tema yang muncul di Met Gala beberapa tahun belakangan. Sebelum diangkat menjadi kurator The Costume Institute pada tahun 2015, ia ialah rekan kerja Harold Koda, mantan kurator The Costume Institute. Sejak Anna Wintour memegang jabatan di Met Gala, sebagian besar tema pameran menonjolkan penghormatan pada para desainer legendaris misalnya Alexander McQueen, Rei Kawakubo, Elsa Schiaparelli & Miuccia Prada, Christian Dior, dan Gianni Versace. Tema-tema yang membahas ragam wacana tentang fesyen, bagai selingan di antara nama-nama desainer itu.

Infografik Met Gala

Pada tahun 2004 Met Gala memilih tema Dangerous Liasions: Fashion and Furniture in the 18th Century. New York Times menyebut pameran yang menampilkan 33 busana zaman revolusi Prancis itu serupa pameran di museum seks atau sebuah reality show neo klasik lantaran tata letak ruang pamer. Pameran tersebut menunjukkan kemiripan motif pada busana dan perlengkapan dekorasi ruang seperti sarung sofa, dinding, permukaan meja, dan hiasan patung. Hal tersebut membuat New York Times mendapat kesan bahwa orang bergantung dengan furnitur.

Tiga tahun lalu, Bolton mengangkat tema China: Through The Looking Glass. Ekshibisi tersebut menampilkan 140 karya yang menyiratkan pengaruh Tiongkok terhadap mode di negara barat. Dalam pameran itu karya desainer Eropa Christian Dior yang terinspirasi dari kaligrafi Tiongkok tampil bersamaan dengan perhiasan kerajaan Tiongkok dan masyarakat Shanghai pada tahun 1920-1940an.

The Guardian melaporkan ekshibisi tersebut paling banyak didatangi pengunjung. Pihak panitia memperpanjang durasi pameran selama tiga minggu mulai dari tanggal selesai pameran yang sebelumnya sudah ditetapkan. Media tersebut menyebut banyaknya pengunjung disebabkan karena masyarakat Amerika Serikat telah menganggap Tiongkok sebagai salah satu negara penting.

Tahun ini tema yang dipilih ialah Heavenly Bodies : Fashion and The Catholic Imagination. Pesta yang digelar Senin (7/5) malam nanti akan jadi pembuka pameran terbesar yang pernah dibuat The Costume Institute. Pameran bekerjasama dengan keuskupan Vatikan. Ekshibisi akan menampilkan busana rancangan desainer seperti Cristóbal Balenciaga, Jeanne Lanvin, Karl Lagerfeld, John Galliano, Jean Paul Gaultier, dan Pierpaolo Piccioli; yang terinspirasi dari simbol-simbol dalam Katolik.

Kali ini Wintour memaksa Bolton untuk bekerja ekstra agar bisa menampilkan koleksi busana dan aksesori milik gereja di Vatikan. Bolton mondar mandir New York – Vatikan sebanyak 10 kali dalam satu tahun terakhir. Ia menjalin relasi dengan lima orang pastur pejabat gereja dan menteri kebudayaan Vatikan supaya bisa meminjam busana pastur, mahkota yang dikenakan Paus, dan benda-benda gereja lainnya. Bolton meminjam lebih dari 40 benda yang biasa tersimpan dalam sakristi (tempat penyimpanan perlengkapan ekaristi) di sebuah gereja di Vatikan.

Ketika izin didapat, Wintour bersama Donatella Versace berkunjung ke Roma menemui Kardinal Gianfranco Ravasi, Presiden Kebudayaan Vatikan untuk membicarakan pameran. Ravasi bersyukur atas gagasan pameran. Buat dia, setidaknya simbol Katolik masih bisa menyentuh orang lain.

Baca juga artikel terkait MET GALA 2018 atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono