Menuju konten utama

Meski Peluangnya Kecil, Pemindahan Ibu Kota Bisa Saja Batal

Pembentukan ibu kota baru harus dilandasi UU yang dibuat DPR. Kalau DPR tak setuju, maka rencana ini batal.

Meski Peluangnya Kecil, Pemindahan Ibu Kota Bisa Saja Batal
Pemandangan Monumen Nasional (Monas) yang berada di jantung kota Jakarta, Senin (26/8/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama.

tirto.id - Memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur tidak hanya memerlukan uang. Harus pula dilandasi dasar hukum berupa Undang-Undang.

Saat ini, landasan hukum ibu kota Indonesia adalah UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya landasan hukum ibu kota adalah UU 34/1999.

Aturan lama ini diganti karena "sudah tidak sesuai dengan karakteristik permasalahan Provinsi DKI Jakarta, perkembangan keadaan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan."

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan Presiden Joko Widodo sudah meminta DPR membuat UU ibu kota baru. DPR-lah lembaga yang berwenang membuat UU. Surat kajian teknisnya sudah dikirimkan Istana, Senin (26/8/2019).

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan surat tersebut akan dibacakan dalam rapat paripurna DPR, Rabu (28/8/2019). "Lalu dibawa ke rapat pimpinan untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan mekanisme pembentukan UU."

Lalu, bagaimana jika seandainya mayoritas anggota DPR tidak setuju?

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra, jika mayoritas (50 persen plus satu) anggota DPR ternyata menolak pembentukan UU baru, maka pemindahan ibu kota mau tidak mau batal.

"Mayoritas yang menang," katanya kepada reporter Tirto, Selasa (27/8/2019).

Pernyataan Dedi sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. RUU yang sudah dibahas di sidang paripurna akan disahkan jadi UU jika anggota dewan mencapai kesepakatan lewat musyawarah mufakat. Dan jika tidak, "keputusan diambil dengan suara terbanyak."

Peluang Tipis

Dengan demikian, secara teori, pemindahan ibu kota masih mungkin batal. Tapi jika melihat komposisi legislatif, hal tersebut sulit terjadi.

Faktanya Jokowi, baik periode sekarang atau periode kedua, didukung oleh sebagian besar partai di parlemen.

Hasil rekapitulasi yang diumumkan KPU menyatakan total suara partai pengusung Jokowi-Ma'ruf di Pileg 2019 yang memenuhi parliamentary threshold (PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP) mencapai 54,9 persen. Sementara pengusung Prabowo-Sandiaga (Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS) 35,39 persen.

Persentase ini belum memperhitungkan kemungkinan bergabungnya partai pendukung Prabowo ke kubu Jokowi. Rencana pemindahan ibu kota semakin mulus jika partai oposisi pindah haluan.

Pernyataan para politikus selaras dengan hasil pileg ini. Politikus dari partai pengusung Jokowi mengaku setuju dan siap membentuk UU ibu kota baru; sebaliknya, politikus oposisi tidak setuju karena satu dan lain alasan.

Eva Kusuma Sundari, politikus dari PDIP, misalnya, mengatakan kepada reporter Tirto, Selasa (27/8/2019), keputusan memindahkan ibu kota sudah dilakukan dengan "studi mendalam, persiapan hati-hati, dan reasonable."

Sementara Ida Fauziyah, Wakil Ketua Umum PKB, menegaskan karena "sejak awal PKB mendukung Jokowi" maka anggota DPR dari PKB mesti menyukseskan itu dengan menggolkan UU-nya.

Lalu Ketua Komisi II dari Fraksi Golkar Zainudin Amali mengatakan surat kajian teknis yang sudah dikirim ke DPR "menunjukkan pemerintah serius benar-benar mau melaksanakan ini [pemindahan ibu kota]". Sedangkan Arsul Sani dari PPP mengatakan yang diumumkan Jokowi "positif."

Sekjen Nasdem Johnny G Plate bahkan mengatakan Jokowi tengah "membuat sejarah baru."

Berkebalikan dengan itu, politikus oposisi di DPR tidak setuju proposal pemindahan ibu kota.

Anggota DPR Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera, misalnya, mengaku "tidak dilibatkan" dalam rencana ini. "Mestinya pemindahan dibahas bersama DPR. Pindah ibu kota domain bersama eksekutif dan legislatif," katanya.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo memberi syarat, jika memang ibu kota tetap dipindah, maka itu harus "100 persen pakai uang negara." Jika tidak begitu sebaiknya rencana pindah ibu kota dibuang jauh-jauh.

Joko Widodo menegaskan uang negara yang dipakai hanya 19 persen dari total anggaran sebesar Rp466 triliun. Sisanya, kata Jokowi 26 Agustus kemarin, "KPBU atau kerja sama pemerintah dengan badan usaha, dan investasi langsung swasta dan BUMN."

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBUKOTA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Hukum
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino