Menuju konten utama

Meski Berisiko, Sexting Juga Bisa Berefek Positif

Rizieq Shihab diduga terjerat perkara pornografi dalam bentuk percakapan sexting. Sexting sendiri dalam perspektif psikologi bukanlah perilaku yang otomatis negatif.

Meski Berisiko, Sexting Juga Bisa Berefek Positif
Ilustrasi sexting. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Selasa (16/5/2017) Polda Metro Jaya akhirnya menetapkan Ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein sebagai tersangka kasus konten pornografi. Ia disebut sengaja membuat suatu konten pornografi berbentuk ketelanjangan dalam komunikasi dua arah antara Firza Husein dengan Rizieq Shihab melalui dua telepon genggam.

Rizieq bukan orang pertama yang jatuh kredibilitasnya akibat terjerat kasus sexting. Di Amerika Serikat, misalnya, seorang politikus bernama Anthony Weiner bahkan pernah terlibat tiga kasus skandal seks terkait mengirim materi bermuatan seksual lewat ponsel.

Pada kasus pertama, yang dinamai sebagai skandal Weinergate, Weiner dipecat dari anggota kongres AS pada 2011. Kasus kedua, yang melibatkan tiga perempuan, menjeratnya saat sedang mencoba kembali ke jalur pencalonan kandidat mayor Kota New York pada Juli 2013. Kasus ketiga terjadi pada 2015 lalu, tapi dipublikasikan pada 2016, yang mengakibatkan perceraiannya dengan sang istri, Huma Abedin.

Media AS dan internasional sejak saat itu tak pernah positif dalam pembahasan sexting. Namun, para psikolog punya pendapat berbeda. Karena dilakukan oleh banyak orang, sejumlah psikolog kemudian meneliti gaya hidup ini untuk mengungkap sisi lain sexting. Dalam penelusuran Tirto ke sejumlah publikasi ilmiah, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku yang dinilai imoral oleh banyak orang itu ternyata punya sisi positif juga.

Salah satu penelitian yang bisa dirujuk adalah yang telah dilaksanakan dua akademisi Drexel University Emily Statsko dan Pamela Geller yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan ke-123 American Psychological Association (APA) (8/8/2015). Keduanya menyurvei 870 partisipan berusia antara 18 hingga 82 tahun (porsi laki-laki dan perempuan seimbang) dalam riset tentang perilaku dan motif melaksanakan sexting, status hubungan, dan kepuasan dalam hubungan seksual mereka.

Hasilnya menunjukkan sembilan dari sepuluh partisipan (88 persen) pernah setidaknya sekali melaksanakan sexting. Lebih lanjut lagi, 82 persen partisipan melakukannya selama tahun 2014 silam. Tak hanya dilakukan oleh seorang lajang untuk mencari teman kencan, sebagaimana stereotip yang beredar selama ini, hasil riset menunjukkan bahwa perilaku sexting rupanya lebih populer dilakukan oleh para pasangan (suami-istri).

Bagian riset yang paling menarik adalah korelasi antara sexting dengan kepuasan seksual responden dan pasangannya. Semakin sering sexting, ternyata semakin tinggi pula tingkat kepuasan seksual partisipan dengan teman sexting-nya, terutama bagi mereka yang sudah berkomitmen resmi. Bagi mereka yang merasa demikian, sexting adalah kegiatan yang menyenangkan dan relatif mudah dilakukan.

Bagi Statsko, stereotip yang berkembang bahwa sexting itu negatif sampai bisa menghancurkan karier itu pandangan media yang hanya memfokuskan pada risiko, tapi menutup mata bahwa ada potensi positif di dalamnya, khususnya perkara keterbukaan komunikasi bersama pasangan.

“Mempertimbangkan implikasi yang bisa muncul, baik positif maupun negatif, dalam ranah kesehatan seksual penting bagi para akademisi dan peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut soal sexting dan kaitannya dengan hubungan asmara dan hubungan seksual kekinian. Riset ini mengindikasikan bahwa perilaku sexting yang dilakukan orang dewasa memiliki beragam motif, dan apa pengaruh kuat dengan kepuasan hubungan seksual” kata Statsko dalam rilisan pers yang diunggah APA.

Statsto mengatakan kepada NPR bahwa tak semua sexting itu setara. Sexting serupa dengan hubungan seksual dan goda-menggoda antara dua individu, hanya saja kegiatan ini memakai medium telepon genggam. Maka, konteks sangat penting untuk memastikan bahwa kedua pihak benar-benar dalam kondisi sadar saat melakukannya. Jika dilakukan dengan terpaksa, menurut Statsko, sexting bisa berujung pada rusaknya hubungan.

“Tapi saat keduanya sama-sama menginginkan [sexting], hasilnya akan menggembirakan,” imbuhnya.

Selama ini juga ada stereotip bahwa laki-lakilah yang gandrung mengajak sexting atau menjadi pelaku paling aktif, tapi penelitian ini lagi-lagi membantahnya. Dalam hal frekuensi pelaksanaan sexting dan laporan tingkat kepuasan seksual, porsi antara laki-laki dan perempuan sama saja.

“Orientasi laki-laki lebih visual jadi mereka lebih tertarik melihat foto dengan konten vulgar. Perempuan juga merespons, tapi perempuan tak melihat bagian privat [kelamin] serupa dengan bagaimana laki-laki memandangnya. Perempuan ingin membaca kata-kata yang secara positif menuntun hasratnya, pun hasrat si laki-laki. Kata-kata lebih bisa membuat perempuan spesial dan terangsang secara seksual,” jelas psikolog Susan Lipkins kepada NPR.

Infografik Sexting Dalam Angka

Apa yang membuat sexting kerap berakhir buruk adalah sebab perilaku tersebut mirip dengan pisau dapur. Di tangan yang tepat, seseorang bisa memakainya untuk membuat hidangan yang sedap. Namun di tangan orang lain, ia bisa menjadi senjata untuk melukai. Misalnya, jika seorang dewasa sampai salah kirim foto mesumnya ke orang lain. Ini memalukan, dan sayangnya banyak yang mengalaminya.

Orang-orang dewasa juga tak semuanya melek teknologi. Banyak pelaku sexting yang tak mempertimbangkan unsur keamanan. Segala file foto atau bekas percakapan yang mengandung sexting sangat rawan disebarluaskan ke publik jika tak disimpan dengan baik atau tak segera dihapus usai dinikmati. Sexting termasuk permainan yang asyik, tapi juga memiliki resiko yang besar sebab bermain di wilayah yang sangat privat.

Dalam dunia orang dewasa dan sudah berkomitmen, sexting adalah perkara yang relatif aman. Namun tak demikian jika dilakukan oleh remaja yang dikenal sedang dalam masa labil dan masih asing dengan komitmen. Celakanya, remaja dan anak muda justru kelompok usia yang menurut riset paling banyak melakukan sexting.

Dalam data Pew Research tahun 2013, generasi muda usia 18-24 tahun adalah kelompok usia terbanyak yang pernah menerima sexting (44 persen) dan kelompok usia kedua terbanyak yang kerap mengirim sexting (15 persen). Kelompok usia ini juga menjadi yang paling sering meneruskan pesan seksual yang biasa dipakai untuk sexting (6 persen). Kelompok ini mengalahkan kelompok usia 25-34 tahun, kelompok usia 35-44 tahun, maupun kelompok 45-54 tahun.

Ada banyak cerita cyberbullying yang melibatkan sexting. Biasanya seorang remaja melakukan sexting dengan pasangannya selama berpacaran. Lalu ada suatu hal yang membuat hubungan keduanya berakhir, dan pihak yang marah akan menyebarluaskan foto telanjang atau privat mantan pacarnya ke media sosial dan menjadi konsumsi publik. Ada juga yang karena teledor mengakibatkan ponsel yang bersangkutan dibajak oleh remaja iseng lain yang mengunggah foto-foto pribadi tersebut ke publik.

BACA: Upaya Facebook Menghapus Video Seks Bermotif Balas Dendam

Kedewasaan, selain keamanan, adalah kunci dari memainkan sexting. Akan sangat aman jika sexting bukan dilakukan oleh pihak yang sedang melakukan perselingkuhan alias bukan pasangan resmi. Risikonya terlalu besar: meruntuhkan kredibilitas, menghancurkan nama pelaku atau organisasi yang dekat dengannya, kehidupan rumah tangga, ranah finansial, karier, sampai dijerat hukum anti-pornografi.

Baca juga artikel terkait SEX EDUCATION atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani