Menuju konten utama

Mesin Jokowi & Prabowo di Cianjur: NU, FPI, Hingga Simpatisan ISIS

Jokowi-Ma’ruf mengandalkan sepenuhnya NU untuk melawan kekuatan FPI, Faksi PBB, hingga simpatisan ISIS.

Mesin Jokowi & Prabowo di Cianjur: NU, FPI, Hingga Simpatisan ISIS
Ilustrasi Kampanye politik Jokowi-Ma'ruf & Prabowo-Sandiaga di Cianjur saling merebut suara muslim. tirto.id/Lugas

tirto.id - Cianjur adalah medan perang yang sengit bagi persabungan Pilpres 2019. Di daerah dengan kerawanan pemilu yang tergolong sedang itu, kelompok Islam terbelah.

Pada Pilpres 2014, Prabowo-Hatta Rajasa menang di Cianjur; selisih 200 ribu suara atau 19 persen dari Jokowi-Jusuf Kalla.

Prabowo memulai lawatan perdana ke Gedung Assakinah, Sawah Gede, sekitar 30 menit dari Istana Kepresidenan Cipanas. Saat Pilpres 2014, Jokowi kampanye di gedung itu, tapi tetap kalah 64,52 persen di kelurahan Sawah Gede. Padahal Prabowo tak sekalipun berkunjung ke Cianjur.

Selasa pekan ini, ketika menuju Gedung Assakinah, Prabowo menaiki mobil Chep Hernawan. Mobil itu berpelat nomor B264RIS. Sedangkan Chep sendiri melambaikan tangan di atas kap mobil terbuka di belakang iringan Prabowo.

Padahal bagi Chep, dukungannya terhadap Prabowo-Sandiaga hanya semacam tujuan antara. Dia menyaru sejenak untuk mewujudkan sistem di luar demokrasi diterapkan di Indonesia.

“Kami pelan-pelan ikuti dulu demokrasi [mendukung Prabowo-Sandiaga], padahal dalam hati saya, demokrasi itu batil. Harusnya sistem imamah,” kata Chep kepada reporter Tirto, Kamis pekan ini.

Chep adalah politikus anti-demokrasi dan biang pelbagai tindakan intoleransi di Indonesia. Ia adalah pendiri sekaligus ketua umum seumur hidup bagi Gerakan Reformis Islam (Garis) sebab Garis memang tak mengatur rentang waktu masa jabatan.

Bahkan Chep mengaku baru mengenal Ahmad Riza Patria, Wakil Ketum Partai Gerindra, yang juga caleg DPR RI dari Dapil Cianjur dan Bogor.

“Tadinya rencananya Pak Prabowo mau ke rumah saya, cuma mepet waktu,” ujar Chep, menambahkan mobil yang dipakai Prabowo itu disewa sehari dengan harga Rp1,5 juta.

Tahun lalu, Sandiaga sudah lebih dulu ke rumah Chep, 17 Oktober. Saat itu Sandiaga malah membuat nama ayah Chep, Ahmad Syafe'i atau Haji Dapet. Nama “Dapet” kerap menjadi nama tengah Chep.

“Dapet naon, Pak? Kayak dompet. Dompet kita sekarang tebal atau kempes?” canda Sandiaga saat itu. Sandiaga juga mendatangi temu kader PAN di Gedung Herlina Mutiara dan Pesantren Tawiriyah Cianjur.

Chep mengaku tak terlalu mengenal Prabowo dan Sandiaga. Penghubung Chep ke mereka adalah Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno. Chep mengaku sudah mengenal lama caleg DPR RI dari Dapil Cianjur dan Bogor itu. Kedekatan mereka menguat ketika anak Chep, Yoga Natanusya, menjadi caleg DPRD Kabupaten Cianjur dari PAN, partai yang didirikan Amien Rais.

Jokowi juga mendatangi Cianjur. Agak sumir apakah ia tengah kampanye atau melakukan kunjungan kerja presiden. Pada Jumat, 8 Februari 2019, Jokowi ke Pondok Pesantren Al-Ittihad, Karangtengah. Itu adalah daerah perolehan suara kemenangan Prabowo di Cianjur pada Pilpres 2014, sebesar 67,82 persen.

Setelah itu Jokowi meresmikan Alun-Alun Cianjur sekaligus membagikan SK Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial juga Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan.

Sedangkan Ma’ruf Amin melakukan lawatan ke Ponpes Al Muthma'innah dan Miftahul Huda Al-Musri. Ia juga diundang dalam Harlah NU ke-93 di Lapangan Prawitasari Joglo, Sawah Gede, dan ziarah ke makam Raden Aria Wira Tanu, pendiri Kabupaten Cianjur.

FPI, Faksi PBB, dan Simpatisan ISIS

Chep Hernawan mempunyai riwayat yang panjang soal tindakan intoleran. Pada September 2005, ia mengklaim bahwa anak buahnya menyerang empat kampung Ahmadiyah di Cianjur dan Cikeusik. Akibatnya 43 rumah, empat masjid, tiga madrasah, lima warung dan toko hancur.

“Betul, [penyerangan] itu kontrol saya. Saya memerintahkan,” klaim Chep. Ia juga kaget perusakan terjadi begitu besar.

“Ahmadiyah keluar daripada Islam,” imbuhnya. “Maka, saya anggap sesat. Kalau Syiah, saya belum mempelajari detail jadi belum mengatakan itu sesat.”

Rekam jejak Chep ditelusuri secara mendalam oleh Setara Institute, organisasi nirlaba yang memantau pelindungan hak asasi manusia, berbasis di Jakarta. Setara menerbitkan penelitiannya pada Desember 2010, judulnya: Wajah Para “Pembela” Islam; Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat.

Salah satu periset dan editornya adalah Ismail Hasani. Menurut Ismail, Chep adalah tokoh lama yang semula bergerak di Gerakan Pemuda Islam (GPI), Chep berjejaring dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Bahkan Garis diinisiasi oleh tokoh DDII, Husein Umar dan Anwar Haryono.

“Dia memberikan dukungan terbuka terhadap ISIS. Dia mewakafkan tanahnya [pada 2008] satu hektare untuk pemakaman Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron. Dia yang mencetak kader-kader sekaliber Imam Samudra,” kata Ismail kepada reporter Tirto.

Salah satu basis Garis adalah Pesantren Ashabul Yamin Cianjur, tempat belajar agama Hambali dan Gugun Rusman Gunawan. Mereka divonis terlibat kasus Bom Bali 2002 dan Hotel JW Marriott.

Chep menilai mereka bukan teroris, melainkan "mujahid." Hingga kini, Chep sinis terhadap Densus 88.

“Harus dibubarkan itu Densus 88!” tegasnya kepada reporter Tirto.

Anggota dewan syuro Garis adalah Abu Bakar Ba'asyir, yang divonis 15 tahun penjara dan belakangan diupayakan oleh politikus Yusril Ihza Mahendra untuk mendapatkan remisi.

Infografik HL Indepth Lawatan Pilpres

Infografik Lawatan Jokowi-Ma'ruf vs Prabowo-Sandiaga di Cianjur. tirto.id/Lugas

Chep Hernawan pernah terlibat dalam politik praktis dengan mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) bersama Yusril Ihza Mahendra dan MS Kaban. Chep pernah menjadi bendahara partai tersebut.

Pada 2000, ia berupaya memasukkan "Piagam Jakarta" ke dalam amandemen UUD 1945 melalui PBB. Namun, usaha itu gagal dan Chep mengundurkan diri.

“Dia [Chep] kecewa karena Yusril yang ternyata, menurut salah satu anggotanya, lebih memperkaya diri dibandingkan memperjuangkan syariat Islam,” ujar Ismail Hasani.

Garis merupakan organisasi tak resmi karena itu tak memiliki legalitas dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kemenkum HAM.

Menurut Ismail, hal itu wajar sebab Garis sepenuhnya dibiayai oleh Chep. Selain mewarisi bisnis ayahnya, daur ulang plastik kantong kresek, Chep kini mengembangkan usaha ke sektor properti dan distribusi beras.

Keluar dari PBB membuat Chep lebih rajin mengolah Garis. Di Cianjur, ia mengaku mendorong gagasan syariat Islam yang dikenal dengan "Gerbang Marhamah" pada 2001. Aturan itu menjadi senjata bagi Garis untuk melakukan tindakan intoleran hingga kekerasan.

“Saat itulah dia [Chep] mendapatkan ruang untuk melakukan aksi-aksi kekerasan. Jadi perda [Gerbang Marhamah] itu menjadi arena radikalisasi publik,” ujar Ismail.

Namun, anehnya, Chep tak pernah diadili oleh penegak hukum. Paling mentok ia pernah diperiksa Polres Cilacap karena kedapatan membawa atribut ISIS, mengaku sebagai presiden ISIS di Indonesia, dan donatur ISIS.

“Polisi kita juga, kan, memble dalam penegakan intoleransi,” keluh Ismail.

Sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kata Ismail, simpatisan ISIS mendapat ruang.

“Efek simpati terhadap gerakan ini,” lanjut Ismail. “Justru mengakselerasi tumbuhnya gerakan-gerakan baru. Dia punya pengikut.”

Menurut Ismail, hubungan Garis dan Forum Umat Islam (FUI) dan Front Pembela Islam (FPI) sangat dekat, sering bergerak bersama karena kesamaan visi dan misi. Setara Institute mengistilahkan kelompok seperti Garis dan FPI sebagai “kekuatan ketiga”, di luar kelompok reformis dan Orde Baru. Akan tetapi, kelompok "kekuatan ketiga" ini menumpangi seluruh instrumen demokrasi dengan tujuan anti-demokrasi.

“Dia menikmati kebebasan berekspresi tapi untuk mempromosikan syariat Islam, penegakan pengganti pancasila. Dia juga memproduksi perda syariat dengan menggunakan instrumen demokrasi,” terang Ismail.

Tokoh FPI, Rizieq Shihab, menjadi dewan redaksi media Suara Islam, begitu juga Chep. Edisi 242 media ini memuat wawancara khusus dengan MS Kaban, isinya dukungan terhadap Prabowo-Sandiaga.

Maka, tak heran jika di Cianjur, FPI dan Garis bersatu mendukung Prabowo-Sandiaga. Dukungan serupa datang dari Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (Gibas) hingga Ormas 234SC Regwil Cianjur.

Tak hanya itu, Prabowo-Sandiaga juga disokong Pemuda Pancasila. Ketua PAC Pemuda Pancasila Cianjur, Sahli Sahidi, adalah caleg DPRD Kabupaten Cianjur dari Partai Gerindra.

Padahal Pemuda Pancasila di tingkat pusat sudah resmi mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf. Terlebih ketua MPC PP Kabupaten Cianjur, Endi Cahyadi, adalah caleg DPRD Kabupaten Cianjur dari Partai NasDem, partai pengusung Jokowi-Ma’ruf.

Mengandalkan Kekuatan NU

Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz menegaskan bahwa penggerak untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf di Cianjur sepenuhnya dari orang-orang NU. Ia selalu mendampingi ketika Jokowi maupun Ma’ruf lawatan ke Cianjur.

“Beberapa Ormas yang lain adalah muslimat, fatayat, persatuan guru ngaji, asosiasi pesantren Cianjur, persatuan dai,” kata pengurus pusat Muslimat NU tersebut kepada reporter Tirto, Kamis pekan ini.

Wakil bendahara DPP PKB itu mengklaim, untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf di Cianjur, harus melalui persaingan sengit; harus berhadapan dengan kelompok faksi Partai Bulan Bintang, FPI, hingga Pemuda Pancasila.

“Kami pakai cara yang baik, ramah, santun. Kiai Ma’ruf mendapatkan lebih banyak simpati daripada yang sana [Prabowo-Sandiaga]. Karena yang sana dengan cara-cara yang agak kasar dan konfrontatif,” klaimnya.

Di sisi lain, Chep Hernawan menganggap PKB seperti semangka: hijau di luar tapi merah di dalam. Ia masih menganggap PKB tak mencerminkan Islam.

Meski begitu, menurut Ismail Hasani, dalam pemilu serentak 2019, tak ada ruang bagi mengalirnya gagasan.

Maka, baik kubu Prabowo-Sandi maupun Jokowi-Ma’ruf sama saja, menurut Ismail. Kedua kandidat capres dan cawapres 2019 itu tertarik pada kelompok intoleran.

“Siapa pun dipungut untuk mendulang suara,” keluh Ismail.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam