Menuju konten utama

Merepresi Atas Nama Penanganan Pandemi

Demonstrasi dulu jadi senjata kuat menekan pemerintah yang melenceng dari jalur. Tapi pandemi membuat mereka terlindungi dari kritik jalanan.

Merepresi Atas Nama Penanganan Pandemi
Ketua DPRD Provinsi Kalteng Wiyatno (kedua kanan) menemui mahasiswa yang melakukan unjuk rasa, di depan DPRD Provinsi, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (15/10/2020). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/hp.

tirto.id - Rakyat Indonesia memiliki sejarah panjang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap para elite politik lewat aksi massa atau demonstrasi. Dua presiden dari dua masa yang berbeda, Sukarno dan Soeharto, mengakui itu bahkan dengan cara yang paling pahit, turun dari tampuk kekuasaan. Tapi pandemi Covid-19 berhasil mengubah atau setidaknya membatasi itu, hal yang juga terjadi di banyak tempat di seluruh dunia.

Di tengah terbatasnya aksi-aksi lapangan, pada akhir Juni lalu Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) melancarkan protes online. Mereka menjuluki Presiden Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service”. Alasannya, pernyataan Jokowi kerap tidak selaras dengan kebijakan dan tindakan pemerintah. Satu contoh misalnya soal pernyataan “kangen didemo,” padahal begitu demonstrasi merebak banyak orang ditangkapi dan dipukuli aparat. Alasan penangkapan bisa bermacam-macam: dianggap provokator, melawan aparat, membawa senjata tajam, melewati ketentuan jam demonstrasi, dan sebagainya.

Jika dibandingkan demonstrasi di masa lalu, tindakan para pelajar sekarang sebenarnya relatif biasa-biasa saja.

Di masa Sukarno, demonstran melempari menteri dengan telur busuk karena tidak puas dengan kebijakan normalisasi kehidupan kampus (NKK) yang berupaya menjauhkan para mahasiswa dari geliat politik praktis. Kemudian di masa Soeharto ada peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Di tengah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, massa yang tidak jelas identitasnya membaur dengan mahasiswa dan melakukan pembakaran dan penjarahan, terfokus di Senen, Jakarta Pusat.

Julius Pour dalam buku Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan (1997) menulis bahwa Malari adalah peristiwa “paling menggegerkan” selama Sudomo menjabat sebagai Wakil Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sudomo adalah petinggi militer yang diperintahkan mengatasi kerusuhan tersebut. Sudomo waktu itu memutuskan menangkap mahasiswa dan oposisi yang dianggap biang kerok.

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu, ada demonstran yang membawa kerbau bertuliskan “SBY”. Yosep Rizal, si pembawa kerbau, mengatakan binatang yang diberi nama “Si Lebay” itu adalah simbolisasi pemerintahan yang “gendut dan lambat.”

SBY sendiri mengaku tidak pernah mempermasalahkan orang-orang yang menghina dirinya, meski tetap saja ada yang dibui karena dianggap bertindak atau berucap tidak patut. Diduga itu perbuatan orang-orang yang merasa bertanggung jawab menjaga martabat presiden.

Namun, SBY tetap saja bisa terusik dengan demonstrasi yang riuh. Pada 2008 lalu ia tak terima dengan demonstrasi mahasiswa di depan Istana Negara menggunakan pengeras suara karena mengganggu rapat kabinet. “Kita mulai rapat ada unjuk rasa, kita tidak bisa bekerja. Apakah loud speaker itu dibenarkan?” katanya.

Setelah ditegur SBY, Kapolri Bambang Hendarso Danuri kemudian mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 soal Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Salah satunya melarang “membuat gaduh dengan pengeras suara.” Setelah itu banyak demonstrasi dilarang menggunakan pengeras suara, bahkan jika itu dilakukan jauh dari Istana.

Aturan terkait demonstrasi memang terus dievaluasi dan direvisi, termasuk menghapus larangan penggunaan pengeras suara. Tapi tetap saja upaya menghalangi demonstrasi kerap terjadi, misalnya dengan dalih “tidak ada izin”. Padahal, beleid dalam aturan terbaru, yakni Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012, hanya mengharuskan peserta aksi memberikan surat pemberitahuan. Tidak perlu izin untuk menyampaikan pendapat.

Berlindung di Balik Covid-19

Sebuah wadah pemikir yang berpusat di Amerika Serikat Carnegie Endowment for International Peace menilai pandemi berpeluang jadi senjata pemerintah di banyak negara untuk menghalangi protes-protes yang selama ini ditujukan kepada mereka. Ada pula pola penegakan hukum yang diskriminatif. Demonstrasi dari kelompok yang menguntungkan pemerintah bisa jadi dibiarkan, sementara protes dari oposisi sebaliknya--dengan alasan mengancam keselamatan publik.

Hal ini misalnya terjadi di Aljazair dan Hong Kong. Pada April 2020, setidaknya 15 aktivis prokemerdekaan Hong Kong ditangkap polisi karena protes mereka pada 2019. Pembelaan kepada aktivis tentunya lebih sulit dilakukan melalui aksi jalanan karena kebijakan pembatasan sosial melarang masyarakat untuk berkumpul.

Di Indonesia, dalam kasus terbaru soal aksi Jokowi End Game yang minim peserta, Polri menangkapi demonstran untuk diinterogasi. Kendati hanya “meminta” agar demonstrasi tidak dilakukan, kenyataannya Polri hendak menangkap mereka yang menyebar poster ajakan turun ke jalan dengan alasan menyebar hoaks.

Anjuran tidak berkerumun dan berdemonstrasi untuk mencegah penyebaran Covid-19 juga muncul Oktober 2020. Ketika itu masyarakat menentang luas pengesahan UU Cipta Kerja omnibus law. Polri bersikeras itu tidak bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Alasannya: demi keselamatan masyarakat di tengah pandemi.

Jadi di satu sisi warga diminta tidak protes di jalanan, tapi di sisi lain pemicunya terus saja dibahas di gedung parlemen dan akhirnya disahkan.

Berdasar catatan Freedomhouse, demokrasi di Indonesia di tahun pandemi (2020) sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu masuk dalam kategori “bebas sebagian”. Total skor 61 dari maksimal 100, turun satu poin dibanding 2019. Hak politik mendapat poin 30 dari total 40, sementara kebebasan sipil hanya 31 dari total 60.

Freedomhouse mengatakan bahwa “Covid-19 telah memperburuk penurunan kebebasan global” dengan menyebutkan contoh-contoh kebijakan di banyak negara. Dalam kasus Indonesia itu adalah keterlibatan aparat penegak hukum dan militer dalam penanganan pandemi.

Presiden menetapkan Terawan sebagai Menteri Kesehatan, kemudian Luhut Binsar Panjaitan menjadi komandan untuk program Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Keduanya berasal dari militer. Untuk kebutuhan tracing atau pelacakan, pemerintah juga mengandalkan Polri-TNI selain petugas medis. Bahkan untuk pelaksanaan vaksinasi, Jokowi sekali lagi mengandalkan pasukan TNI-Polri hingga Badan Intelijen Negara (BIN).

“Dalam beberapa tahun belakangan, pengamat sudah menaruh perhatian kepada peningkatan pengaruh militer terhadap pemerintahan sipil dan keterlibatan pada penanganan kesehatan ini bisa mempercepat tren tersebut,” catat Freedomhouse.

Hal serupa dinyatakan Kurlantzick dalam makalahnya berjudul COVID-19 and Its Effect on Inequality and Democracy: A Study of Five Large Democracies (2021). “Para pemimpin dari negara besar demokrasi, seperti banyak rekan mereka di era Covid-19, telah menggunakan pandemi untuk memperluas kekuasaan eksekutif mereka,” kata Kurlantzick, merujuk pada Donald Trump (AS), Jair Bolsonaro (Brasil), Narendra Modi (India), Rodrigo Duterte (Filipina), dan Jokowi.

“Kelima orang ini berbeda dalam sifat illiberalisme mereka dan bagaimana mereka menggunakan pandemi untuk lebih memusatkan kekuasaan. Mulai dari Duterte yang mengawasi langkah-langkah darurat yang dekat dengan otoritarianisme langsung, hingga Jokowi yang paling enggan untuk mengompromikan nilai-nilai demokrasi.”

infografik demonstrasi di kala pandemi rev

infografik demonstrasi di kala pandemi rev. tirto.id/Quita

The Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) mencatat demonstrasi di berbagai belahan dunia sempat menurun pada awal masa pandemi dibanding 2019, tetapi beberapa waktu kemudian kembali terjadi. ACLED memperkirakan hal ini terjadi karena pemerintah dianggap tidak berhasil mengatasi pandemi.

Joshua juga mengatakan pemimpin negara yang ia sebut cenderung gagal mengatasi pandemi. Di negara demokrasi ini, sistem kesehatan tidak berjalan lancar dan pemimpinnya lebih percaya “pengobatan yang belum terbukti untuk Covid-19”.

Penanganan yang tak maksimal ini berdampak sangat buruk bagi warga kelas menengah ke bawah dibanding menengah ke atas. Misalnya soal deteksi virus melalui tes usap atau antigen. Masyarakat kelas menengah ke bawah harus bersusah payah untuk mencari uang sekitar Rp900 ribu untuk PCR dan Rp150 ribu untuk antigen. Mereka yang berduit atau menengah ke atas tentu akan lebih mudah membayar sejumlah itu untuk mengetahui kondisi tubuh mereka.

Bagi Bolsonaro, penanganan pandemi yang berantakan membuatnya di ujung tanduk. Dia mungkin akan sulit melanjutkan pemerintahan pada periode mendatang karena tak lagi dipercaya. Tapi Jokowi tidak. Meski kritik membanjiri media sosial, tidak ada lagi aksi jalanan besar di tengah pagebluk yang bisa mengancam pemerintahan. Jokowi juga tidak punya beban lagi mencalonkan diri untuk kali ketiga.

Berkali-kali pemerintah berbagai negara melalui aparat penegak hukum (mencoba) menghalangi demonstrasi dengan alasan keselamatan publik. Padahal solusi terbaik yang bisa mereka lakukan agar massa jalanan tidak turun sederhana saja: berhenti membuat kebijakan yang karut-marut dan membuat bingung.

Baca juga artikel terkait DEMONSTRASI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino