Menuju konten utama

Merencanakan Kegagalan: Lumbung Pangan di Lahan Gambut Kalteng

Proyek food estate yang berada di lahan gambut potensial mengalami kegagalan, kata pakar.

Merencanakan Kegagalan: Lumbung Pangan di Lahan Gambut Kalteng
Suasana kebakaran lahan gambut di Desa Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Kamis (4/6/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo memutuskan membangun lumbung pangan di Pulang Pisau Kalimantan Tengah dengan model food estate. Ia menyebut rencana ini penting agar Indonesia memiliki cadangan pangan strategis, terutama untuk menghadapi potensi krisis pangan dunia.

Pembangunannya bakal dilakukan di lahan potensial seluas 165 ribu hektare yang merupakan bekas Pengembangan Lahan Gambut (PLG) era Presiden Soeharto. Pemerintah mengklaim program ini bukan cetak sawah baru lantaran dibangun dari lahan yang dulunya pernah menjadi sawah.

Lahan ini ditargetkan bisa berproduksi mulai Oktober 2020 di musim tanam padi II.

Terancam Gagal

Peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan proyek ini bukan barang baru. Jauh sebelum proyek ini, setidaknya ada beberapa percobaan dan kesemuanya gagal. Antara lain pada 1995-1997 oleh Soeharto untuk satu juta hektare, 100 ribu hektare di wilayah Ketapang era SBY, dan 1,2 juta hektare sawah di Merauke di periode pertama Jokowi.

Program food estate kali ini menurutnya tidak berbeda jauh dengan era sebelumnya. Dwi, anggota tim analisis lingkungan pada program sejuta hektare PLG era Soeharto, menilai program ini berpotensi menambah daftar kegagalan proyek pangan karena mengabaikan kaidah ilmiah.

Salah satu syarat agar berhasil, katanya, food estate perlu memperhatikan persyaratan agroklimat atau kecocokan dengan alam sekitar. Syarat ini katanya sudah dilanggar dengan memilih lahan eks gambut yang mengandung sulfat masam dan berderajat keasaman tinggi alias kurang subur.

“Kelayakan pertama saya sebutkan pasti tidak terpenuhi. Dipaksakan ya bubar sudah,” ucap Dwi saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/7/2020).

Lalu ada syarat tentang ketersediaan infrastruktur, dan ketiga tentang teknologi budi daya. Meski syarat itu bisa diatasi, ia masih ragu lantaran proyek ini tidak layak pada syarat keempat, yaitu sosial-ekonomi.

Setahunya, pertanian di lahan eks gambut hanya bisa menghasilkan sekitar dua ton per hektare. Angka itu jauh dari standar empat hektare agar menguntungkan bagi petani yang akan mengusahakannya. Belum lagi ada potensi konflik dengan masyarakat lokal dan kepemilikan lahan.

“Empat itu harus terpenuhi. Satu saja tidak terpenuhi, hasilnya sudah pasti gagal lagi,” ucap Dwi.

Dwi pun tak heran kendati proyek food estate telah beberapa kali dijalankan, Indonesia masih tetap saja mengimpor pangan. Kenyataannya proyek-proyek tadi gagal menggenjot peningkatan produksi pangan selama 20 tahun terakhir.

Alih-alih menggelar program serupa, Dwi menyarankan pemerintah meningkatkan produksi dari lahan yang sudah ada. Caranya dengan meningkatkan kesejahteraan petani dan memastikan hasil produksi mereka menguntungkan.

“Selama ini pendekatan peningkatan produksi pemerintah salah,” kata Dwi.

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan pemerintah seharusnya memulihkan lahan gambut yang sudah rusak alih-alih membuat proyek baru di atasnya. Wahyu bilang meski proyek dibangun di eks PLG, kenyataannya pemerintah mengabaikan fakta prinsip ekosistem gambut yang bersifat satu kesatuan.

Jika satu bagian saja terganggu, maka akan menimpa gambut di sekitarnya. Dampak akan semakin signifikan usai proyek irigasi rampung.

Menurut Wahyu, jika ekosistem terganggu, maka kemampuan serapan air gambut akan menurun dan bisa menyebabkan banjir. Lalu yang terburuk memunculkan gambut kering dan mudah diikuti kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Enggak bisa dicuil parsial. Ekosistem airnya akan rusak juga,” ucap Wahyu saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/7/2020).

Tapi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tetap optimistis. Ini ia nyatakan saat mendampingi Jokowi ke calon lahan food estate, di Desa Bentuk Jaya, Dadahup, Kapuas, Kalteng. “Kami yakin membangun lumbung pangan di Kalimantan Tengah ini,” katanya, dikutip dari Antara.

Sementara Jokowi menegaskan kalau lahan yang dipakai bukan lahan gambut, melainkan “aluvial semua”, yaitu tanah dari endapan lumpur dan pasir halus yang mengalami erosi. Pernyataan ini berbeda dengan keterangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers virtual, Selasa 5 Mei lalu. Ketika itu ia bilang, “lahan gambut dari laporan yang disampaikan Menteri PUPR, yang disiapkan bisa satu pertiganya atau sekitar 200 ribu ha.”

Baca juga artikel terkait LUMBUNG PANGAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino