Menuju konten utama
Museum Sandi

Merekam Aksi Intelijen dari Masa Darurat Republik

Pantang bagi sandiman menyerah. Bunuh diri dan merusak pesan adalah langkah yang mereka lakukan saat tertangkap oleh musuh.

Merekam Aksi Intelijen dari Masa Darurat Republik
Museum Sandi di Yogyakarta. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dari rumah yang dikelilingi perbukitan Menoreh, para sandiman--pengirim sandi--Indonesia bekerja. Mereka memantau informasi dari titik-titik gerilya dan meneruskannya dalam bentuk kode rahasia kepada TB Simatupang di Banaran. Rimbunan pepohonan menyelamatkan kerja mereka dari pencarian Belanda.

Kala itu Indonesia sedang menghadapi Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta jatuh, sementara Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Para sandiman yang membawa beragam informasi rahasia negara menyelamatkan diri. Mereka melakukan long march ke Dekso Kulonprogo dan mendirikan kamar sandi darurat di rumah Marto Soetomo. Dunia mengira, Indonesia telah tiada.

Rumah itulah yang kini berada di hadapan saya, dalam bentuk replika di Museum Sandi, Yogyakarta. Di sanalah sebuah pemancar kecil didirikan. Ia berfungsi meneruskan radiogram-radiogram ke pemancar-pemancar yang lebih besar Wonosari dan di Balong, di lereng Gunung Lawu. Selanjutnya, lewat pemancar di sana, radiogram dikirim ke Sumatera, dan diteruskan ke luar negeri.

Kepala Museum Sandi, Setyo Budi Prabowo, membawa saya dalam tur singkat selama satu jam. Setelah usai mendengar cerita tentang sandiman di Bukit Menoreh, ia menunjukkan replika radio komunikasi yang digunakan oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera, pada tahun 1948, juga peta tempat pemancar ditancapkan.

Besar radio itu kira-kira seukuran dispenser dan galon airnya. Kata Setyo, radio harus dipanggul dari satu tempat ke tempat lain agar tak disergap Belanda. Buah manis perjuangan sandiman-sandiman ini tak langsung dipetik cepat. Baru di tahun 1949 Indonesia berhasil membuat sambungan radio ke luar negeri, menyiarkan bahwa pemerintahan Indonesia masih tetap berdiri.

“Kemerdekaan kita tak hanya diisi para pejuang yang mengangkat senjata. Tapi juga senyapnya sandiman yang berjuang di balik medan perang terbuka,” ujar Setyo.

Jasa-jasa sandiman itu kini terabadikan dalam sebuah museum dua lantai di daerah Yogyakarta. Museum Sandi, memamerkan dengan apik sejarah dan benda persandian di Indonesia sejak zaman perang kemerdekaan. Di Indonesia, tempat ini menjadi satu-satunya museum kriptografi.

Koleksinya terdiri dari beragam buku atau pedoman kesandian dunia, telegraf, hingga mesin sandi buatan lokal dan luar negeri sejak 1946 hingga sekitar 1950-an. Ada tiga koleksi sandi kuno dari berbagai negara yang jadi koleksi andalan. Yakni Skytale Greek dari abad 486 SM Yunani, bentuknya seperti lilitan kulit di tabung kayu. Pesan pada kulit baru bisa terbaca ketika dililit melingkar ke batang dengan ukuran pas, digunakan raja dan para jenderal untuk bertukar pesan.

Lalu sandi Caesar, alias sandi geser. Bentuknya berupa huruf acak dan huruf terang, cara membacanya menyesuaikan formula huruf acak dan huruf terang yang telah disepakati pengirim dan penerima pesan. Terakhir, sandi Cardan Grille yang muncul pada 1500. Bentuknya berupa lembaran plat kuningan dengan lubang kecil acak. Lubang plat akan menunjuk huruf-huruf tertentu dan memunculkan pesan ketika ditempel pada sebuah tulisan.

Museum yang memiliki pengunjung hingga lima ribuan orang setiap bulan ini juga punya koleksi berupa mesin sandi buatan Indonesia. Misalnya mesin sandi SR-64, SR-70B, SRE-VI, SRE-KG, SN-101, dan SN-011. Pada masanya, mesin SR-64 sempat digunakan dalam konferensi nonblok di kota Algeria, Aljazair tahun 1965.

Karena sifatnya yang rahasia, mesin-mesin sandi lazim ditempatkan pada ruangan khusus bernama Tempest Room. Ia dilengkapi teralis besi dan beton agar sulit ditembus sinyal. Untuk mendapatkannya, perlu usaha merampas mesin-mesin tersebut dari besi dan beton penghalangnya.

Mesin sandi KLB 7 milik National Security Agency (NSA), badan sandi milik Amerika, misalnya. Ia merupakan salah satu koleksi langka Museum Sandi. Perolehannya didapat dari rampasan Fretilin, faksi anti-integrasi di Timor Timur sebelum reformasi. Diduga, Fretilin mendapatkannya dari pasar gelap dunia. Sayang, pesan di dalamnya tak pernah terkuak hingga hari ini karena telanjur dihapus.

Trik-Trik Sandiman Berkeliat

Pada jejeran baju dinas, tas jinjing bergaya lawas, buku kode, dan pisau-pisau bedah kepunyaan dr. Rubiono Kertapati yang telah disekat kaca saya menghentikan langkah. Agak ganjil rasanya melihat keberadaan pisau bedah di antara koleksi kesandian lainnya. Usut punya usut, ternyata pisau bedah itu sering digunakan dr. Rubiono untuk membongkar mesin sandi.

“Ia dokter dengan beragam keahlian. Pisau itu selain membedah pasien, juga membedah rahasia musuh,” ulas Setyo.

Infografik museum sandi negara

Rubiono memegang peranan besar dalam sejarah persandian di Indonesia. Di awal kemerdekaan, Indonesia masih menggunakan sandi peninggalan masa kolonial untuk bertukar pesan. Kondisi ini mengakibatkan pesan yang harusnya bersifat rahasia jadi mudah diretas Belanda. Lewat mandat Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin pada 4 April 1946, Rubiono ditunjuk untuk memimpin Dinas Code, sebuah badan pemberitaan rahasia milik negara.

Ia kemudian menyusun sandi baru yang hanya dapat dimengerti pemerintah Indonesia. Kesemuanya dituang dalam enam buku saku yang disebut Buku Code C, masing-masing berisi 10 ribu kata sandi dalam bahasa Belanda dan Inggris. Rubiono rajin memperbaharui buku sandinya setiap minggu atau bulan untuk menghindari kebocoran.

Saat Yogyakarta jatuh dalam Agresi Militer Belanda II di tahun 1948, keberadaan dr. Rubiono dan para sandiman turut diuber. Di tangan merekalah strategi perang dan pemerintahan negara dipegang. Ketika itu, untuk mengamankan informasi, Rubiono dan sandiman akhirnya membakar seluruh dokumen rahasia di Dinas Code agar tak jatuh ke tangan Belanda.

Mereka kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Dari balik Bukit Menoreh, para sandiman memastikan keamanan komunikasi pasukan gerilya dan pemerintahan darurat di Sumatera. Berbekal peralatan seadanya, tulisan tangan dan penerangan lampu semprong di malam hari.

“Para kurir sandi juga sangat berhati-hati saat mengantar pesan. Stang onthel dimodifikasi seperti ini agar bisa disisipi lembaran kertas pesan,” jelas Setyo, sembari memperlihatkan rongga dalam stang yang bisa dibuka tutup.

Ia lalu menceritakan cara lain yang lazim digunakan menyelamatkan pesan. Yakni memasukkan kertas pesan dalam makanan, sehingga kertas bisa ditelan apabila tertangkap razia Belanda. Pantang bagi para sandiman memberikan pesan rahasia kepada musuh. Jamaknya, mereka memilih bunuh diri dan merusak pesan untuk menjaga pesan. Rahasia negara kerap ditempatkan lebih tinggi derajatnya dibanding nyawa mereka sendiri.

“Kemerdekaan kita memuat jasa-jasa dari mereka yang tak ingin diketahui namanya,” tutup Setyo.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani