Menuju konten utama

Mereka yang Takut Menikah

Ada orang yang ingin cepat menikah, sebagian lain justru menghindari pernikahan. Bisa jadi yang menghindari pernikahan ini mengalami gamophobia—sebuah ketakutan irasional untuk membuat komitmen. Anda mengalaminya? Jika ya, Anda tak perlu cemas.

Mereka yang Takut Menikah
Petugas dari KUA mengajarkan cara ijab kabul kepada warga peserta pernikahan massal gratis di Masjid Mujahidin, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (23/10). ANTARA FOTO/Moch Asim.

tirto.id - Ribuan tahun lalu masyarakat Yunani memiliki ritual sakral bernama Hieros Gamos. Mereka mengganggap “persekutuan tubuh” di antara dua mahkluk beda jenis kelamin bukan sesuatu yang profan, melainkan sakral karena melibatkan kehadiran para Dewa dan Dewi.

Dari kata “gamos” itulah istilah gamomania dan gamophobia bermula. Gamomania merujuk pada hasrat berlebihan seseorang untuk menikah atau menyekutukan tubuh. Sebaliknya gamophobia, menggambarkan ketakutan irasional seseorang untuk membuat komitmen berumah tangga. Gamophobia ini bisa menjangkiti siapapun, tapi lebih umum dialami pria.

Pria punya kecenderungan takut menikah karena berbagai alasan dari masalah tanggung jawab, keuangan sampai keterikatan. Semua itu dianggap pembelenggu “kemerdekaan” pria. Pada akhirnya kekhawatiran itu berujung pada ketakutan berlebihan untuk menerima risiko-risiko pernikahan, membesarkan anak, mengasuh mereka, dan segudang masalah lain.

Selain itu, faktor lain semisal pengalaman-pengalaman buruk tentang pernikahan seperti; perceraian orangtua, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, perselingkuhan atau insiden-insiden lain.

Pengalaman-pengalaman personal inilah yang membuat seorang dengan gamophobia menganggap citra pernikahan sebagai ikatan yang negatif. Dengan pengalaman seperti itu pula mereka kemudian berfikir bahwa kelak jika membangun rumah tangga akan mengalami kejadian serupa.

Ketakutan akan pernikahan dan komitmen juga bisa didukung oleh kondisi depresi lainnya. Seseorang mungkin benar-benar mau menikah, tapi takut dan cemas untuk mengambil keputusan penting dalam hidup mereka. Kurangnya kepercayaan diri, citra diri yang buruk, faktor seksual (impotensi, disfungsi ereksi) dan berbagai jenis persoalan lain dari depresi juga dapat menyebabkan seseorang untuk menjauh dari pernikahan dan komitmen.

Gejala-gejala gamophobia ini dapat diketahui jika seseorang mengalami ketakutan-ketakutan yang irasional dan ekstrem tentang pernikahan dan komitmen. Gejala lainnya, jika seseorang menghindari acara-acara atau pembicaraan terkait pernikahan. Seorang gamophobic akan agresif menyerang bila membicarakan tentang pernikahan. Mereka sebenarnya sadar bahwa rasa ketakutan itu irasional tapi tidak mampu mengendalikan perasaan itu. Hal ini sejalan dengan tingkat kepercayaan diri mereka yang juga rendah.

Gejala lain yang lebih parah, bila seseorang gamophobic terlihat panik disertai dengan tanda-tanda fisik seperti gemetar, menangis, detak jantung cepat, kesulitan bernafas, mual atau muntah, pusing atau pingsan, berkeringat dan mual bila menghadapi hal-hal berkaitan dengan pernikahan, meskipun hanya membicarakan atau melihat pernikahan orang lain.

Generasi Milenial Takut Menikah

Ketakutan menikah dalam stadium ringan ternyata lazim dialami oleh generasi-generasi milenial saat ini dan menggejala di sebagian besar negara di dunia. Indonesia salah satunya. Riset mandiri tirto.id pada Agustus 2016 lalu menunjukkan ada 24,9 persen perempuan memilih tidak ingin menikah. Sebagian besar alasan mereka karena “menikah tidak menarik, hanya menimbulkan masalah, dan menghambat karier.”

Sementara dalam studi di Cina pada 2015, ditemukan 80 persen di kalangan anak muda lajang kelahiran 80an sampai 90an memilih hidup sendiri dan takut menikah, demikian China Daily Mei 2015 lalu melaporkan.

Hasil penelitian di Negeri Tirai Bambu itu mengungkap bahwa gamophobia menjadi hal lazim di kalangan anak muda, dengan 90 persen responden mengatakan pernikahan hanya membuat stres dan merepotkan.

Mereka mengklaim tekanan dari masyarakat, pekerjaan, kehidupan dan orang tua mengalihkan perhatian mereka dari pernikahan. Mereka takut akan biaya berumah tanggga yang tinggi, selain juga perubahan hidup setelah menikah.

Dari studi itu juga ditemukan lebih dari 60 persen orang muda memilih menikah setelah usia 30. Para responden ini percaya pernikahan harus disiapkan dengan penuh pertimbangan bukan karena dorongan asmara semata.

Menurut China Daily, mayoritas responden penelitian itu adalah pekerja kerah putih dan pegawai pemerintah dari kota-kota besar Cina termasuk Beijing, Shanghai, Guangzhou dan Shenzhen.

Sementara di Amerika dalam riset Pew Research pada 2014 diketahui bahwa ada kecenderungan generasi milenial di sana cenderung menganggap pernikahan bukan sesuatu yang penting. Angka anak muda Amerika Serikat yang tidak tertarik untuk berkomitmen terus naik empat tahun terakhir dan tertinggi sejak 50 tahun.

Menikah Lebih Bahagia dan Sehat

Imbas lebih luas dari persoalan gamophobia sudah terbukti di Jepang. Pada 2014 dilaporkan bahwa populasi penduduk muda di Jepang menurun terutama karena jumlah pernikahan sangat rendah. Ketakutan untuk menikah ini terkait dengan etos penduduk Jepang yang suka berkarir ketimbang harus mengurus rumah tangga.

Kepada Wall Street Journal dua tahun lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan Jepang Masako Mori mengatakan "salah satu alasan mereka [tak mau menikah] karena merasa secara ekonomi tidak stabil," katanya. "Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk bertemu calon pasangan."

Untuk menangani persoalan ini pemerintah Jepang bahkan sampai memfasilitasi penduduknya untuk menikah.

Dalam healthtopia, situs khusus yang membedah fobia-fobia, disebutkan ketakutan menikah itu sebenarnya bisa “disembuhkan” melalui beberapa terapi yakni terapi perilaku kognitif, terapi konsultasi, dan terapi keluarga. Pada prinsipnya ketiga terapis itu berfungsi menggali lebih dalam pikiran negatif seorang gamophobic terhadap pernikahan.

Ya, seorang gamophobic cenderung cepat menyimpulkan bahwa perkawinan itu negatif sebelum mereka berani mencobanya. Dari situ mereka diarahkan untuk memiliki persepsi lain yang lebih positf tentang pernikahan. Di sisi lain mereka juga belajar mengendalikan kecemasan mereka bahwa menikah itu tidak sengeri yang dibayangkan sebab ada dukungan dari keluarga.

Senada dengan itu, pakar Psikologi Amerika, Tony Ferretti, Ph.D menyebutkan seorang gamophobic harus mau belajar menerima masalah dan mengakui bahwa dalam berumah tangga tidak ada hubungan yang sempurna, tanpa konflik dan adu mulut.

“Anda mungkin perlu mengevaluasi pandangan Anda terhadap hubungan dan memodifikasi harapan Anda saat ini,” jelas Ferreti di situs pribadinya.

Pakar psikologi berlisensi itu juga menyampaikan hubungan berkomitmen memang penuh risiko dan rentan, “tapi bisa juga datang dengan sukacita dan kebahagiaan.”

Tony Ferreti bisa jadi benar, ada banyak keuntungan yang membahagiakan ketika seseorang menikah, setidaknya dari sisi kesehatan. Penelitian pada 2015 yang melibatkan 3,5 juta orang dewasa di Amerika mengungkap bahwa ada korelasi positif antara pernikahan dan kesehatan jantung.

Studi ini menemukan bahwa orang yang menikah memiliki risiko lima persen lebih rendah terserang penyakit jantung dibandingkan dengan orang lajang. Statistik meningkat secara signifikan untuk pasangan yang menikah muda, responden dengan usia di bawah 50 tahun memiliki risiko 12 persen lebih rendah terserang penyakit jantung daripada para lajang.

"Hasil survei kami jelas menunjukkan bahwa ketika ada penyakit kardiovaskular, status perkawinan benar-benar penting," kata Dr. Carlos Alviar, pemimpin penelitian itu kepada Associated Press seperti dikutip Times.

Sekarang sudah tahu manfaat menikah, lalu kapan Anda ajak pasangan ke KUA?

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti