Menuju konten utama

Mereka yang Berakhir Tragis & Ancaman Baru Hegemoni Dolar AS #2

BRICS dan ASEAN mencoba memanfaatkan kondisi ekonomi AS yang lemah untuk menekan greenback melalui berbagai sistem pembayaran baru.

Mereka yang Berakhir Tragis & Ancaman Baru Hegemoni Dolar AS #2
Header Hegemoni Dolar AS. tirto.id/Ecun

tirto.id - Tekad sejumlah negara semakin bulat untuk melepaskan cengkeraman dolar Amerika Serikat (AS). Saat ini, dua kekuatan tengah berdiri menantang hegemoni greenback dalam sistem moneter internasional. Mereka adalah BRICS dan ASEAN.

BRICS merupakan akronim dari Brazil, Russia, India, China dan South Africa. Lima negara emerging market terpesat ini menjalin hubungan spesial usai para pemimpinnya bersua di sela-sela G8 Outreach Summit St Petersburg, Rusia, pada Juli 2006. Hasil pertemuan lalu ditindaklanjuti oleh masing-masing menteri.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama mereka berlangsung di Ekaterinburg, Rusia, pada Juni 2009. Kala itu, kelompok tersebut masih bernama BRIC dan terdiri atas empat negara. Afrika Selatan baru ikut bergabung pada Desember 2010 setelah KTT kedua terlaksana di Brasil.

Istilah BRIC sendiri awalnya dicetuskan oleh Jim O'Neill, kepala ekonom bank investasi multinasional Goldman Sachs pada 2001. Melalui laporan berjudul Building Better Global Economic BRICs, ia yakin negara-negara tersebut bakal mendominasi perekonomian global mulai 2050 mendatang.

Perhitungan Jim tampaknya masuk akal. Sebab berdasarkan data Statista, gabungan Produk Domestik Bruto (PDB) lima negara BRICS mencapai USD26,03 triliun pada 2022 atau lebih banyak ketimbang AS.

Menurut catatan Acorn Macro Consulting, BRICS telah menyumbang hampir 31,5% untuk PDB global tahun lalu. Capaian itu melampaui kontribusi Group of Seven (G7) yang beranggotakan AS, Jepang, Inggris, Prancis, Jerman, Kanada, Italia, dan Uni Eropa.

Di samping BRICS ada Association of Southeast Asian Nations atau disingkat ASEAN, organisasi geopolitik serta ekonomi negara-negara kawasan Asia Tenggara yang dibentuk oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina pada 1967 silam. Sekarang, organisasi tersebut terdiri atas 11 negara setelah Timor Leste resmi bergabung pada 2022 lalu.

Statista memperkirakan gabungan PDB negara-negara ASEAN tembus USD3,66 triliun pada 2022, melonjak signifikan dari tahun-tahun lalu. Sedangkan menurut World Economics, ASEAN menyumbang 7,1% dari total PDB global serta berperan 9,2% terhadap pertumbuhannya dalam kurun waktu satu dekade terakhir (2012-2022).

Kini, BRICS dan ASEAN melangkah di jalan yang sama. Faktor politik dan dinamika ekonomi global mendorong mereka berlari menuju dedolarisasi. Membaca sejarahnya, dolar AS termasuk tipe lawan yang tangguh. Sejak Perang Dunia II, status greenback sebagai mata uang cadangan dunia belum mampu digantikan.

Terlebih lagi walau beberapa mata uang asing dominan lain seperti euro, yen, dan poundsterling sempat mencatatkan penguatan terhadap greenback, tetapi setidaknya dalam satu dekade terakhir dolar AS tetap perkasa.

Dedolarisasi merupakan kata serapan Bahasa Inggris dedollarisation, artinya mengurangi ketergantungan dari dolar AS sebagai mata uang cadangan, alat tukar, atau satuan hitung.

Nilai Tukar Mata Uang Asing Terhadap Dollar

Nilai Tukar Mata Uang Asing Terhadap Dollar. foto/Google finance

Akan tetapi, BRICS dan ASEAN juga bukan penantang sembarangan. Agenda-agenda teranyar mereka menunjukkan hasrat untuk lepas dari ketergantungan dolar AS tidak sekadar wacana belaka. Masing-masing punya cara dan strategi demi mewujudkan mimpi itu.

BRICS sedang mengembangkan sistem token keuangan sendiri sebagai pengganti Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) yang dikuasai AS. Bahkan, mereka juga berencana menciptakan mata uang baru serta membentuk bank kebijakan dan investasi bernama New Development Bank.

Selaku perekonomian terbesar kedua sekaligus rival utama AS, tak heran jika Tiongkok – penamaan Cina oleh Indonesia – merupakan punggawa BRICS yang paling militan mempercepat tren dedolarisasi.

Setelah sukses merayu Arab Saudi menjadi mitra dialog Shanghai Cooperation Organisation, mereka juga menyambut ide pembentukan Asian Monetary Fund yang diproyeksikan mengganti peran International Monetary Fund.

Belum lama ini, Tiongkok dan Brasil sepakat menggunakan yuan atau renminbi sebagai mata uang dalam transaksi perdagangan maupun investasi. Menurut catatan S&P Global Market Intelligence, perdagangan antara keduanya menghasilkan perputaran uang mencapai USD150 miliar pada 2022, melonjak 10% dari tahun sebelumnya.

Selain itu, Tiongkok juga berhasil mencetak sejarah baru setelah yuan dipakai untuk pertama kalinya sebagai alat pembayaran dalam sistem perdagangan liquefied natural gas (gas alam cair) dengan TotalEnergies Prancis.

Tak kalah dengan BRICS, ASEAN juga punya tekad yang serupa. Dalam skala ini, Indonesia termasuk yang paling getol. Pada Maret 2023 lalu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara ASEAN berkumpul untuk membahas strategi meninggalkan ketergantungan terhadap dolar AS, euro, yen dan poundsterling.

ASEAN kini sedang mengembangkan skema Local Currency Transaction (LCT) yang merupakan turunan dari Local Currency Settlement (LCS). Dalam hal ini, Indonesia merupakan pencetusnya. Skema LCT memungkinkan setiap negara bertransaksi dengan mata uang lokal tanpa perlu lagi menggunakan dolar AS.

Sejauh ini, terdapat lima negara yang sudah menjalin perjanjian LCT dengan RI. Yaitu Thailand, Malaysia, Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan.

Alasan Beda Tujuan Sama

Meski tujuannya serupa, BRICS dan ASEAN punya masing-masing alasan untuk meninggalkan dolar AS. Perkembangan politik dan ekonomi global menarik mereka masuk ke dalam gerbong yang sama. Hubungan informal keduanya turut didukung kerja sama bilateral yang terjalin antaranggota organisasi tersebut.

Dedolarisasi telah menjadi prioritas utama BRICS setelah dua pendirinya terlibat masalah serius dengan AS. Sanksi bertubi-tubi yang dijatuhkan kepada Rusia serta perang dagang terhadap Tiongkok memaksa mereka mempercepat upaya ini.

Menurut laporan Reuters, AS dan sekutu telah membekukan lebih dari USD300 miliar cadangan mata uang asing Rusia. Pada akhir tahun lalu, Gedung Putih juga menambah 35 unit perusahaan asal Beijing ke dalam daftar entitas terlarang. Situasi inilah yang membuat BRICS mau tak mau harus menerapkan dedolarisasi.

Infografik koalisi penantang dolar as REV

Infografik koalisi penantang dolar as. tirto.id/Fuad

Sedangkan bagi ASEAN, menjauhi dolar lebih kepada strategi untuk mengamankan stabilitas perekonomian dalam negeri serta meningkatkan konektivitas sekawasan. Beda dengan BRICS, tidak ada anggota ASEAN yang kini terlibat konflik secara langsung dengan AS.

Saat Rusia mulai menggelar operasi militer di Ukraina pada awal 2022, Singapura menjadi satu-satunya negara ASEAN yang mengikuti seruan AS untuk mengutuk tindakan Tentara Merah. Sementara yang lainnya memilih bersikap netral dan diplomatis, termasuk Indonesia.

Di luar organisasi, anggota BRICS dan ASEAN juga memiliki hubungan tersendiri. Misalnya India dan Malaysia yang baru-baru ini sepakat menggunakan mata uang rupee dalam sistem perdagangan mereka. Kemudian ada pula RI dan Tiongkok yang menjalin perjanjian LCS sehingga memungkinkan keduanya bertransaksi dengan mata uang selain dolar AS.

Bagi sebagian negara ASEAN, anggota BRICS merupakan mitra dagang strategis di samping AS.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Tiongkok dan India menjadi pangsa ekspor nonmigas terbesar RI pada April 2023. Masing-masing berkontribusi senilai USD4,62 miliar dan USD1,54 miliar. AS sendiri duduk setingkat di bawah Tiongkok dengan nilai USD1,57 miliar.

Begitu pula di negeri jiran. Menurut catatan Badan Promosi Perdagangan Nasional Malaysia, Tiongkok merupakan pangsa ekspor terbesar kedua bagi negara tersebut selama Januari-Maret 2023. Nilainya mencapai RM46,01 miliar atau 13% dari total Kuartal I/2023. Selanjutnya ada AS dengan nilai ekspor RM38,96 miliar atau 11%. Sementara India berkontribusi RM10,99 miliar atau 3,1%.

Meski peran AS terbilang penting, sikap negara-negara ASEAN sudah jelas. Dalam konteks ini, mereka lebih memilih berjalan di samping BRICS untuk mewujudkan dedolarisasi global. Sikap ini merupakan bagian dari hasil KTT ke-42 ASEAN Tahun 2023.

“Selain itu, implementasi transaksi mata uang lokal dan konektivitas pembayaran digital antarnegara sepakat untuk diperkuat. Ini sejalan dengan tujuan sentralitas ASEAN, supaya ASEAN semakin kuat dan semakin mandiri,” ujar Presiden RI Joko Widodo dilansir dari situs resmi Sekretariat Kabinet.

Adidaya Greenback Sulit Dikutik

Selain sisi politik dan penguatan ekonomi Kawasan, sejatinya kondisi ekonomi dalam negeri AS yang paling teranyar juga menjadi alasan kuat untuk merobohkan greenback.

Negeri Paman Sam yang sebelumnya mampu tubuh 5,9% pada 2021, saat ini hanya mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi 1,1% pada Kuartal I/2023. Kemudian, mengacu pada data U.S Fiscal Data Treasury, utang Pemerintah AS kini membengkak hingga US$31,4 triliun atau setara Rp463 ribu triliun. AS berpotensi mengalami gagal bayar.

Meskipun demikian, data menujukkan bahwa dolar AS tetap mendominasi mata uang global sampai detik ini. Berdasarkan catatan International Monetary Fund (IMF), greenback masih mendominasi usai menyumbang USD6.471,28 miliar atau setara 58,36% dari cadangan devisa global pada Kuartal IV/2023 lalu.

Walau nilainya cenderung turun selama lima kuartal berturut, dolar AS tetap anteng bertengger tinggi di atas semua mata uang yang ada. Dalam hal ini, dolar AS nyaris tidak punya kompetitor berarti. Bahkan sekelas Euro masih terpaut jauh di bawahnya dengan kontribusi 20,5%, sedangkan yuan duduk di urutan kelima dengan sumbangsih 2,7% atau senilai USD298,44 miliar.

Melalui kajian berjudul The Stealth Erosion of Dollar Dominance: Active Diversifiers and the Rise of Nontraditional Reserve Currencies (2022), Serkan Arslanalp dkk menemukan fakta menarik. Ternyata, penyusutan kinerja dolar AS belakangan ini tidak mampu diimbangi dengan peningkatan saham mata uang populer lainnya seperti euro, yen hingga pound. Itulah sebabnya dolar AS tetap mendominasi sampai sekarang.

Temuan Arslanalp selaras dengan pendapat Cedric Chehab dari Fitch Solutions. Menurut dia, ada satu alasan sederhana yang menyebabkan dolar AS belum bisa tergoyahkan setidaknya dalam waktu dekat. Yaitu tak lain karena tidak ada mata uang alternatif yang layak sampai saat ini.

Bahkan yuan yang digadang-gadang melampaui dolar AS, juga belum mampu. Sebab, mereka hanya sekitar 2,5% dari total cadangan devisa global dan masih memiliki batasan rekening giro. Begitu juga dengan euro dan yen yang dianggap belum proporsional.

“Itu berarti akan membutuhkan waktu lama untuk mata uang lain, mata uang tunggal mana pun untuk benar-benar merebut dolar dari perspektif tersebut,” ujar Chehab kepada CNBC.

Baca juga artikel terkait DEDOLARISASI atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas