Menuju konten utama

Mereka Salat Tarawih di Jembatan Penyeberangan

Musala Miftahul Jannah di Pasar Gembrong tak begitu luas, sementara jamaahnya membludak. Maka, jembatan di depannya disulap menjadi tempat salat.

Mereka Salat Tarawih di Jembatan Penyeberangan
Sejumlah warga melaksanakan salat Tarawih di atas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Mushola Miftahul Jannah di kawasan Pasar Gembrong, Jakarta, Kamis (17/5/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - "Karena cari yang dekat. Kalau pahala sama saja yang penting niat kita ikhlas tulus menjalankan ibadah," kata Muhajid (61).

Muhajid adalah pedagang minuman di Pasar Gembrong, Jatinegara, Jakarta Timur. Sehari-harinya ia mengais rezeki dari sana. Sering sampai malam. Kecuali di bulan Ramadan.

Usai berbuka puasa, pria asal Purwokerto tersebut biasanya bakal langsung mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah salat Isya dan Tarawih berjamaah di Musala Miftahul Jannah yang terletak di Jalan Jenderal Basuki Rachmat Nomor 50. Tak jauh dari tempatnya berdagang.

"Kalau sepi, saya masuk ke dalam. Tapi pas ramai, di jembatan sini juga enggak apa-apa," ucap Mujahid.

Mujahid dan jemaah lainnya sudah terbiasa Tarawih di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang berada persis di depan musala.

Bermodalkan alas atau sajadah seadanya, mereka tetap khusyuk melaksanakan ibadah, meski di bawahnya raung klakson dan derap pejalan kaki tak berhenti. Kalau hujan masih rintik-rintik, mereka tidak bakal beranjak.

Lebar JPO hanya cukup untuk dua saf. Dua-duanya bakal dipakai jika memang benar-benar ramai seperti pada 17 Mei lalu. Lain waktu hanya satu. Biasanya yang salat di sana para lelaki, sementara perempuan yang tidak kebagian tempat di dalam bakal menggelar sajadah di pinggir jalan, di bawah jembatan.

Musala Miftahul Jannah masuk dalam wilayah RT12 RW02 Kelurahan Cipinang Besar Utara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Musala tersebut terdiri dari dua lantai, lantai pertama untuk jemaah laki-laki dan lantai atas perempuan.

Meski dua lantai, musala bercat putih dengan plang nama berwarna kuning dengan latar hijau ini tak terlalu luas. Posisinya yang dekat dengan rumah warga membuat jemaah membludak hingga keluar--setidaknya pada minggu pertama.

Itu yang membuat sebagian orang, alih-alih mencari tempat salat lain, memilih memaksakan diri Tarawih di jembatan.

"Jemaah ada juga orang lewat, warga, dan ada juga pedagang sini. Karena tidak mencukupi mereka akhirnya naik ke JPO dan jalan."

Sudah Biasa

Tirto menyambangi Mushola Miftahul Jannah pada Rabu malam, 23 Mei 2018. Kala itu musala tetap dipadati oleh jamaah, termasuk di JPO meski tidak penuh.

Saifuloh (60 tahun), Suhendri (18 tahun) dan Supandi (40 tahun), pedagang gas dan minyak tanah yang lapaknya tak jauh dari Pasar Gembrong, bercerita bahwa kebiasaan salat Tarawih di jembatan sudah dilakukan warga bertahun-tahun.

Saifuloh yang sudah 30 tahun tinggal di kawasan Pasar Gembrong mengatakan hal ini sudah terjadi sejak 1992, tahun ketika Jalan Jendral Basuki Rachmat dilebarkan dan JPO dibangun.

"Sejak tahun 1992 warga sudah mulai salat di JPO sama pinggir jalan," ucap pria asal Brebes tersebut.

Kadiman, imam di Miftahul Jannah, membenarkannya. Dulu ada lapangan bulutangkis di dekat musala. Siang dipakai tempat bermain, dan malan jadi lokasi penampungan jamaah yang tak kebagian tempat di dalam.

"Tapi pas tahun 1992 lapangannya digusur karena dibangun jalan," ucap Kadiman.

Selain menggusur lapangan, tinggi musala juga jadi lebih rendah dari jalanan itu sendiri. Karenanya, lantai musala ditambah. Namun, luas satu lantai tambahan tak sepadan dengan lapangan yang digusur. Jamaah tetap tak bisa tertampung.

Pengurus musala kemudian melakukan beberapa hal agar setidaknya jemaah yang tidak tertampung bisa salat dengan nyaman. Tenda dari terpal didirikan, pengeras suara juga dipasang di luar.

Kadiman juga sepakat dengan para pengurus lain untuk membuat Tarawih seefisien mungkin. Durasi Tarawih sebanyak 23 rakaat diusahakan tidak terlalu lama, hanya sampai pukul 20.00 atau maksimal 20.30.

"Mengingat orang-orang pada capek kerja dari pagi. Kami lihat situasi warga," ucap Kadiman yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang mainan.

Tanggapan Pemprov

Meski telah bertahun-tahun terjadi, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno baru mengetahui soal ini. Ia mengaku kaget. Selebihnya, pengusaha ini mengatakan bakal memperbaiki apa yang dianggap salah. Dalam kasus salat di jembatan, Sandi mengatakan bakal berkoordinasi dengan lurah dan camat setempat untuk dicarikan tempat alternatif.

"Iya saya terenyuh banget. Kemarin sudah ngomong sama teman-teman wilayah. Kita akan berikan alternatif karena itu [salat di jembatan dan pinggir jalan] sangat tidak baik," ucap Sandi kepada wartawan, Rabu (23/5/2018).

Sandi mengatakan kegiatan ini berbahaya bagi keselamatan, juga kepantasan beribadah. "Ulama 'kan menyampaikan keutamaan salat itu di masjid," ucap Sandi.

Ketua pengurus musala, Ahmad Muqaffi, sedang tidak ada di lokasi ketika kami coba bertanya apakah sudah ada dari pihak pemprov yang menghubungi. Namun, Maman (40), tokoh masyarakat setempat, mengaku belum ada arahan apa pun terkait pemindaan jemaah atau pencarian lokasi alternatif.

"Kalau pihak kelurahan memang sering ke sini. Tapi soal diarahkan itu saya belum dapat informasinya," katanya.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Rio Apinino