Menuju konten utama
Sekjen REI Totok Lucida:

"Mereka Mau Belanja Rumah Tapi Takut Diperiksa Pajak"

Bagaimana dunia usaha seperti pengembang melihat pasar properti di 2018 setelah mengalami kelesuan beberapa tahun sebelumnya?

Ilustrasi Totok Lucida

tirto.id - Properti di Indonesia beberapa tahun terakhir sedang berada pada fase jenuh. Perlambatan pasar properti sudah terjadi sejak akhir 2013. Sejak itu, pasar properti di Indonesia meninggalkan fase siklus tertinggi pasar dan kenaikan harga properti yang terjadi puncaknya pada 2013, lalu mulai melambat di 2014.

"Terakhir, stagnan itu terjadi di 2014 setelah sebelumnya naik luar biasa pada 2013," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Realestate Indonesia (REI) Totok Lucida.

Pada saat siklus puncak, selain pasar yang atraktif, kenaikan harga properti pada 2-3 tahun sebelum 2013 menunjukkan harga properti yang meningkat lebih dari 60 persen per tahun. Namun, pasar properti kemudian jadi jenuh dan terus melambat setelahnya.

Kondisi perlambatan masih terasa sampai 2017. Tahun tersebut merupakan masa berat karena diwarnai isu daya beli masyarakat yang melemah hingga masalah aset dalam perpajakan seperti program amnesti pajak, suku bunga, dan sebagainya.

Namun, berbagai indikator lainnya mulai memperlihatkan perbaikan seiring dengan kenaikan harga komoditas yang lebih stabil yang diharapkan membawa angin segar bagi sektor properti. Sayangnya, angkanya belum sekuat periode sebelum 2013, tapi pasar properti diperkirakan mulai mengalami pemulihan.

Apakah kondisi ini akan berlanjut dan makin membaik di 2018 yang berbarengan dengan tahun Pilkada serentak dan setahun jelang Pilpres 2019?

Berikut wawancara Tirto dengan Totok Lucida, soal seluk beluk pasar properti di tahun lalu dan menyongsong tahun baru.

Apa yang Anda lihat dari dinamika pasar properti di Indonesia saat ini?

Di Indonesia ini, ada periodik unik yang terjadi di bisnis properti. Setiap 10 tahun sekali, terjadi stagnasi di bisnis properti. Terakhir, stagnan itu terjadi di 2014 setelah sebelumnya naik luar biasa pada 2013.

Namun, kondisi stagnan yang terjadi sejak 2014 itu agaknya berkepanjangan. Baru pada 2017, perlahan-lahan industri properti di Indonesia mulai menggeliat lagi, meskipun harus diakui belum terlalu signifikan.

Bagaimana dengan prospek properti bagi pengembang di 2018?

Saya meyakini kondisi di tahun ini, jauh akan lebih baik. Hal itu dikarenakan pada 2018, REI bersama pemerintah banyak melakukan berbagai upaya guna memberikan confidence kepada pasar terhadap industri properti.

Memang, tidak semudah membalikkan tangan agar pasar dapat kembali confidence terhadap properti kita. Namun, kami meyakini bisnis properti masih cerah mengingat kebutuhan rumah tinggal juga masih tinggi.

Apa saja yang dilakukan pengembang untuk meningkatkan confidence pasar?

Banyak, di antaranya kami melakukan sejumlah riset dan membentuk tim bersama dengan Bank Indonesia. Kemudian, pemerintah mengeluarkan sejumlah terobosan terkait kemudahan perizinan.

Hanya saja memang belum berjalan mulus karena adanya otonomi daerah. Oleh karena itu, pada awal 2018 nanti, pemerintah akan menyusun perizinan agar terpusat di Jakarta, melalui e-perizinan. Jadi lewat internet.

Dengan perizinan yang terpusat itu, apabila dua minggu izin tidak ditindaklanjuti pemerintah daerah, maka pemerintah pusat akan langsung menyetujui. Saya yakin terobosan ini dapat memacu bisnis properti di 2018.

Di 2018, properti mana saja yang bakal diminati pasar?

Rumah tapak masih diminati. Saat ini, pertumbuhan penduduk setiap tahun itu mencapai di atas 3 juta, dan ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Kalau kita asumsikan dari 3 juta orang itu menjadi pasutri (pasangan suami istri), maka kebutuhan rumah itu sekitar 1,5 juta unit per tahun.

Sayang, pertumbuhan jumlah rumah yang terjangkau masih stagnan dalam tiga tahun terakhir ini, sehingga terus menambah backlog (kurang pasok). Hal itu bisa terlihat dari target pembangunan rumah sederhana yang tidak tercapai.

Bagaimana dengan apartemen yang beberapa tahun terakhir berkembang?

Nah ini, apartemen selama ini dianggap barang investasi oleh end user. Jadi banyak, yang beli apartemen itu sebenarnya sudah memiliki rumah. Namun kini, trennya mulai berubah. Sudah mulai seimbang antara untuk investasi, dan untuk ditinggali.

Kondisi ini juga disebabkan bahwa membangun rumah tapak yang terjangkau di tengah kota memang sudah tidak mungkin lagi. Jadi bisa dibilang, apartemen itu sudah bukan lagi barang investasi.

Selain hunian, bagaimana dengan peluang sektor perkantoran, khususnya Jakarta?

Minat memiliki kantor sebenarnya masih ada. Hanya saja, jumlah perkantoran di Jakarta saat ini sudah oversupply. Kami yakin okupansinya akan lebih baik di 2018. Apalagi, Pemprov DKI yang melarang adanya kantor di perumahan.

Properti kawasan industri juga akan ikut berkembang di 2018?

Saya kira kalau properti tumbuh, penjualan lahan industri juga akan ikut tumbuh juga. Jadi, ada beberapa daerah yang menyiapkan strategi dengan membangun daerahnya dahulu agar investor berminat datang ke daerahnya.

Contohnya itu Palembang, ia memakai gimmick menggelar event-event internasional guna menarik investor datang ke Palembang. Menyambut Asian Games 2018 ini, banyak daerah di sana yang disiapkan untuk kawasan industri.

Peminatnya ternyata membludak. Sekitar 1-2 minggu yang lalu saya ke sana. Jadi program-program dari daerah juga mendorong bisnis properti. Kalau minat kawasan industri tumbuh, kebutuhan properti yang lain juga akan meningkat karena ini bersinergi.

Soal daya beli yang menurun, apakah akan memengaruhi bisnis properti?

Saya kira enggak karena daya beli itu sebetulnya masih ada. Hanya saja, ada kekhawatiran dari masyarakat, sehingga uang mereka itu lebih banyak disimpan di bank. Saya dengar sudah meningkat 30 persen.

Jadi, kalau Indonesia diibaratkan seperti perusahaan. Sebetulnya, perusahaan Indonesia ini punya uang, cash flow-nya itu sangat likuid, tapi manajemennya enggak berani belanja. Oleh karena itu bagaimana kita menggugah ini.

Saya kira persoalan ini lebih mudah ketimbang kondisi ekonomi yang terjadi di negara lain. Banyak negara yang tidak punya cash flow yang baik, di perbankan. Cuma rakyatnya ini, tidak berani membelanjakan karena melihat situasi.

Sebagai pengembang, apa yang Anda lihat soal kekhawatiran masyarakat?

Mereka takut mengenai policy perpajakan saat ini. Mau belanja rumah, tapi takut diperiksa, padahal sudah ikut amnesti pajak. Oleh karena itu, salah satu upaya kami agar bisnis properti lebih kondusif adalah dengan membuat kesepakatan dengan ditjen pajak.

Sekitar satu bulan yang lalu, kami menyepakati dengan ditjen pajak agar tidak berkomentar di media, terutama mengenai pemeriksaan amnesti pajak dan lain sebagainya.

Nah, dengan ketenangan yang diambil oleh otoritas pajak itu, kami harap bisa menggugah uang yang sementara ini berjalan di saham, dan disimpan di tabungan atau deposito itu bisa digunakan untuk belanja properti.

Pandangan Anda soal program pemerintah seperti sejuta rumah?

Sebetulnya program pemerintah mencanangkan 1 juta rumah per tahun itu sangatlah rasional. Namun, dengan kondisi yang ada saat ini, kita memang agak mengalami stagnan selama pemerintahan Joko Widodo.

Pada tahun depan, kami meyakini target 1 juta rumah secara real akan benar-benar bisa tercapai, di mana target pemerintah di rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebanyak 600.000 unit dan target REI di 300.000 unit.

Apa yang membuat REI yakin program sejuta rumah akan tercapai di 2018?

Saat ini, kami sedang membuat beberapa program yang bakal di-launching pada Januari 2018. Nanti, rakyat akan menikmati perumahan-perumahan yang dirintis bersama institusi pemerintah.

Jadi, nanti akan ada kelompok tertentu dari MBR yang akan kami berikan angsuran bunga sebesar 2,5 persen dari sebelumnya dapat subsidi dari pemerintah dengan angsuran bunga 5 persen.

Untuk mendapatkan fasilitas ini, kami akan melihat terlebih dahulu kemampuan penghasilannya. Apabila ia punya kemampuan terhadap angsuran, maka suku bunga dari 5 persen akan diturunkan ke 2,5 persen.

Apa pertimbangan REI ikut mendorong adanya penurunan suku bunga kredit?

Supaya MBR ini memiliki kemampuan untuk memiliki rumah. Kalau suku bunga turun dari 5 persen ke 2,5 persen, beban rutin per bulan bagi MBR bisa turun sekitar Rp200.000. Untuk ukuran orang kecil kan lumayan besar.

Tentunya, kami juga akan membangun perumahan MBR yang disesuaikan dengan lokasi dan perencanaan infrastruktur. Jadi bukan rumah mewah (rumah mepet sawah), tapi rumah yang memiliki sarana dan prasarana yang baik.

Jadi diharapkan tidak ada lagi beli hari ini, 5 tahun lagi baru ditempati, sementara dikontrakin dulu karena rumah masih jauh dari keramaian.

Bisnis properti selalu dikaitkan dengan harga tanah yang terus naik, bagaimana pengembang melihatnya?

Isu ini memang sudah terjadi sejak lama. Pemerintah seharusnya membentuk perusahaan daerah untuk mendorong bank tanah (land bank). Namun, sampai saat ini belum ada yang melaksanakan itu.

Sebetulnya kami punya usulan terkait ini, tapi belum bisa disampaikan detailnya. Yang pasti, para pengembang besar itu bakal membantu pengembang kecil di daerah agar land banking timbul.

Pengembang besar kalau bebaskan tanah itu enggak 1-2 hektare. Bisa ratusan, beda dengan pengembang kecil yang hanya bebaskan 1 hektare lalu dibangun, 2 hektare lalu dibangun, sehingga menyebabkan harga di sekitarnya melonjak tajam.

Adakah faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi geliat pasar properti di 2018?

Ada, terkait dengan suku bunga. Kami paham suku bunga bank untuk kredit properti masih susah menjadi single digit karena non performing loan (NPL) menjadi faktor penting dalam penyaluran kredit bank.

Namun, kalau perbankan bisa merealisasikan ini, kami yakin industri properti akan lebih baik lagi. Bagaimanapun, 90 persen konsumen itu membeli properti dengan kredit, baik kredit pemilikan rumah (KPR) maupun kredit pemilikan apartemen (KPA).

Baca juga artikel terkait PROPERTI atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Indepth
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra