Menuju konten utama
Kerja Sama Indonesia-Singapura

Menyoal Ruang Udara RI di Natuna yang Masih Dikelola Singapura

Hikmahanto menilai bila merujuk pada siaran pers Kemenko Marves dan pemberitaan di Singapura, kendali FIR belum berada di Indonesia.

Menyoal Ruang Udara RI di Natuna yang Masih Dikelola Singapura
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menkum Ham Yasonna Laoly (kanan) dan Mendagri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen terkait perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). ANTARA FOTO/HO/Setpres/Agus Suparto/sgd/hp.

tirto.id - Pemerintah Indonesia dan Singapura menyelesaikan polemik Flight Information Region (FIR), Selasa (25/1/2022). Kedua negara, lewat menteri terkait, melakukan penandatanganan kerja sama soal kesepahaman pengelolaan wilayah udara di sekitar Kepulauan Natuna dan Batam itu.

Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) dalam keterangan tertulis menyebut, pemerintah berhasil menyelesaikan masalah penyesuaian FIR sesuai hukum internasional. Kesepakatan itu pun disampaikan kepada organisasi penerbangan sipil internasional (ICAO) untuk disahkan.

“Persetujuan penyesuaian batas FIR Jakarta dan Singapura telah turut menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Sebagai negara pihak UNCLOS 1982, Singapura juga mengakui penerapan prinsip negara kepulauan dalam penentuan batas wilayah negara dan yurisdiksi Indonesia di perairan serta ruang udara di kepulauan Riau dan Bintan,” kata Menhub Budi Karya Sumadi dalam rilis Kemenko Marves, Selasa (25/1/2022).

Setidaknya ada lima poin kesepakatan. Pertama, FIR Jakarta melingkupi seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk Kepulauan Riau dan Natuna.

Kedua, Indonesia bertanggung jawab penyediaan penerbangan pada wilayah informasi FIR Indonesia sesuai dengan batas-batas laut teritorial. Indonesia akan bekerja sama dengan Singapura dalam pemberian penyediaan jasa penerbangan (PJP) sebagian FIR Indonesia yang berbatasan dengan Singapura.

“Indonesia akan memberikan delegasi pelayanan jasa penerbangan pada area tertentu di ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Di area tertentu tersebut, ketinggian 37.000 kaki ke atas tetap dikontrol Indonesia,” demikian rilis dari Kemenko Marves.

Kemudian, pengelolaan penerbangan dikoordinasikan lewat pesawat terbang yang akan terbang dari dan menuju Singapura pada ketinggian tertentu. Di sisi lain, pendelegasian FIR tidak mengecualikan kewenagan Indonesia untuk melaksanakan aktivitas sipil dan militer sesuai kedaulatan dan hak berdaulat di ruang udara Indonesia. Otoritas penerbangan Indonesia tetap mengkoordinasikan penerbangan FIR Jakarta.

Ketiga, Singapura menyepakati pembentukan kerangka kerja sama sipil dan militer untuk manajemen lalu lintas penerbangan (Civil Military in ATC-CMAC). Hal ini memastikan terbukanya jalur komunikasi aktif untuk menjamin tidak ada pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat.

Salah satu upaya adalah Indonesia akan menempatkan beberapa personil sipil dan militer di Singapore Air Traffic Control Center (SATCC) sebagaimana isi perjanjian. Otoritas Singapura juga berkewajiban mencegah dan menginformasikan kemungkinan pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing kepada Indonesia.

Hal ini agar pengawas lalu lintas udara kedua negara, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura pada ketinggian tertentu tersebut.

Keempat, Singapura wajib menyetorkan kutipan biaya jasa pelayanan jasa penerbangan yang diberikan pesawat yang terbang, dari dan menuju Singapura kepada Indonesia. Pendelegasian PJP dievaluasi ketat oleh Kementerian Perhubungan.

Kelima, Indonesia berhak mengevaluasi operasional pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan Singapura demi memastikan kepatuhan pelaksanaan ketentuan ICAO.

Hubungan Indonesia-Singapura

Kantor Staf Kepresidenan (KSP) menyebut kesepakatan FIR Indonesia-Singapura merupakan bukti hubungan erat antara Indonesia-Singapura.

Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan aksi penandatanganan FIR antara Indonesia-Singapura menunjukkan langkah pemerintah dalam pelaksanaan mandat internasional dan nasional sesuai Konvensi Chicago 1944 tentang daulat atas ruang udara, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Undang-Undang 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.

Jaleswari juga menegaskan, penandatanganan kerja sama FIR merupakan bentuk komitmen Presiden Jokowi untuk mendorong pengelolaan FIR di Kepulauan Riau dan Natuna sejak 2015. Kala itu, Jokowi menginstruksikan peningkatan sumber daya manusia dan teknologi dalam rangka pengambilalihan pengelolaan FIR dari Singapura.

Hal tersebut lantas ditindaklanjuti dengan persetujuan kerangka kerja sama (framework) Singapura dan Indonesia pada 2019 yang diikuti dengan penandatanganan perjanjian.

“Momentum ini merupakan manifestasi dari kerja keras dan negosiasi Panjang yang dilakukan pemerintah sejak 1990-an. Selain dimaknai sebagai suatu kemajuan, langkah selanjutnya adalah memastikan kesiapan SDM, infrastruktur, dan teknologi yang memadai untuk mendukungnya,” kata Jaleswari dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (26/1/2022).

Namun demikian, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwono mengkritik soal klaim tersebut. Sebab, isi perjanjian belum diketahui kebenarannya bila isi perjanjian belum diakses publik. Apabila mengacu dari keterangan pemerintah, ia masih melihat Indonesia belum menguasai penuh FIR dari Singapura.

“Bila merujuk pada siaran pers Kemenko Marves dan berbagai pemberitaan di Singapura sepertinya kendali FIR belum berada di Indonesia,” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (26/1/2022).

Hikmahanto mengaku ada 3 alasan. Pertama, Kemenko Marves menyebut wilayah 0-37 ribu kaki masih ranah otoritas penerbangan Singapura. Hal itu, kata Hikmahanto, menukil keterangan media Singapura, akan membuat bandara Changi tetap tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan.

Kedua, mengacu pada pemberitaan media Singapura, kata Hikmahanto, pendelegasian diberikan Indonesia kepada Singapura selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.

“Ini berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan persiapan serius untuk benar-benar mengambil alih FIR diatas Kepulauan Riau. Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu, tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian," kata Hikmahanto.

Situasi tersebut memunculkan pertanyaan apakah Indonesia belum mampu untuk mengelola FIR secara utuh di atas Kepri? Ia pun menyoalkan apa berarti Indonesia butuh 25 tahun agar bisa mengelola FIR tersebut.

“Lalu menjadi pertanyaan di manakah kehormatan (dignity) Indonesia sebagai negara besar bila tidak mampu mengelola FIR di atas wilayah kedaulatannya dan menjamin keselamatan penerbangan berbagai pesawat udara," kata Hikmahanto mempertanyakan.

Himkahanto menambahkan, “Apakah Indonesia rela bila Changi terus berkembang secara komersial karena FIR di atas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura dan tidak Soekarno Hatta?”

Di sisi lain, DPR belum mau bersikap soal FIR yang tidak dikuasai penuh itu. Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono mengaku menunggu penjelasan detail dari Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Udara soal kebijakan tersebut.

“Saya kan baru dengar sepotong itu saja ya, nah ini kita berharap ini besok kan ada rapat dengan Menhan dengan KSAU juga, nanti bisa kita pertanyakan, kita perjelas, dan juga kan nanti kan undang-undang itu kan harus dibahas dengan DPR," kata Dave di Jakarta, Rabu (26/1/2022).

Politikus Partai Golkar itu menambahkan, “Kita bisa bahas secara detail kenapa itu kesepakatan itu hanya di atas 37 ribu, apakah ada alasan, apakah ada perjanjian atau bagaimana, nah hal inilah yang harus dibuka secara detail," tegas Dave.

Sementara itu, anggota DPR Komisi I DPR dari Fraksi PKS Sukamta mengapresiasi hasil penandatanganan nota kesepahaman Indonesia-Singapura. Namun, ia menyoroti informasi soal kewenangan ruang udara yang tidak penuh.

“Saya kira ini sebuah kemajuan, namun demikian kami mendengar dari beberapa pemberitaan yang nantinya dikelola Indonesia pada ketinggian di atas 37.000 kaki. Sementara Singapura masih kelola ketinggian 0 sampai 37.000 kaki. Jika benar seperti ini, berarti sebagian besar kendali penerbangan sipil masih ada di tangan Singapura," kata Sukamta dalam keterangan, Rabu (26/1/2022).

Pria yang juga Wakil Ketua Fraksi PKS ini mengaku akan memonitor soal kerja sama pertahanan dan keamanan di Pulau Bintan. Sebab, ia mendengar kabar Singapura mengajukan latihan perang dengan negara lain.

“Kami mendengar dalam kesepakatan kerja sama Singapura mengajukan hak menggelar latihan tempur di perairan Indonesia dan juga latihan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Tentu ini perlu dicermati terkait potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Juga perlu dikaji dari sisi geostrategi dan geopolitik, mengingat kawasan Laut China Selatan yang terus memanas. Jangan sampai Indonesia terjebak pada kutub konflik yang sedang berlangsung,” kata Sukamta.

Sukamta mengingatkan bahwa ratifikasi RUU perjanjian ekstradisi yang disepakati pada masa SBY tahun 2007 dengan Singapura, pernah gagal karena DPR saat itu menolak paket kerja sama pertahanan keamanan yang dianggap bisa menjadi ancaman kedaulatan Indonesia.

“Apakah yang saat ini DPR akan menolak atau menyetujui ratifikasi perjanjian ekstradisi? Tentu konstelasi politiknya berbeda dengan dulu. Saat ini hampir semua RUU usulan pemerintah diamini dan disetujui DPR. Namun demikian tentu pencermatan atas pasal-pasal perjanjian penting untuk dilakukan, guna memastikan keuntungan bagi Indonesia dan tetap prioritaskan keamanan kedaulatan wilayah Indonesia,” kata Sukamta.

Respons Kemenko Marves

Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi menjelaskan bahwa pokok perjanjian FIR adalah penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia-Singapura sesuai hukum internasional serta kerja sama penyediaan jasa pelayanan penerbangan di wilayah FIR masing-masing negara.

Tujuan utama penandantangan ini adalah menjamin kepastian, keamanan, keselamatan dan efektivitas jasa penerbangan pada wilayah informasi penerbangan kedua negara, kata dia.

“Bagi Indonesia, penyesuaian batas FIR ini juga memiliki makna strategis karena penyesuaian batas FIR Singapura dari batas yang ditetapkan ICAO tahun 1973 ke batas FIR sesuai perjanjian ini turut menunjukan penghormatan Indonesia dan Singapura kepada UNCLOS dan menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia," kata Jodi dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1/2022).

Jodi pun menilai, pemberian ruang ketinggian 0-37 ribu kaki kepada otoritas Singapura tidak berkorelasi dengan kemampuan Indonesia. Ia menegaskan, pembagian wilayah hanya berkaitan keamanan dan keselamatan penerbangan.

“Indonesia sangat siap dan mampu menyelenggarakan jasa pelayanan penerbangan di wilayah FIR yang batasnya telah disepakati," kata Jodi.

Jodi menambahkan, “Indonesia mendelegasikan pelayanan jasa penerbangan kepada Singapura untuk menjaga keselamatan dan efektifitas pelayanan penerbangan yang masuk dan keluar dari Changi Airport dan melalui FIR Indonesia.”

Jodi memandang, skema perjanjian ini dilakukan agar pengawasan lalu lintas udara bisa efektif. Selain itu, kedua negara bisa mengawasi lalu lintas udara dengan baik.

“Melalui skema dalam perjanjian ini, Indonesia mendelegasikan Pelayanan Jasa Penerbangan secara terbatas (di zona dan ketinggian tertentu kepada otoritas Singapura). Hal ini agar pengawas lalu lintas udara di Singapura, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura di ketinggian tertentu,” kata Jodi.

Baca juga artikel terkait KERJA SAMA INDONESIA-SINGAPURA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz