Menuju konten utama

Menyoal Permintaan Galang Dana Publik oleh Prabowo

Pengumpulan dana publik untuk menandingi kekuatan modal dalam proses politik memang sudah lazim di luar negeri. Namun ada sejumlah keterbatasan.

Menyoal Permintaan Galang Dana Publik oleh Prabowo
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menunjukkan jari tangan setelah memberikan hak suara dalam Pilkada Jawa Barat 2018 di TPS 017 Bojong Koneng, Bababakan Madang, Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/6/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto meminta kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memberikan bantuan biaya kepadanya dan Partai Gerindra. Ia menamakan gerakan pengumpulan dana itu dengan sebutan "Galang Perjuangan". Permintaan ini beredar dalam video berdurasi 19 menit di YouTube.

Menurut Prabowo Gerindra butuh dana yang tidak sedikit untuk ikut serta dalam Pemilu. Ongkos demokrasi di Indonesia terlampau besar, sehingga hanya memberi peluang bagi "partai dan konglomerat yang punya modal besar." Hal semacam sempat disampaikan Prabowo dalam beberapa kali kesempatan lain.

Dengan bantuan per orang hanya Rp5 ribu saja, menurut Prabowo, sudah cukup signifikan bagi keberlangsungan partai berlambang garuda ini.

Gerakan iuran dana yang sering disebut crowdfunding terutama secara daring seperti yang dilakukan Gerindra bukan barang baru, dan pernah dilakukan oleh politisi di luar negeri. Bernie Sanders misalnya, seorang sosialis, melakukan itu ketika berkampanye dalam rangka pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat pada 2016.

"Saya akan mengadakan penggalangan dana di sini, sekarang, di seluruh Amerika," katanya di hadapan banyak orang, 9 Februari 2016.

Setelah 18 Jam sejak pengumuman itu, uang yang terkumpul sudah lebih dari US$5,2 juta. Rata-rata, per orang menyumbang sebesar US$34.

Ongkos demokrasi di AS juga besar, dan itu pula yang jadi alasan Sanders melakukan penggalangan dana publik. Di satu sisi, crowdfunding juga ia pilih sebagai perlawanan terhadap banjir uang dari donor yang menginginkan timbal balik ketika si calon yang disumbang menang. Namun Sanders kalah, kandidat yang diusung Demokrat untuk presiden adalah Hillary Clinton, yang akhirnya kalah dari Donald Trump.

Salah satu tokoh politik yang memenangkan pemilu lewat crowdfunding adalah Barack Obama. Dilaporkan New York Times, Obama sukses mengumpulkan hampir US$750 juta, melampaui semua perolehan serupa calon presiden sepanjang masa. Ada US$136 juta ia habiskan dalam periode 16 Oktober sampai 24 November 2016.

Pada konteks lokal, hal ini juga pernah dilakukan beberapa entitas politik. Para pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat melakukan hal serupa pada Pilkada Jakarta, akhir 2016 lalu. Tim pemenangan Ahok-Djarot mengklaim ada 10.385 orang ikut dalam patungan sukarela.

Partai baru yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga melakukan hal serupa. Pada 16 November 2015, mereka mencoba mengumpulkan Rp300 juta untuk acara Kopi Darat Nasional.

Keterbatasan Crowdfunding

Pengumpulan dana publik pada derajat tertentu bisa membantu iklim demokrasi karena meningkatkan keterlibatan para pemilih. Masyarakat yang biasanya hanya turut serta dengan mencoblos di bilik suara, lewat gerakan ini, bisa dapat melakukan lebih banyak. Dengan memberikan kontribusi kepada partai (atau calon individu), mereka jadi punya tanggung jawab lebih untuk melakukan hal positif untuk publik.

Ditarik ke konteks yang lebih luas, crowdfunding bisa jadi semacam alternatif publik dalam membangun lingkungan sendiri. Di London, Inggris, ada 25 proyek berskala kecil yang didanai oleh publik. Proyek yang disepakati anggota dewan ini sukses mengumpulkan uang sebesar 29.907 poundsterling.

Namun, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan gerakan ini pada dasarnya dibatasi oleh identitas sang inisiator. Esensi crowdfunding, adalah agar warga bisa berkolektif melawan kekuatan atau modal besar yang mengintervensi proses politik dengan cara meminggirkan orang-orang biasa.

"Proses crowdfunding ini sudah dilakukan di banyak negara dan merupakan suara masyarakat banyak dalam melawan kepentingan bisnis," katanya kepada Tirto.

Esensi ini tak sejalan apabila ternyata ada orang-orang kuat di belakang tokoh yang menginisiasi atau justru "orang kuat" yang melakukan pengumpulan dana publik. "Sehingga yang harus diperhatikan masyarakat tentu rekam jejak kandidatnya," katanya.

Airlangga berpendapat tokoh politik yang menggagas crowdfunding harus terbebas dari berbagai kepentingan oligarki—dalam pengertian yang luwes merujuk pada segelintir kelompok yang memiliki kuasa atas banyak hal. Ia menyatakan bahwa semangat crowdfunding tidak sesuai apabila tokoh yang bersangkutan malah berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan oligarki. Keterbatasan inilah yang masih jadi celah terhadap inisiatif pengumpulan dana publik oleh Prabowo.

Infografik CI Crowdfunding Tokoh Politik

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengatakan semangat crowdfunding pada dasarnya baik. Namun, untuk konteks Indonesia, dana dari publik "tidak bisa 100 persen menutup dana politik yang besar itu." Donal berpendapat "ongkos demokrasi" di Indonesia bisa semahal itu karena juga dipicu oleh partai.

"Seperti meminta uang kepada kandidat atau yang biasa disebut mahar dalam pencalonan," ujar Donal kepada Tirto.

Donal mengimbau agar partai politik memperbaiki dulu pengelolaan keuangan partainya sebelum melangkah ke aksi crowdfunding. Apabila persoalan dana partai belum beres dari sisi transparansi, Donal menilai dana yang diperoleh dari crowdfunding hanya akan menjadi sumber korupsi baru.

"Kalau partai politik memperbaiki pengelolaannya jadi lebih partisipatif dan transparan, maka kepercayaan akan muncul. Ini membutuhkan proses yang panjang sampai akhirnya masyarakat mau memberikan insentif," ucap Donal.

Wakil Sekretaris Jenderal PSI Satia Chandra Wiguna mengatakan hal serupa meski alasannya berbeda. Menurutnya "crowdfunding saat ini meski membantu sekali tapi belum menjangkau seluruh elemen masyarakat karena ketersediaan akses."

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino