Menuju konten utama

Menyoal Penggunaan Gas Air Mata dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan

Kompolnas akan mengecek soal pemahaman aturan FIFA, apakah diberikan saat pengarahan sebelum pertandingan.

Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk lapangan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/tom.

tirto.id - Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu malam (1/10/2022) mengakibatkan 125 orang tewas dan korban luka-luka mencapai 323 orang. Data ini berdasarkan update terakhir dari Tim Disaster Victim Identification (DVI) yang bertugas mengidentifikasi korban. Sebelumnya sempat dilaporkan korban tewas mencapai 129 orang, bahkan ada yang menyebut 182 orang.

Dua polisi pun dilaporkan tewas dalam kejadian ini. Selain korban jiwa, terdapat 10 mobil dinas kepolisian rusak dan tiga mobil pribadi juga rusak akibat jadi sasaran amuk massa.

Kajadian ini berawal usai laga Arema vs Persebaya yang digelar di Stadion Kanjuruhan. Aremania, sebutan bagi pendukung klub sepak bola Arema, kecewa lantaran dalam laga lanjutan Liga 1 tersebut berakhir dengan skor 2-3. Kekalahan tersebut mencoreng kedigdayaan Singo Edan –julukan Arema-- atas Bajul Ijo, sebab Arema kalah di kandang sendiri untuk kali pertama setelah 23 tahun.

Kekalahan itu diduga menyulut kekesalan suporter Arema –dalam pertandingan 1 Oktober 2022 itu suporter Persebaya tidak boleh hadir ke lapangan tuan rumah karena sanksi—, lantas terjadi kerusuhan di area lapangan.

Polisi yang bertindak sebagai aparat pengamanan pun menembakkan gas air mata ke arah pendukung. Tujuannya hendak membubarkan massa dan mengendalikan situasi agar tak semakin menjadi.

Sontak, penonton berhamburan dan mencari pintu keluar stadion karena gas air mata itu telah membuat mereka sulit bernapas lantaran kekurangan oksigen. Belum lagi mata berair dan pedih. Karena berdesakan pula ada pendukung yang jatuh kemudian terinjak.

Kapolda Jawa Timur, Irjen Polisi Nico Afinta menyatakan, tidak semua suporter turun ke lapangan dan tidak semua melakukan aksi anarkis. Ia pun mengklaim bahwa kepolisian bertindak merespons sikap pendukung.

“Dari 40.000 penonton yang hadir kurang lebih, tidak semuanya anarkis, tidak semuanya kecewa, hanya sebagian yaitu sekitar 3.000-an (pendukung) yang masuk turun ke tengah lapangan, sedangkan yang lain itu tetap diam di atas,” kata Nico pada Minggu, 2 Oktober 2022.

Nico menambahkan, “Kalau memang semuanya mematuhi aturan, kami juga akan melaksanakan juga dengan baik, tapi ada sebab dan akibatnya kami akan menindaklanjuti,” klaim si jenderal bintang dua itu.

Ia sebut, aparat berupaya memitigasi agar tidak ada korban jiwa dalam pertandingan itu. Maka polisi berupaya mencegah agar tidak ada pendukung yang nekat ke lapangan untuk melampiaskan amarah.

“Karena sudah mulai menyerang petugas, sudah mulai merusak mobil dan akhirnya karena gas air mata mereka pergi keluar ke satu titik, ke pintu keluar yaitu pintu 12. Kemudian terjadi penumpukan, di dalam proses penumpukan itulah terjadi sesak napas, kekurangan oksigen, yang oleh tim medis dan tim gabungan dilakukan upaya pertolongan, kemudian juga dilakukan evakuasi ke beberapa rumah sakit,” terang Nico.

Polisi Harus Paham Regulasi Keolahragaan

Merujuk pada Pasal 19 huruf b FIFA Stadium Safety and Security Regulations, senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan. [PDF] Namun, dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan ternyata petugas keagaman masih menggunakan gas air mata tersebut.

Terkait hal itu, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto menyatakan, Presiden Joko Widodo telah mengarahkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo agar mengevaluasi dan menginvestigasi.

“Oleh sebab itu, Kompolnas akan turun ke lapangan untuk supervisi penanganan kasus ini,” kata dia dalam keterangan tertulis, Minggu, 2 Oktober 2022.

Kompolnas akan melakukan supervisi dan evaluasi sejak persiapan pertandingan, antisipasi dan prediksi. Ini juga belajar dari pengalaman sebelumnya perihal pengamanan pertandingan sepak bola; koordinasi dengan pihak terkait; arahan dan standar operasional prosedur kepada anggota Polri; pihak penyelenggara, khususnya soal jumlah karcis yang dijual dan kapasitas stadion.

“Nanti akan kami cek juga soal pemahaman aturan FIFA, apakah diberikan saat pengarahan. Itu semua akan jadi bahan evaluasi,” ujar Benny.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi mengatakan, terdapat lex sportiva dalam dunia olahraga. Itu merupakan asas hukum yakni olahraga memiliki otonomi hukum sendiri yang bersifat mandiri dan independen dalam setiap penyelesaian kasus hukum yang terjadi dalam olahraga, termasuk persepakbolaan Indonesia.

Dalam urusan sepak bola negeri ini, kata dia, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) terikat dengan regulasi FIFA. Fachrizal membandingkan pembubaran suporter dengan massa aksi.

“Dalam regulasi FIFA, tidak boleh menggunakan gas air mata. Karena gas air mata itu digunakan untuk pembubaran demonstrasi dan ada mitigasi bahwa orang-orang itu lari menghindari gas air mata,” ujar dia kepada Tirto,

Fachrizal menambahkan, “Kalau di stadion, suar pun tidak boleh (digunakan) karena mengganggu pandangan, apalagi gas air mata.”

Karena itu, ia mendorong ada pembentukan tim independen untuk mengusut perkara kematian yang disebabkan oleh penembakan gas air mata tersebut. Bahkan polisi bisa dikenakan hukuman. “Bisa Pasal 338 KUHP, bisa Pasal 359 KUHP,” kata dia.

Pasal 338 KUHP bisa diterapkan karena polisi menghilangkan nyawa orang lain dengan sadar kemungkinan. Pasal 338 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

Sedangkan Pasal 359 KUHP menyatakan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

“Dengan dia (polisi) melepaskan gas air mata ke arah tribune, dia (polisi) sadar kemungkinan bahwa orang (pendukung) akan mencari selamat. Polisi harus tahu mitigasi, seharusnya dibuka semua (pintu keluar stadion). Yang perlu didesak adalah siapa aparat yang menembakkan ini? Apakah dia diperintah? Siapa yang memerintahkan? Mitigasi kok jelek banget,” tutur Fachrizal.

Dia menegaskan bahwa korban tewas bukanlah karena bentrokan antarsuporter, tapi karena terinjak-injak dan sesak napas. Dua akibat itu merupakan dampak dari gas air mata yang dilontarkan polisi.

“Sebab dilemparkannya gas air mata, mengakibatkan banyak orang meninggal. Penyebabnya ini harus diusut, apalagi (gas air mata) dilarang oleh FIFA. Harus ada yang bertanggung jawab,” kata dia.

Jika terbukti ada suruhan penembakan gas air mata, kata dia, orang yang menyuruh –dalam hal ini bisa saja komandan kepolisian— maka si atasan itu pun bisa dikenakan Pasal 55 KUHP selain dua pasal yang disebut di atas.

Selain itu, kata Fachrizal, akibat dari kejadian ini korban pun bisa melakukan gugatan perwakilan kelompok (class action), dan panitia pelaksana pun turut diperiksa.

Pernyataan Sekjen PSSI, Yunus Nusi pun menguatkan bahwa insiden di Stadion Kanjuruhan bukanlah perkelahian suporter atau kerusuhan saling memukul. Namun, tragedi tersebut karena pendukung yang berdesak-desakan ingin keluar dari sebuah pintu akibat tembakan gas air mata.

Evaluasi Transparan

Polri akan menindaklanjuti perkara ini dan tidak terburu-buru dalam menyimpulkan kasus gas air mata. “Jadi harus dievaluasi secara menyeluruh dan komprehensif dan nanti hasil evaluasi secara menyeluruh. Sesuai dengan perintah presiden, nanti akan disampaikan,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, Minggu kemarin.

Merujuk kepada hasil identifikasi korban oleh Korps Bhayangkara, Karodokpol Pusdokkes Polri, Brigjen Pol Nyoman Eddy Purnama Wirawan memutakhirkan data terbaru soal korban tewas insiden Kanjuruhan.

Setelah diperbarui, jumlah korban meninggal dunia akibat kejadian itu mencapai 125 orang dan telah teridentifikasi seluruhnya. Bahkan sempat dilaporkan korban tewas ada 129 orang. Namun Nyoman berkata terjadi kesalahan pencatatan oleh jajaran rumah sakit yang menangani para korban; sedangkan korban luka ada 323 orang.

Dua polisi pun tewas dalam kejadian tersebut. Lalu 10 mobil dinas kepolisian rusak dan tiga mobil pribadi juga rusak jadi sasaran amuk pendukung.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun buka suara. Selain meminta presiden memastikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban secara menyeluruh, koalisi ingin kapolri memeriksa aparat yang bertugas di lapangan, bukan soal penembakan gas air mata semata, tapi juga dugaan kekerasan terhadap pendukung.

“Karena jelas ada penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa,” kata Julius Ibrani, salah seorang perwakilan koalisi, Minggu kemarin.

Selain itu, terhadap anggota TNI harus juga diperiksa oleh Panglima TNI mengingat penerjunan anggota untuk mengamankan pertandingan sepak bola jelas bukanlah tugas prajurit TNI, kata Julius.

Selanjutnya, atasan anggota polisi dan TNI yang bertugas di lapangan juga harus dimintai pertanggungjawaban lantaran sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan.

Koalisi pun mengingatkan penyelenggara acara. “Penyelenggara pertandingan sepak bola tidak lagi melibatkan aparat kepolisian dan TNI, serta berhenti menerapkan pendekatan keamanan dalam negeri di dalam stadion, melainkan pengamanan ketertiban umum,” terang Julius.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI KANJURUHAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz