Menuju konten utama
Round Up

Menyoal Pemberian Remisi untuk Djoko Tjandra & Napi Korupsi Lain

Pemberian remisi HUT RI ke-76 untuk Djoko Tjandra dan ratusan napi korupsi lain mendapat sorotan. Sejumlah pihak menilai janggal.

Menyoal Pemberian Remisi untuk Djoko Tjandra & Napi Korupsi Lain
Terdakwa kasus pemberian suap kepada penegak hukum dan pemufakatan jahat Djoko Tjandra menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/4/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

tirto.id - Kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham disorot. Semua berawal ketika narapidana kasus korupsi Joko Soegianto Tjandra alias Djoko Tjandra alias Jokcan mendapat remisi kemerdekaan HUT RI ke-76 dari Ditjen PAS.

"Remisi pertama bagi terpidana Joko Soegianto Tjandra yang memenuhi syarat adalah remisi umum tahun 2021," kata Kepala Bagian Humas Ditjen PAS Rika Aprianti dalam keterangan, Kamis (19/8/2021).

Pemberian remisi Jokcan mengacu pada putusan perkara Jokcan Nomor 12/K/Pid.Sus/2009 pada tanggal 11 Juni 2009. Pemberian hak remisi pun mengacu pada Pasal 34 ayat 3 PP 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Menurut Ditjen PAS, Jokcan sudah menjalani masa pidana 1/3 dari masa pidana per tanggal 28 Maret 2021, sehingga memenuhi syarat Pasal 34 ayat 3 PP 28 tahun 2006 sesuai angka 4, 5 dan 6 PP tersebut.

Namun nama Jokcan ternyata hanya satu dari ratusan koruptor yang menerima remisi HUT RI ke-76. Beberapa nama yang menjadi sorotan adalah eks anggota DPR RI yang juga terpidana kasus suap PLTU Riau Eni Maulani Saragih (4 bulan), eks pejabat Kemendagri sekaligus koruptor kasus e-KTP Irman dan Sugiharto (masing-masing 5 bulan), hingga pengusaha Andi Irfan Jaya yang juga terlibat dalam kasus korupsi Jaksa Pinangki dan Jokcan (1 bulan). Jokcan sendiri mendapat remisi 2 bulan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak keterbukaan informasi dari Kemenkumham tentang pemberian remisi pada napi koruptor. ICW menuntut transparansi alasan pemberian remisi tersebut.

"ICW mendesak Kementerian Hukum dan HAM untuk membuka seluruh nama-nama terpidana korupsi yang mendapatkan remisi umum hari kemerdekaan. Tidak hanya itu, Kemenkumham juga diharapkan dapat mencantumkan secara detail alasan mendapatkan remisi tersebut," kata Kurnia, Jumat (20/8/2021).

Menurut Kurnia, publik berhak tahu alasan detail napi koruptor menerima remisi. Sebagai contoh, publik berhak tahu kapan terpidana mendapatkan status Justice Collaborator. Kurnia beranggapan bahwa informasi tentang remisi adalah informasi yang dikecualikan berdasarkan Undang-Undang Informasi Publik.

Kurnia menilai, keterbukaan informasi penting karena ada beberapa nama yang menjadi sorotan, tetapi mendapat remisi umum. Ia mencontohkan nama Eni Maulani Saragih dan Andi Irfan Jaya. Kedua nama itu tidak mendapatkan status Justice Collaborator, sementara Pasal 34A ayat 1 PP 99 tahun 2012 mewajibkan napi korupsi mendapatkan status Justice Collaborator untuk mendapatkan remisi.

Kurnia mengatakan, kasus pemberian remisi untuk Jokcan juga janggal. Sebab, buronan yang telah melarikan diri hingga 11 tahun malah mendapat akses pengurangan masa pidana. Ia mengingatkan syarat mendapat remisi dalam PP 28/2006 tidak hanya sudah menjalani 1/3 hukuman, tetapi juga harus berkelakuan baik.

"Pertanyaan lanjutan apakah seseorang yang melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman dianggap sebagai berkelakuan baik oleh Kemenkumham?" kata Kurnia mempertanyakan.

Ahli hukum dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berpendapat remisi memang perlu diberikan kepada para narapidana, apalagi situasi lapas kini penuh. Akan tetapi, pemberian remisi tidak berarti dengan modus diobral dengan mencari-cari alasan.

"Saya sepakat dengan program remisi untuk mengurangi pidana, tetapi tidak kemudian remisi ini diobral, diberikan kepada siapapun asal memenuhi syarat formal, kalau gak memenuhi syarat formal dicarikan alasannya dengan pasal yang lain," kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Jumat (20/8/2021).

Ia lantas mengingatkan, pembentukan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan gagasan Menteri Kehakiman Saharjo yang ingin agar para narapidana kembali ke masyarakat. Akan tetapi, mereka yang kembali ke masyarakat harus melewati syarat tertentu untuk bisa dikategorikan baik dan diterima publik sesuai ketentuan perundang-undangan.

Fachrizal menjelaskan, pemberian remisi mengacu pada PP 28 tahun 2006 yang kemudian diubah dengan PP 99 tahun 2012. Pada PP 99 tahun 2012, pemerintah menetapkan syarat remisi untuk napi korupsi sesuai Pasal 34A. Kemudian, syarat tersebut diperkuat di Pasal 12 Permenkumham Nomor 3 tahun 2018 yang kemudian diubah dengan Permenkumham 18 tahun 2019.

Menurut Fachrizal, pemberian remisi dengan dalih waktu seperti Jokcan seharusnya tidak langsung selesai. Ia mengingatkan, syarat tidak hanya masa hukuman tertentu, tetapi juga harus memenuhi syarat lain bahwa harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana.

Koruptor harus membuka otak aktor perkara korupsi dalam kasusnya atau membuka peran koruptor lain. Dalam poin peran membuka koruptor lain, apabila mengacu pada Permenkumham Nomor 3 tahun 2018, adalah harus dari persetujuan penegak hukum, bukan berbasis pada putusan hakim tentang Justice Collaborator.

"JC itu ada yang untuk pengurangan hukuman. Itu harus hakim. Lah kalau di sini tulisannya JC itu oleh aparat penegak hukum, instansi penegak hukum," kata Fachrizal.

Kemudian, napi koruptor harus melengkapi syarat lain di luar surat persetujuan penegak hukum bahwa mau bekerja sama seperti syarat sudah lunas membayar denda, melampirkan kutipan putusan pengadilan serta syarat lain sesuai Permenkumham Nomor 3 tahun 2018.

Dalam kasus Jokcan, Fachrizal menganggap pemberian remisinya janggal. Ia beralasan, Kemenkumham justru menghitung dari saat Jokcan kabur dari proses hukum pada 2009. Seharusnya, kata Fachrizal, negara memperhitungkan momen Jokcan kabur sebagai sebuah perbuatan yang tidak baik sesuai amanah PP 28 tahun 2006.

"Kalau logikanya Kemenkumham ngasih berlaku surut seharusnya pas dia kabur juga dihitung apakah dia kabur adalah itikad baik dan bentuk dari kelakuan baik," kata Fachrizal.

Ia menambahkan, "Artinya dari perspektif PP yang lama pun juga dipertanyakan kebijakan ini apakah seorang buronan, orang yang menghindari hukuman itu bisa dikategorikan orang berkelakuan baik?"

Oleh karena itu, Fachrizal beranggapan Ditjen PAS perlu membuka informasi secara transparan dalam pemberian remisi. Ia mengingatkan, hukum korupsi adalah bagian dari hukum publik. Publik berhak tahu keputusan remisi karena berkaitan dengan kepentingan publik.

Ia mengingatkan, penerima remisi tidak hanya koruptor, tetapi pembunuh hingga pemerkosa. Publik berhak waspada tentang kehadiran para napi tersebut di masyarakat.

Ia lantas mencontohkan bagaimana di beberapa negara seperti Amerika dan Belanda mengumumkan eks napi ketika keluar dari pemasyarakatan lewat media sebagai ajang peringatan. Di Indonesia, publik sudah pernah resah karena khawatir beredarnya penjahat di publik beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, transparansi soal remisi juga perlu dibuka ke publik.

"Jadi masyarakat berhak tahu dikasih remisi. Orang punya hak karena ini hukum publik dan kaitan dengan pengembalian di masyarakat," kata Fachrizal.

Fachrizal menegaskan hak masyarakat untuk tahu apakah menjamin napi tersebut tidak melakukan perbuatannya saat kembali ke masyarakat. "Dalam konteks remisi yang miss di situ. Tidak sekadar bersih-bersih lapas karena COVID," kata Fachrizal.

Baca juga artikel terkait REMISI DJOKO TJANDRA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz