Menuju konten utama

Menyoal Logika Salah Kaprah Polisi Terpapar Narkoba Direhabilitasi

Evaluasi sistem kepolisian perlu didorong terkait temuan 136 anggota polisi yang menjadi pecandu narkoba, bukan hanya soal direhabilitasi.

Menyoal Logika Salah Kaprah Polisi Terpapar Narkoba Direhabilitasi
Ilustrasi narkoba. foto/isotckphoto

tirto.id - Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) mengapresiasi langkah kepolisian yang berupaya membina anggota kepolisian yang terlibat penyalahgunaan narkoba. Hal itu dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri yang menempatkan 136 anggota kepolisian ke korps Brimob untuk menjalani pembinaan dan pemulihan.

Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto menilai bahwa anggota yang terlibat narkoba tidak serta-merta harus dipecat. Ia justru menilai bahwa anggota juga harus mendapat pembinaan seperti masyarakat saat tersandung narkotika.

"Perlu diketahui bahwa para penyalahguna narkoba seharusnya dilihat sebagai masalah kesehatan, artinya orang sakit yang perlu ditangani, direhabilitasi dan dipulihkan. Ini berlaku tidak hanya untuk anggota Polri, tetapi juga terhadap masyarakat yang jadi korban penyalahgunaan narkoba," kata Benny, Senin (16/5/2022).

Benny pun menilai pemecatan anggota Polri karena kasus narkoba bukan solusi. Ia beralasan, pemecatan justru akan memicu ancaman baru dalam upaya pemberantasan narkoba karena mereka berpotensi menjadi gembong narkoba yang paham cara kerja kepolisian.

"Bayangkan kalau ratusan anggota yang terlibat penyalahgunaan narkoba kemudian hanya dipecat, maka mereka akan terus mengonsumsi narkoba dan mereka akan direkrut sindikat narkoba. Ini akan menjadi ancaman baru karena mereka sudah terlatih. Di sisi lain, negara sangat rugi untuk merekrut dan mencetak mereka menjadi polisi. Biayanya besar," tegas Benny.

Ia pun menyebut metode pembinaan bukan kali pertama dilakukan kepolisian. Polda Riau saat dipimpin Irjen Pol Agung Setia Imam, polisi yang terlibat penyalahgunaan narkoba menjalani pembinaan selama 3 bulan di satuan Brimob Polda Riau. Hasil pembinaan, kata Benny, disebut sukses dan ditinjau oleh Kompolnas.

"Kompolnas pernah meninjau langsung program tersebut dan memberikan apresiasi kepada Kapolda Riau atas prakarsanya," kata Benny.

Sayang, gagasan tersebut tidak disetujui oleh sejumlah pemerhati hukum dan kepolisian. Pemerhati kepolisian ISESS Bambang Rukminto mengakui gagasan tersebut baik karena mengembalikan polisi yang menyalahgunakan narkoba akan membuat para polisi yang dibina untuk menjalani latihan dasar kembali.

"Tapi yang lebih penting sebenarnya adalah mengubah mindset anggota kepolisian itu sendiri terkait tugas pokok dan fungsinya. Apakah di satlat ini nantinya mampu untuk mengubah mindset kawan-kawan polisi yang sudah terlibat narkoba itu masih tanda tanya karena Brimob sendiri tentu juga mempunyai beban terkait dengan penyalahgunaan narkoba ini untuk anggota-anggotanya," kata Bambang, Selasa (17/5/2022).

Bambang juga menegaskan, aksi pemberian pelatihan justru membuktikan bahwa ada upaya lepas tangan dari Propam Polri maupun satuan lain dalam penanganan narkoba. Mereka melempar ke Brimob sementara Brimob juga punya masalah dalam membentengi dari narkoba.

Ia menilai perlu ada evaluasi siapa yang berhak menerima perlakuan tersebut. Ia mencontohkan, perlu ada kriteria apakah polisi tersebut berhubungan dengan narkoba atau berkaitan dengan pekerjaan dalam pengungkapan kasus narkoba.

Jika tidak masuk kategori berkaitan penanganan perkara narkoba, penindakan harus berdasarkan proses hukum, apalagi polisi tersebut sudah terlibat dalam jaringan atau sindikat peredaran narkoba.

Bambang beranggapan, penerapan sanksi etik tetap harus berjalan ke semua anggota meski hanya memakai narkoba coba-coba atau terpapar saat bertugas. Ia pun menilai hukuman pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) tetap penting untuk dilakukan, terutama bagi polisi yang menjadi pengguna narkoba.

Bambang pun menilai logika menyelamatkan ratusan polisi sebagaimana disampaikan Benny dengan dalih biaya dan mencegah gembong tidak bisa dibenarkan. Ia menegaskan, "Kalau memang sudah terlalu jauh ya mau tidak mau harus dikeluarkan. 1.000 orang dikeluarkan tidak akan mengganggu kinerja kepolisian untuk memberantas narkoba. Apa gunanya mempertahankan 1.000 orang kalau mereka di dalam ternyata terlibat narkoba terus-menerus?"

Oleh karena itu, Bambang mendorong agar evaluasi menyeluruh dalam keterlibatan anggota pada kasus narkoba. Ia juga meminta agar penindakan kasus narkoba anggota Polri setara dengan perlakuan kepada publik. Sebab, kata Bambang, tidak sedikit kasus narkoba ditangani serius kepolisian, tetapi terkesan 'lembek' pada anggotanya.

"Artinya pembinaan sebelum terlibat narkoba dan itu dilakukan satuan-satuan masing-masing, bukan Propam. Kalau sudah masuk Propam artinya sudah ada tindakan, bukan pembinaan lagi," tutur Bambang.

"Di sini saya melihatnya Propam seolah cuci tangan sebagai lembaga penegak hukum, penegak disiplin dan aturan di internal ini seolah-olah cuci tangan dengan menyerahkan ke Satlat Brimob padahal Brimob sendiri punya beban dengan anggotanya yang mungkin juga melakukan pelanggaran-pelanggaran," tegas Bambang.

Sementara itu, peneliti ICJR Maidina Rahmawati justru menilai pernyataan Kompolnas membenarkan aksi masyarakat sipil bahwa perlu ada intervensi kesehatan bagi pengguna narkotika. Maka, kata MAidina, kebijakan tersebut harus berlaku secara umum dan tidak hanya polisi saja. Ia mengingatkan bahwa kondisi penanganan narkoba Indonesia sudah carut-marut dan kebijakan kepolisian harus diikuti dengan langkah publik.

"Kalau misalnya polisi sekarang kebijakannya begitu, maka ke depannya siapapun pengguna narkoba harus dijamin hak kesehatannya. Langsung buat semua orang begitu kebijakannya," tegas Maidina, Selasa (17/5/2022).

Maidina menilai bahwa kebijakan narkotika berantakan karena banyak orang dipenjara akibat narkoba. Namun, pemenjaraan justru memicu kemunculan pasar gelap narkoba jika polisi tersebut ditindak. "Makanya ini cambuk untuk memperbaiki kebijakan narkotika," tegas Maidina.

Menyoal logika polisi terlibat narkoba direhabilitasi

Ahli hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi juga menilai bahwa polisi tidak bisa sembarangan menentukan bahwa polisi yang terlibat narkoba langsung direhabilitasi. Ia paham bahwa polisi berpotensi terpapar ketika bekerja dalam upaya penegakan pemberantasan narkoba. Namun, polisi tersebut tetap berpotensi melakukan aksi-aksi pembelian ilegal hingga akhirnya menjadi pengguna atau pengedar.

Di sisi lain, Propam tidak bisa langsung menetapkan seseorang layak rehabilitasi atau tidak. Kewenangan tersebut ada pada pengadilan. Pihak pengadilan akan menentukan apakah polisi tersebut layak atau tidak untuk dihukum. Hal ini juga tidak lepas dari prinsip keadilan di mata hukum, apalagi pelakunya adalah penegak hukum yang seharusnya menegakkan aturan.

"Propam itu masalah disiplin. Ini kan pidana. Pidana ya serse. Harusnya kalau pakai asas equality before the law, persamaan di depan hukum, ya dia diproses. Propam jalan, proses pidana jalan. Perkara hakim putus rehab itu urusan lain," tegas Afandi kepada Tirto.

Afandi menegaskan penegakan hukum penting agar masyarakat bisa belajar hukum tentang penanganan narkoba. Publik bisa paham mana polisi yang layak untuk direhabilitasi dan tidak. Ia menilai belajar dari proses hukum penting, apalagi pengadilan punya asas terbuka untuk umum.

"Kalau begini kan serba abu-abu, gray area, tertutup, diputuskan sendiri Propam Kompolnas. Padahal Kompolnas itu tugasnya mensupervisi dan mengawasi bukan menstampel kegiatan polisi," tegas Afandi.

Ia juga menilai langkah dan logika Kompolnas tidak masuk akal. Ia menilai Kompolnas seharusnya justru menjadikan temuan 136 anggota yang terpapar narkoba menjadi pemicu untuk memeriksa lebih lanjut akar masalah peredaran narkoba di kepolisian, bukan melegalkan kegiatan rehabilitasi polisi.

"Seharusnya Pak Benny sebagai Kompolnas bukan malah mendorong rehabilitasi, yang didorong adalah evaluasi kenapa ada 136 anggota polisi yang menjadi pecandu narkotika. Apa yang salah dengan sistem kepolisian. Kan itu harusnya, tidak ke rehab," tutur Afandi.

"Kalau sudah 100 lebih itu bukan oknum lagi, itu sudah sistemik, ada masalah dengan sistemnya, Kita tidak bisa menyalahkan 'oh ini masalah individu-individu, kurang taqwa, tidak berintegritas.' Oh ya mungkin, tapi kalau sampai 130 orang kan ada masalah di situ apakah pengawasan kurang atau prosedur seperti apa, harusnya Kompolnas melakukan riset, penelitian atau eksaminasi," tegas Afandi.

Baca juga artikel terkait PEMBERANTASAN NARKOBA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri