Menuju konten utama

Menyoal Kadar "Sopan" yang Kerap Jadi Alasan Meringankan Hukuman

Hakim dibolehkan menggunakan alasan sopan sebagai pertimbangan. Namun yang dipersoalkan  kadar kesopanan yang dijadikan acuan.

Menyoal Kadar
Terdakwa kasus pelanggaran prokes kekarantinaan kesehatan Rachel Vennya (keempat kanan) dan Salim Nauderer (kedua kanan) menjalani sidang acara pidana singkat di Pengadilan Negeri Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (10/12/2021). ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

tirto.id - Dunia peradilan kembali mendapat sorotan. Hal ini tidak terlepas dari sejumlah perkara yang mendapat perhatian publik lantaran vonis yang terkesan meringankan terdakwa dengan alasan “sopan dalam persidangan.” Namun, kadar “kesopanan” ini kerap tidak jelas dan dinilai cendrung mengabaikan keadilan.

Sorotan ini berawal ketika publik menyoal vonis selebritas Rachel Vennya yang kabur dari masa karantina. Rachel divonis 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan. Ia didenda Rp50 juta karena melanggar aturan kekarantinaan kesehatan. Padahal, Rachel menyuap seorang protokol bandara sebesar Rp40 juta agar tidak dikarantina di Wisma Atlet sepulang dari Amerika Serikat.

Selain Rachel, ada juga mantan kekasih Laura Anna, Gaga Muhammad. Ia dituntut 4,5 tahun penjara dan denda Rp10 juta. Menurut JPU, hal yang meringankan tuntutan pada terdakwa adalah bersikap “sopan” di persidangan, menyadari, menyesali perbuatannya, dan belum pernah dihukum kasus pidan lain.

Dalam catatan Tirto, penggunaan pertimbangan “sopan” dalam persidangan menjadi hal yang meringankan hukuman tidak hanya baru-baru ini. Dalam kasus korupsi, tidak sedikit koruptor mendapatkan pertimbangan meringankan karena berlaku sopan dalam persidangan. Sebut saja eks Ketua DPR Setya Novanto.

Pada tingkat pertama, vonis Novanto adalah 15 tahun penjara serta denda sebesar Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim yang berasal dari PN Jakarta Pusat pun memvonis pidana pengganti kepada Novanto berupa pengembalian kerugian negara sebesar 7,3 juta dolar AS dikurangi uang pengganti Novanto sebesar Rp5 miliar. Ia pun dikenakan hukuman pencabutan hak politik selama 5 tahun.

Namun hukuman Novanto lebih rendah daripada tuntutan JPU yang menuntut 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar. Dalam pertimbangan hakim, mereka menggunakan alasan “sopan” dalam persidangan sebagai hal yang meringankan vonis Novanto.

Selain Novanto, vonis ringan dengan alasan “sopan” dalam persidangan adalah eks Mensos Juliari Batubara dalam korupsi dana bantuan COVID. Hukuman 12 tahun serta denda Rp500 juta subsider 6 bulan itu dinilai ringan karena majelis hakim memandang Juliari kooperatif dan mendapat perundungan di media sosial. Padahal hukuman korupsi bansos bisa lebih tinggi daripada 12 tahun penjara meski tuntutan JPU hanya 11 tahun penjara.

Kemudian ada juga kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari. Meski putusan Pinangki diberatkan majelis hakim di pengadilan tingkat pertama, nyatanya putusan tersebut dibanding dan akhirnya lebih rendah. Putusan banding tersebut kemudian ramai-ramai dikritik publik.

Alasan Sopan, tapi Tak Mencerminkan Keadilan

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana mengakui, banyak putusan yang menggunakan alasan perilaku “sopan” untuk mengurangi hukuman. Namun ia menyoalkan tidak sedikit putusan yang justru ringan dan tidak mencerminkan keadilan dalam proses peradilan.

“Kalau kita melihat, memang banyak putusan menyebutkan perlakuan sopan dalam sebagai dasar peringan, tetapi yang perlu diuji, apakah memang benar alasan tersebut menjadi peringan. Karena itu hampir banyak ditemukan putusan-putusan lain. Jadi semacam kebiasaan juga,” kata Dio kepada reporter Tirto, Senin (10/1/2022).

Dio beranggapan, Mahkamah Agung (MA) perlu membuat sebuah pedoman pemidanaan yang jelas soal indikator meringankan dan memberatkan. Ia mencontohkan bagaimana Tindak Pidana Korupsi punya pedoman pelaksanaan Pasal 2 dan Pasal 3 yang dikeluarkan MA. Hal itu berguna untuk menentukan rentang masa pidana dan memiliki indikator jelas dalam pemidanaan.

Bagi Dio, pemidanaan tidak perlu menggunakan alasan “sopan” untuk menentukan hukuman. Ia beralasan, sopan adalah sikap yang memang harus ada dalam proses peradilan. Kalau pun ada regulasi, hal tersebut mengatur penentuan pemberatan hukuman atau peringan hukuman, bukan soal kapan pakai alasan sopan atau tidak.

“Tapi lagi-lagi, karena ini kebiasaan, MA perlu membuat regulasi pedoman pemidanaan. Agar para hakim mempunyai rujukan yang jelas ketika menentukan faktor memperberat dan faktor memperingan putusan," kata Dio.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Napitupulu memandang hakim sah dan dibolehkan menggunakan alasan sopan sebagai pertimbangan hukum. Namun ia menyoalkan kadar kesopanan yang dijadikan acuan sebagai pertimbangan hukum.

“Berperilaku sopan di persidangan itu sebenarnya kewajiban, tapi kadar sopan yang dimaksud dalam persidangan itu adalah ketika dia tidak mengganggu jalannya persidangan karena sebenarnya kalau dalam arti sopan dia marah segala macam ya fine," kata Erasmus kepada Tirto, Senin (10/1/2022).

Erasmus menerangkan, Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP memberikan wewenang hakim untuk menjatuhkan putusan dan menimbang hal yang bisa memberatkan dan meringankan hukuman. Faktor tersebut penting untuk menentukan besaran hukuman secara adil. Akan tetapi, pasal itu tidak mengatur jelas definisi pemberian “alasan sopan” sebagai pertimbangan meringankan hukuman terdakwa.

“Problemnya adalah KUHAP tidak menjelaskan apakah keadaan itu keadaan batin, keadaan perilaku atau keadaan pada saat tindak pidana dilakukan karena sebenarnya di dalam pasal pidana yang lain itu bagian dari pemeriksaan unsur pidana. Jadi kayak misalnya keadaan guncangan jiwa dan lain-lain itu bagian dari unsur mens rea, jadi ada bagian unsur niat," kata Erasmus.

Ia mencontohkan kasus nenek Minah, petani perempuan renta yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah yang divonis 1 bulan 15 hari dan masa percobaan 3 bulan hanya karena mencuri 3 biji kakao. Minah tetap dinyatakan bersalah dan melanggar Pasal 362 KUHP.

Contoh lain adalah pemidanaan terhadap orang yang mencuri mobil di saat bencana alam demi menyelamatkan diri. Secara hukum, hal tersebut digolongkan mencuri, tetapi hakim akan menilai lebih lanjut tingkat hukuman yang layak sebab pelaku mencuri demi menyelamatkan diri.

Oleh karena itu, Erasmus memandang ketentuan “sopan” sudah menjadi kewajiban semua pihak dan tidak perlu dimasukkan dalam vonis. Ia menegaskan bahwa penjatuhan hukuman adalah ranah hakim, tetapi penggunaan alasan meringankan atau memberatkan harus sesuai Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP dan hal yang meringankan maupun memberatkan melihat pada keadaan pidana, bukan pada proses persidangan yang diikuti terdakwa.

“Jadi itu berat ringan putusan itu memang jadi pertimbangan hakim, tetapi yang dimaksud meringankan dan memperberat kalau saya melihat Pasal 197 ayat 1 huruf f harusnya dalam konteks keadaan, keadaan saat perbuatan dilakukan, bukan di ruang sidang," kata Erasmus.

Erasmus menambahkan, “Bahwa kemudian di ruang sidang hakim merasa dia tidak mempersulit segala macam dan lain-lain silakan saja, tapi harusnya tidak signifikan mempengaruhi putusan. Masalahnya kita nggak tahu sesignifikan apa hakim membuat putusan?”

Mengapa “Kesopanan” Tak Perlu Jadi Alasan Meringankan?

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengakui bahwa hal meringankan dan memberatkan memang diatur sebagai ketentuan dalam penjatuhan hukuman. Hal tersebut diatur sesuai Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP.

Namun Hibnu memandang penggunaan “alasan sopan” sebagai pertimbangan hukuman tidak signifikan dan bersifat subjektif.

“Kalau sopan itu hal yang wajar, jadi bukan suatu pertimbangan yang ansih, bukan pertimbangan murni poin, yang meringankan kalau membantu penegak hukum, meringankan, menginformasikan dan sebagainya seperti saksi meringankan,” kata Hibnu kepada reporter Tirto.

Hibnu mengatakan, “Saya kira itu subjektif sekali, nggak ada kriterianya. Semua tergantung hakimnya kalau soal pertimbangan meringankan itu terkait dengan kesopanan. Jadi memang itu nggak ada suatu Batasan.”

Hibnu memandang, kesopanan wajib dilakukan semua pihak yang diperiksa dan hal tersebut tidak perlu dijadikan pertimbangan. Jika dimasukkan, hal tersebut sangat subjektif dalam tataran normatif dan formal. "Sehingga kalau tataran subjektif akhirnya menjadi sesuatu yang tidak objektif karena terlalu mempertimbangkan subjektif tadi. Ini jadi masalah," kata Hibnu.

Oleh karena itu, Hibnu mendorong agar alasan kesopanan tidak lagi digunakan dalam vonis. Ia beralasan, "Saya kira tidak hanya di persidangan, di mana pun, tapi bukan menjadi satu poin yang memberi nilai tersendiri. Saya kira itu suatu yang berlebihan kalau seperti itu," kata Hibnu.

Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting mengatakan, KY pun memonitor soal penggunaan alasan pertimbangan hukum “sopan” sebagai upaya meringankan hukuman. Tapi ia tidak bisa merinci jumlah putusan yang dipersoalkan publik dengan menggunakan alasan sopan itu.

“Kalau memonitor, pasti memonitor. Pertama, keadaan meringankan dan memberatkan itu diatur di Pasal 197 KUHAP. Kalau tidak dicantumkan, maka syarat formil putusan tidak terpenuhi dan berakibat putusan batal demi hukum," kata Miko, Senin (10/1/2022).

Miko mengakui bahwa alasan sopan harus diatur secara spesifik, terutama alasan meringankan dan memberatkan. Ia beralasan “alasan sopan” tidak bisa dijadikan pembenaran karena sopan adalah hal wajib oleh semua insan peradilan.

“Kalau alasan meringankan termasuk bertingkah laku sopan di persidangan, bukankah memang semua pihak wajib bertingkah laku sopan di hadapan persidangan? Jadi, memang perlu diperinci dalam konteks perubahan regulasi," kata Miko.

Namun, kata dia, KY tidak bisa mengubah aturan karena wewenang perubahan KUHAP ada pada pemerintah dan DPR. Akan tetapi, KY selalu terbuka dan proaktif dalam upaya independensi peradilan.

“Kalau dengan MA, isu ini bisa jadi bahan pembahasan di Tim Penghubung KY-MA ke depan. Sekalipun ini isu regulasi yang tidak mengatur secara spesifik dan alasan berlaku sopan itu lazim ditemukan di hampir semua putusan pengadilan, tidak hanya perkara-perkara tertentu," kata Miko.

Baca juga artikel terkait VONIS HAKIM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz