Menuju konten utama
Seri Laporan ke-III

Menyibak Sebab Tingginya Penularan HIV pada Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga juga dapat mengidap HIV. Angkanya besar akibat dari pengotak-ngotakkan pengidap HIV berdasarkan pekerjaan.

Menyibak Sebab Tingginya Penularan HIV pada Ibu Rumah Tangga
Ilustrasi kepedulian terhadap HIV/AIDS. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Suksma Ratri (44) tertular HIV dari mantan suaminya pada 2006, ketika mereka telah berpisah. Waktu itu Ratri mendapat kabar kalau pada tubuh mantan suaminya itu ditemukan virus HIV.

“Gue langsung disuruh cek, anak gue yang saat itu baru umur sekitar dua tahun pun disuruh cek. Hasilnya gue positif, anak gue negatif,” kata Ratri saat ditemui di salah satu kafe di Jakarta Selatan, Kamis (5/12/2019) malam.

“Gue emang tahu banget, mantan suami gue dulu suka nyuntik dan ganti-gantian pakai jarum suntiknya.”

Kisah lain datang dari Mira (40), bukan nama sebenarnya. Ia tahu sedang hidup dengan virus HIV saat tengah hamil. Saat itu, usia kandungannya empat bulan.

“Waktu itu ketahuan karena [suami] divisum saat lagi sakit. Dari situ, baru ketahuan kalau dia punya HIV. Baru saya periksa darah, ternyata tertular. Tapi waktu itu saya belum mengalami dampaknya, jadi harus cepat-cepat pakai obat supaya menekan si virus,” ujarnya kepada reporter Tirto di kawasan Jakarta Utara, Sabtu (30/11/2019).

Tahun 2009 menjadi tahun yang berat bagi Mira. Suaminya meninggal akibat HIV, serta berbagai penyakit yang menyusul kemudian, tanpa penanganan yang tepat.

Ia merasa sedih sekaligus marah karena tak tahu suaminya itu HIV. “Saya juga, kan, dijodohin sama dia. Malah nambah beban saya aja,” katanya.

Kondisi Mira semakin berat karena bayinya ternyata juga tertular. Bayinya terus sakit-sakitan sejak berumur satu bulan dan sempat dirawat di ICU.

“Dokter menyarankan untuk kontrol beberapa kali dalam waktu satu bulan karena kakinya mengalami kelainan. Jadi kami kaget selaku orangtua. Mana waktu itu, suami saya sudah meninggal,” katanya.

Mira baru dapat merawat sang bayi dengan tenang selepas mendapatkan informasi terkait HIV. Mira merasa tak pernah mendapatkannya secara utuh dari petugas medis yang menangani dia serta anaknya.

Ia bahkan punya pengalaman buruk dengan petugas medis. Saat itu seorang dokter menyarankan si bayi menghentikan antiretroviral (ARV) secara rutin. ARV adalah obat yang dapat menekan--bukan menghilangkan--virus HIV dalam tubuh seseorang.

Mira mengikuti anjuran sang dokter. “[Saat itu] tidak tahu kalau obat itu tak boleh diberhentikan.”

Akibatnya fatal. Setelah enam hari tak mengonsumsi ARV, si bayi “kulitnya hancur, keluar darah, kukunya copot.”

“Saya akhirnya kembali ke dokter itu. Eh, dokter itu cuma minta maaf,” lanjutnya.

Ia sempat mau menuntut dokter tersebut. Namun orangtua Mira menyarankan untuk tak melakukannya karena khawatir tak ada dokter lagi yang mau menangani sang bayi.

Selepas itu, dosis obat ARV untuk bayi Mira dinaikkan. “Jadi dosisnya dewasa, karena virusnya itu enggak mempan dikasih yang dosis anak-anak.”

Ratri dan Mira hanya dua dari belasan ribu ibu rumah tangga (IRT) pengidap HIV positif di Indonesia.

Menurut UNAIDS dan Kemenkes, di semester awal 2019, ada 16.844 IRT yang positif AIDS di Indonesia. Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan profesi lainnya. Ia bahkan lebih tinggi ketimbang pekerja seks yang 'akrab' dengan stigma pengidap HIV, yakni 3.499 orang.

Kemudian, jumlah anak berusia 0 hingga 14 tahun yang positif HIV, berdasarkan data Kemenkes, adalah 10.642. Sementara menurut UNAIDS, ada 3.000 kasus HIV baru pada anak setiap tahunnya.

Menurut laporan UNAIDS, penularan HIV dari ibu ke anak umumnya terjadi pada tiga tahapan: ketika masih dalam janin, saat melahirkan, atau ketika menyusui.

Sebagai catatan, angka-angka tersebut diperoleh dari jumlah orang yang telah mengakses layanan kesehatan. Dengan demikian, mungkin saja jumlah ibu dan anak yang positif HIV lebih banyak dari itu.

Berdasarkan data Kemenkes (1987-2019), faktor penyebaran HIV terbanyak di Indonesia adalah hubungan seksual berisiko kelompok heteroseksual, yakni sebesar 70,2 persen.

Stigma dan Dampak

Menurut Ratri, sekarang masyarakat lebih dapat menerima orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dibanding belasan tahun lalu, saat dia pertama kali tahu mengidap HIV. Hal ini karena upaya para pegiatnya untuk memberikan pemahaman terus-menerus kepada masyarakat.

Namun itu belum cukup, katanya. Saat ini yang jadi permasalahan adalah masih kentalnya pandangan mengotak-ngotakkan para pengidap HIV berdasarkan jenis pekerjaan atau perilaku tertentu.

“Sekarang, masyarakat masih menciptakan stigma HIV terhadap kelompok tertentu saja, kayak LGBT dan PSK (pekerja seks komersial). Lha, gue apa?” ujarnya sembari tertawa kepada saya.

Pengelompokkan tersebut tidak masalah sepanjang hanya untuk kebutuhan data/statistik. Masalah baru muncul ketika hanya kelompok tertentu saja yang diprioritaskan mengikuti program-program terkait HIV.

“HIV bisa mengintai siapa saja,” kata Ratri. “Makanya, pengetahuan soal HIV perlu untuk terus disebarluaskan, supaya enggak semakin tinggi. Jangan dibatas-batasi hanya untuk kelompok tertentu.”

Lebih dalam dari itu, menurut Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi (LAP), nama untuk program pendampingan anak yang terdampak HIV dan AIDS di DKI Jakarta, Natasya Sitorus, pengkotak-kotakan tersebut turut berkontribusi terhadap penularan HIV ke ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang tak diprioritaskan dalam program pencegahan/penanggulangan HIV membuat mereka tak punya pengetahuan soal penyakit ini.

“Pelanggan pekerja seks dan ibu rumah tangga tidak menjadi target. Pemerintah luput. Programnya masih fokus ke pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan LGBT,” kata Natasya kepada reporter Tirto di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2019).

Angka penularan HIV pada pekerja seks lebih kecil, Natasya menegaskan, lantaran kelompok tersebut sudah terinformasi dengan baik. Mereka, misalnya, sudah tahu betul bahwa untuk mencegah HIV, perlu kondom saat berhubungan seks.

“Pekerja seks sudah mencegah agar ia tidak tertular dan tidak menularkan, tapi laki-laki yang bermain dengan pekerja seks tidak,” kata Natasya.

Di sisi lain, Ketua Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (KSIMSI) Hanny Nilasari menyampaikan salah satu hambatan mencegah penularan HIV ke ibu rumah tangga ada pada pasangan mereka. Menurutnya saat ini pasangan si ibu rumah tangga kerap dengan sengaja tidak memberitahu kalau dia terkena HIV--atau menurut Hanny, memberi mereka 'notifikasi'.

“Kami menemukan kasus infeksi menular seksual, tentunya kami menyampaikan bapak atau ibu harus menyampaikan kepada pasangan, kemudian pasangannya diajak berobat. Nah, itu yang sulit terjadi," jelas Hanny, Rabu (27/11/2019).

Memang bisa saja si perempuan yang menularkan virus itu ke laki-laki dan tak memberitahu pasangannya, dalam konteks rumah tangga. Tapi menurut Hanny lebih banyak laki-laki yang melakukan itu.

“Itulah mengapa angka ibu-ibu (terinfeksi HIV) menjadi tinggi. Pasangannya tak mau menyampaikan bahwa dirinya berisiko secara seksual, belum lagi jika ia tak memakai kondom, jadi infeksinya masuk,” lanjutnya.

Langkah Minim Kemenkes

Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono mengatakan instansinya biasanya melakukan tes HIV ke ibu hamil.

“Begitu ditemukan ibu hamil atau partner seksualnya [mengidap HIV] positif, ya diobati,” kata Anung kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Kamis (5/12/2019).

Hal lain adalah penyediaan fasilitas tes HIV bagi mereka yang mau menikah. Tapi ini bukan kewajiban.

“Kalau pemeriksaan enggak bisa dipaksa. Kalau konseling sebelum nikah, kan, sudah program,” ujar Anung.

Menurut Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Jakarta, Nining Ivana, pendekatan tersebut sama sekali tidak cukup.

“Harusnya ada kolaborasi antara Kemenkes dengan pemerintah daerah, bagaimana informasi HIV itu bisa sampai ke ranah yang paling domestik, yakni ibu rumah tangga,” ujar Nining kepada reporter Tirto saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019) malam.

Menurutnya ada banyak hal dapat dilakukan pemerintah untuk menangani masalah HIV di ibu rumah tangga. Hal-hal ini dapat dilakukan “kalau saja dana-dana itu digunakan dengan benar.”

Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah juru pemantau jentik (Jumantik) yang tersebar di posyandu. “Seharusnya, pemerintah bisa meng-upgrade ini, sehingga tak hanya bicara soal demam berdarah atau stunting terhadap bayi saja,” kata Nining.

Kemudian, pemerintah juga perlu membantu mengurangi stigma bahwa HIV hanya menyasar kelompok tertentu.

“Kalau pemerintah memang serius dan melihat ini sebagai masalah bersama, bukan hanya masalah teman-teman minoritas, kita akan berhasil menanggulangi ini,” kata Nining, optimis.

==========

Ini adalah naskah ke-3 dari seri laporan tentang HIV pada ibu dan anak. Naskah pertama dan kedua bisa Anda baca di sini dan di sini.

Baca juga artikel terkait HIV AIDS atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri