Menuju konten utama

Menyesap Kopi, Menghisap Priangan

Kisah tentang kopi di Priangan adalah juga cerita tentang penghisapan kolonial.

Menyesap Kopi, Menghisap Priangan
Pengolahan biji kopi di jaman Hindia-Belanda. FOTO/Istimewa

tirto.id - Kopi dan kapitalisme punya hubungan akrab sekaligus dilematis. Keduanya punya kesamaan: penyesapan. Kehadiran keduanya ikut serta memicu laju modernitas beserta kedzalimannya.

Keruntuhan Kekaisaran Romawi Timur, penemuan Amerika oleh Columbus, terciptanya mesin cetak Gutenberg, dan reformasi gereja oleh Martin Luther menandai dimulainya era modern. Periode waktu yang dimulai setelah menyingsingnya fajar abad ke-16.

Era modern juga ditandai munculnya satu minuman hitam pahit bernama kopi tadi. Pada tingkat individu, kopi membantu kita tetap terjaga dan aktif. Pada tingkat yang jauh lebih luas, kopi telah membantu membentuk sejarah dunia dan terus membentuk kebudayaan. Hal ini mungkin terkesan berlebihan, namun sejarawan Mark Pendergrast menjelaskan dengan gamblang dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World.

Menjelang 1500-an, tulisnya, minuman yang berasal dari biji semak-semak di Ethiopia tersebut telah menyebar melalui kedai-kedai kopi di sepanjang dunia Arab. Dalam 150 tahun kemudian, berawal dari Turki, Eropa ikut-ikutan. Kedai kopi menjadi tempat bukan hanya untuk menikmati secangkir kopi, tapi juga sebagai ruang bertukar gagasan.

Revolusi Perancis dirancang di kedai-kedai kopi. Sementara itu, kopi yang mereka sesap berasal dari perbudakan orang-orang Afrika di Koloni Perancis di Karibia. Budak-budak yang menggarap perkebunan kopi ini nantinya melakukan revolusi kulit hitam pertama yang sukses.

Kopi menyebar, dibiakkan di berbagai koloni. Selain kopi, Arab menyumbangkan kebijakan ekonomi kapitalis, yang kemudian bermigrasi ke Eropa melalui mitra dagang dari kota-kota seperti Venesia. Sistem ekonomi proto-kapitalis dan pasar bebas menggeliat selama Zaman Keemasan Islam.

Era kapitalistik sendiri, menurut identifikasi Karl Marx, bermula dari pedagang dan usaha rumahan mungil perkotaan abad ke-16. Kapitalisme dalam bentuknya yang modern dapat ditelusuri pada munculnya kapitalisme agraria dan merkantilisme di zaman Renaisans

Max Weber percaya bahwa kapitalisme ikut dibiakkan oleh etika Protestan. Etika yang memengaruhi orang-orang agar turut bekerja dalam dunia sekuler, untuk mengembangkan usaha-usaha mandiri dan terlibat dalam perdagangan serta pengumpulan kekayaan untuk investasi.

Belanda yang mayoritasnya menganut Protestan, utamanya Calvinisme, menurut banyak sejarawan ekonomi, dianggap sebagai negara pencetus kapitalisme modern. Ditambah Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), benar-benar memainkan peran penting dalam bangkitnya globalisasi korporasi, tata kelola perusahaan, kewiraswastaan modern, dan kapitalisme finansial.

Berkat kopi dan kapitalisme, Belanda makin masyur. Namun di seberang lautan sana, di Pulau Jawa, hanya ada rudin tak berkesudahan.

infografik menghirup kopi menyyesap priangan

Sejarah Priangan dan Asal Usul Nama

Membaca sejarah Nusantara sama menariknya dan tak kalah dramatis dari Game of Throne. Pulau Jawa bagai Westeros, diisi dengan perebutan kuasa tak kenal henti. Setelah Kerajaan Sunda runtuh pada 1579, wilayah kekuasaannya yang meliputi sebagian Pulau Jawa sebelah barat, terpecah ke dalam empat pusat kekuasaan: Banten, Cirebon, Sumedang Larang, dan Galuh.

Sumedang Larang, yang batas wilayah kekuasaannya adalah Kali Sadane di sebelah barat dan Kali Pamali di sebelah timur, berusaha tampil sebagai penerus Kerajaan Sunda. Namun ada berbagai hadangan: Kesultanan Banten dari sebelah barat, Kesultanan Cirebon dari utara, dan Kerajaan Mataram dari timur.

Terutama dengan Cirebon, karena kejahilan Prabu Geusan Ulun yang jatuh cinta dan melarikan istri Panembahan Ratu Harisbaya, timbul peperangan sengit yang akhirnya melemahkan Sumedang Larang. Setelah Geusan Ulun wafat pada tahun 1608, pemerintahan Sumedang yang sudah loyo ini dilanjutkan oleh anak tirinya, Pangeran Aria Suriadiwangsa.

Tahun 1620, saat Mataram menjalankan ekspansi kekuasaan ke seluruh Nusantara, Sumedang sudah terlampau letih untuk melawan. Pangeran Suriadiwangsa datang ke Mataram, menyatakan penyerahan kekuasaan. Dengan alasan punya hubungan keluarga dengan Mataram dari pihak ibunya Ratu Harisbaya, Pangeran Suriadiwangsa memilih tunduk pada Sultan Agung.

Pada masa inilah wilayah Sumedang Larang mulai disebut Priangan yang bermula dari kata "prayangan", yang berarti "daerah pemberian". Wilayah Priangan juga meliputi daerah Galuh yang sudah ditaklukkan Mataram pada 1595. Galuh sendiri wilayahnya terletak antara Citarum di sebelah barat dan Kali Serayu juga Kali Pamali di sebelah timur.

Entah karena berkonotasi negatif, tentang asal usul nama ini tak terlalu popular. Yang paling sering disebut adalah versi dari Ayatrohaedi, bahwa istilah Priangan merupakan kontraksi dari kata "Parahyangan" yang artinya “tempat tinggal hyang (leluhur) yang harus dihormati.”

Dalam sumber-sumber Belanda istilah Priangan mulai disebut sekitar perempatan terakhir abad ke-17. Hageman (1867) telah mengumpulkan asal-usul nama Priangan, salah satunya adalah bahwa Priangan berasal dari kata prayangan yang artinya “memberikan atau menyerahkan dengan hati yang suci.” Mengacu pada penyerahan diri Pangeran Suriadiwangsa pada Sultan Mataram tadi.

Lewat asal usul nama ini pula sebenarnya kita bisa mengetahui secara presisi mana saja yang masuk wilayah Priangan: Sumedang Larang dan Galuh. Atau yang sekarang, secara tradisional mencakup Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Bandung, Sukabumi, dan Bogor.

Tanam Paksa Kopi di Priangan

Dengan ketinggian antara 1.800 hingga 3.000 m di atas permukaan laut, wilayah Priangan sangat subur karena merupakan daerah vulkanis. Wilayah yang dibentuk oleh gunung-gunung berapi, seperti Gunung Gede, Galunggung, Papandayan, Tangkubanparahu, Guntur, dan Cikuray. Daerah-daerah yang sampai hari ini -- coba saja tanya pada barista di kedai kopi --masih jadi perkebunan kopi aktif.

Wilayah Priangan dihuni sebagian besar oleh suku Sunda. Sejak zaman Kerajaan Sunda, mata pencaharian utamanya pada mulanya ngahuma, atau berladang. Di bawah Mataram, beberapa tatanan sosial ekonomi berubah. Bersawah digalakkan. Pada 1641 seorang pejabat VOC bernama Juliaen da Silva melaporkan bahwa ketika menyusuri Kali Krawang, ia melihat penduduk di beberapa kampung menimbun padi dalam jumlah banyak.

Kekuasaan Mataram atas Priangan berpindah kepada VOC secara berangsur-angsur dari 1677. Meski berpindah, Priangan masih menerapkan tata kelola Mataram, atau dalam teori Marxis digolongkan dalam modus produksi Asiatik, yakni suatu tatanan ekonomi-politik dan formasi sosial pra-kapitalis dengan kelas penguasa setempat menegakkan klaimnya atas tanah sebagai alat produksi dengan mengambil kerja lebih kolektif dari kelas yang dikuasai.

Modus produksi Asiatik itu klop dengan kebijakan kapitalistik VOC. Dengan permintaan kopi yang makin meningkat sejak abad ke-17, kongsi dagang Belanda tersebut merekacipta sistem tanam paksa kopi di Priangan: Preangerstelsel.

Jan Breman menguraikan panjang lebar soal tanam paksa di Priangan ini dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870. Berkat efisiensi yang diciptakan kolonialisme dan kapitalisme, harga kopi makin murah sejak akhir abad ke-18. Sebelumnya, sudah sejak lama VOC jadi pemain utama penyalur kopi, juga komoditi ekspor lainnya, untuk kemudian pailit pada 1799. Aset-asetnya dialihkan kepada pemerintahan Belanda.

Di saat yang sama, hingga terjadinya Revolusi Prancis, Belanda tetaplah sebuah negara merdeka. Namun pada 1806-1810, Belanda berada dalam cengkraman Kekaisaran Prancis Raya, dan dijadikan kerajaan boneka dengan dipimpin saudara Napoleon sendiri. Hindia Belanda tentu kena imbasnya.

Cultuurstelsel: Preangerstelsel 2.0

Datang Herman Willem Daendels yang diangkat jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dengan dalih mempertahankan pusat koloni Hindia Belanda, Jawa makin diperas. Lewat pengadaan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, akses ke Priangan makin leluasa.

Cultuurstelsel adalah terobosan sangkil. Cultuurstelsel meminjam ide dari Prengerstelsel, sistem tanam paksa di Priangan tadi. Cultuurstelsel menjadi era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan. Untuk Priangan, kopi masih jadi prioritas utama.

Max Havelaar yang ditulis Eduard Douwes Dekker tentu yang paling menjelaskan gambaran mengerikan sistem tanam paksa itu. Lewat tokoh Saijah yang kehilangan kerbaunya, lalu cintanya, hingga segala-galanya. Sementara Drogstoppel sang makelar kopi di Belanda sana hanya ongkang-ongkang kaki dengan snobismenya. Cultuurstelsel bagai wabah kolera: merenggut banyak nyawa. Jika kolera menyebabkan diare akut, maka Cultuurstelsel menularkan kemelaratan kronis.

Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa juga berdampak pada ekologi. Mengutip sejarawan Peter Boomgard, Breman menulis bahwa rentang waktu antara tahun 1826 hingga 1865 menjadi periode perusakan ekologi di tanah Jawa.

Pembabatan hutan besar-besaran terjadi semata-mata untuk penanaman kopi. Soal derita di balik pembukaan lahan saat periode tersebut bisa dirasakan lewat pasase satu cerita Ua Haji Dulhamid berjudul Zaman Cacing Dua Saduit dari pengarang kelahiran Rancah, Ciamis, Ahmad Bakri (1917-1988):

Leuweung geledegan dikebonan kopi, kabéh dieunakeun dilemburan. Dina usum ngabukbak cenah kacida ripuhna mah somah téh. Gawé beurat, dirurusuh bari ditungguan ku polotot jeung tajong. Réa nu tingkelepek cenah. Nu kapiuhan téa, kasurupan téa, da puguh tegal jurig meureun. Leuweung tutupan kitu atuh. Babakuna mah awahing ku cape, ari beuteung remen kosong nu kurang bekel mah. Puguh deui ari nu dipacok oray mah, lain hiji dua. Nu teu katulungan gé teu saeutik.

Hutan belantara dijadikan kebun kopi, semua dibuat pemukimam. Saat-saat musim membuka lahan adalah yang paling menyiksa. Pekerjaan benar-benar berat, harus dipercepat sebab dimandori dengan pelototan dan tendangan. Banyak yang pingsan. Ada yang tak sadarkan diri, yang kesurupan juga, karena memang yang dibabat mungkin habitatnya setan. Hutan rimba begitu. Alasan utamanya sebenarnya karena kelelahan, ditambah perut yang kosong sebab kurang bekal. Ada lagi yang digigit ular, bukan satu dua. Banyak yang tidak selamat.

Setelah UU Agraria

Publikasi Max Havelaar pada tahun 1859 begitu mengguncang, tulis Pramoedya Ananta Toer di esai The Book That Killed Colonialism yang dimuat New York Times. Sama seperti Uncle’s Tom Cabin yang memberi amunisi untuk gerakan abolisionis Amerika, Max Havelaar menjadi senjata untuk gerakan liberal yang berkembang di Belanda, yang berjuang untuk mewujudkan reformasi di Indonesia.

Dibantu oleh Max Havelaar, gerakan liberal mampu membuat malu dan mendesak Pemerintah Belanda menciptakan kebijakan baru. Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar tanam paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria.

Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi.

Breman mengkritisi soal ini, bahwa pemberontakan-pemberontakan petani yang dilakukan semasa tanam paksa pun punya peran yang tak kalah penting.

Kembali ke UU Agraria, novel Bahasa Sunda pertama berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun bagi Kaum Muda) yang terbit pada 1914 ini mengambil latar cerita beberapa tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang tersebut. Daeng Kanduruan Ardiwinata sang penulisnya adalah pendiri dan Ketua Paguyuban Pasundan, serta Redaktur Balai Pustaka.

Novel tersebut menceritakan Ujang Kusen yang menikah dengan Nyi Rapiah memutuskan menjadi pengusaha kopi dari nol. Mereka berdua berada dalam strata kelas pedagang. Ujang Kusen suatu waktu mengajak Nyi Rapiah ke kebun kopinya.

Nyi Rapiah teu kira-kira kagetna nenjo kebon kopi kutan kitu, saluar-luar puncak pasir jeung lamping-lamping gunung pinuh ku tangkal kopi, beres ngajajar turut paintang, di handapna lénang belening. Tangkalna aya nu sagede pingping, aya sagede bitis, ngan kebon baru anu laleutik keneh, kakara sagede indung suku atawa sagede leungeun budak, tapi geus baruahan. Buahna geus arasak beureum areuceuy, nu geus karolot pisan semu wungu. Nyi Rapiah ari nginum kopi mah remen nénjo, tapi ari nempo tangkal jeung buahna mah kakara harita.

Nyi Rapiah kaget bukan main saat melihat kebun kopi, dari puncak bukit dan sisi gunung penuh oleh tanaman kopi, berjajar dan berhimpitan, sementara di bawahnya gundul kerontang. Tanamannya ada yang setinggi paha, ada yang setinggi betis, hanya kebun baru yang kecil-kecil, baru sebesar jempol kaki atau sebesar tangan anak kecil, tapi sudah berbuah. Buahnya banyak yang sudah ranum kemerahan, yang sudah kelewat matang berwarna sedikit ungu. Nyi Rapiah kalau untuk melihat minum kopi sudah sering, tapi kalau melihat tanaman dan buahnya baru sekarang.

Sayang, akhir kisah Ujang Kusen dan Nyi Rapiah tak semanis Ben dan Jody dalam Filosofi Kopi. Kejatuhan kopi dimulai ketika serangan penyakit karat daun melanda pada tahun 1878. Setiap perkebunan di seluruh Nusantara terkena hama penyakit kopi yang disebabkan oleh Hemileia Vasatrix. Priangan merupakan wilayah terparah akibat serangan hama penyakit karat daun.

Namun, bukan karena karat daun. Ujang Kusen dibuat gila, secara harfiah, berkat ulah sewenang-wenang seorang menak yang merebut Nyi Rapiah. Selama kopi dan kapitalisme ada, penyesapan akan selalu berlanjut.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Zen RS