Menuju konten utama
Miroso

Menyantap Sayur Kursi dan Ikan Pertolongan di Kalimantan

Rotan muda enak dimasak gulai berbumbu kunyit, serai, bawang merah, bawang putih, dan cabai.

Menyantap Sayur Kursi dan Ikan Pertolongan di Kalimantan
Header Miroso Kenikmatan Gulai Umbut Rotan. tirto.id/Tino

tirto.id - Menghadap sungai Petak Puti di daerah aliran sungai Kapuas, dua orang ibu sedang duduk dan sibuk mengupas rotan, sambil sesekali bekelakar. Bilah rotan ukuranya hampir satu meter, kulit luarnya sedikit keras dan berduri. Tangan dua ibu ini merentang setengah lingkaran mengikuti arah pisau sampai mendapatkan rotan muda yang diharapkan.

Pemandangan ini mencuri mata, seperti bonus usai pertemuan bersama warga meminjam ruang kelas Sekolah Dasar Negeri Petak Puti di Kecamatan Timpah Kapuas, Kalimantan Tengah. Sinar matahari sore jatuh menerpa wajah dan punggung mereka, dari jauh seperti orang sedang mengasah pedang panjang.

Saya langsung menghambur ke rumah Mama Meti, komandan dapur yang betugas memasak untuk konsumsi pertemuan hari itu. Rotan muda adalah hal baru buat saya dan ingin sekali sekali bertanya pada beliau.

“Namanya di sini umbut rotan (rotan muda). Nanti malam akan kita masak gulai dan dimakan dengan ikan lais,” jawab beliau. “Itu rotan yang sama seperti kursi yang mbak pakai di ruang depan, sayur kursi," kelakarnya sambil menunjuk kursi di kamar kerja saya.

Rotan muda kupasan yang sudah dicuci bersih dipotong menyerong ukuran 4 cm. Semua lalu dimasak gulai berbumbu kunyit, serai, bawang merah, bawang putih, dan cabai, kemudian dicampur dengan kuah santan encer.

Makan malam pun tiba. Dua panci besar gulai umbut siap untuk disantap. Lauknya ikan lais yang digoreng kering dan dilengkapi sambal serai. Rasa sayur rotan muda ternyata di atas ekspektasi saya, tak ada rasa pahit saat mengunyahnya. Teksturnya mirip rebung tapi tanpa aromanya yang tajam. Selain dimasak gulai, rotan muda juga bisa dimasak tumis dengan bumbu pedas dan sayur asam. Bagi saya, versi gulai paling juara.

Selama berada di Kalimantan, saya sungguh beruntung dapat mencicipi berbagai sajian hasil karya tangan para Mama dalam mengolah keanekaragaman hayati di sekitarnya. Kalimantan memang tempat yang tepat untuk berpetualang menikmati berbagai olahan pangan, mulai dari ikan air tawar yang melimpah, sayur-sayuran rawa, hingga buah-buahan hutan.

Mama Tika yang saya temui di Desa Mantangai Tengah, Kalimantan Tengah, jago mengolah kelakai, sejenis pakis yang tumbuh di rawa. Sulur-sulur pakis muda adalah bagian paling enak karena teksturnya empuk meski dimasak setengah matang. Mama Tika akan menumisnya dengan udang sungai ukuran kecil yang tidak dikupas, dengan bumbu cabai rawit dan bawang. Jika tumis kelakai ini dimasak, tidak akan ada lauk tambahan karena hanya butuh nasi putih panas.

“Lauk sayur jadi satu, hemat minyak. Meski dekat (kebun) sawit, minyak tetap mahal, Mbak,” keluh Mama Tika, jauh sebelum krisis minyak goreng terjadi.

Minyak goreng memang persoalan bagi banyak dapur warga kebanyakan di kampung ini. Demi berhemat uang belanja, tak jarang untuk memaksimalkan minyak goreng bekas, semuanya lauk digoreng jadi satu: ayam, ikan, ikan asin, tempe, hingga terong. Slogan satu minyak untuk semua pasti terjadi minimal satu kali dalam satu pekan. Saat itu terjadi, saya akan sulit membedakan rasa orisinil setiap lauk yang digoreng karena rasanya sama semua. Ini masa-masa terong goreng naik kelas: dari rasa alami yang tawar, jadi segurih patin yang berlemak.

Infografik Miroso Kenikmatan Gulai Umbut Rotan

Infografik Miroso Kenikmatan Gulai Umbut Rotan. tirto.id.Tino

Ada banyak kejutan rasa dari sungai dan hutan Kalimantan Tengah, Timur, dan Selatan, terutama untuk masakan berbahan dasar ikan olahan warga yang tinggal di kawasan daerah aliran sungai: Kapuas, Mahakam dan Barito. Setidaknya beberapa sajian rasanya masih lekat di ingatan semisal ikan tampahas yang gurih, udang sebesar kepal tangan orang dewasa di Pasar Malam Kuala Kapuas, abon ikan haruan khas Muarakaman, juga ikan patin bakar yang dimasak dengan bara kulit kelapa – menggugah selera.

Selain lais, ikan patin adalah primadona di Kalimantan Tengah, Timur, dan Selatan. Menu olahan patin mudah ditemui sepanjang jalan trans Kalimantan, dari warung kecil sampai dengan resto besar dengan beberapa pilihan cara memasak. Ada yang dibakar, dikukus, digulai atau digoreng biasa.

Patin juga dikenal sebagai ikan "pertolongan" karena biasa dipelihara di karamba dan menjadi ikan "tabungan". Saat musim sulit ikan, biasanya saat musim hujan ketika ikan sepat rawa dan papuyu lebih memilih menyebar dan berdiam di cekungan, warga yang tinggal di pinggir sungai akan membuka tabungan ikan yang ada di karamba.

Patin karamba lalu dimasak dengan sederhana setelah dibelah menjadi 5 bagian. Ikan dibumbui dengan air asam jawa, garam dan ulekan bawang merah sekitar 10 menit sebelum digoreng. Agar sempurna, gorengnya sebentar saja dengan sedikit minyak. Setelah kedua sisi mulai berubah warna menjadi coklat keemasan, patin siap dimakan dengan nasi panas, daun singkong rebus, mentimun dan sambal limau.

Segarnya jeruk limau dan pedasnya cabai mentah menyamarkan lemak patin yang sering meninggalkan rasa tebal di langit-langit mulut. Tentang sambal-sambal ini, sambal di Kalimantan sepertinya selalu memiliki semburat rasa kecut. Paling tidak di tiga sambal yang sering saya temui: sambal limau, sambal acan, dan sambal serai.

Dua di antaranya adalah kesukaan saya karena bahan kombinasinya yang unik. Sambal acan adalah pasangan yang pas untuk sepotong ikan patin bakar di sebuah warung kaki lima di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pedas, kecut, dan segar karena acan terbuat dari paduan cabai, mangga, dan terasi. Di Marabahan, warga membuat acan dari mangga kesturi atau dikenal sebagai mangga Kalimantan dengan aroma buah yang sangat khas.

Sementara, sambal serai menggunakan batang serai muda yang dihancurkan bersama ikan baung, bawang merah, bawang putih dan cabe dengan tekstur kasar. Rasanya cenderung asin karena jarang pembuatnya menambahkan gula. Sambal ini paling banyak ditemukan di Kalimantan Tengah.

Sedangkan sambal serai terbaik saya santap di Pulang Pisau bersama Pak Suntung, pengemudi senior asal Tangkiling yang sangat ahli perihal memilih warung makan selama perjalanan antar kabupaten lintas provinsi. Dia tak pernah salah dalam memilih warung andalan untuk bersantap. Kalau sudah makan, dia akan melakukannya dengan khusyuk: lahap, sembari terus mengajak ngobrol.

“Apa kubilang, ini lebih enak dari sambal yang kemarin, kan? Ya sambalnya, ya patinnya, ya umbutnya nggak kalah sama di Petak Puti,” begitu katanya sambil menambah nasi.

Ah, jadi rindu Kalimantan dan segala kekayaan kulinernya. []

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Rachma Safitri

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rachma Safitri
Editor: Nuran Wibisono