Menuju konten utama

Menyambung Napas UMKM di Tengah Pandemi dan Persaingan Global

Lebih dari 64 juta unit UMKM berkontribusi pada 60% PDB nasional. Kini terpukul pandemi.

Menyambung Napas UMKM di Tengah Pandemi dan Persaingan Global
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki (kanan) meninjau produk unggulan saat pameran Gelar Produk UMKM di Indramayu, Jawa Barat, Kamis (10/9/2020). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/nz

tirto.id - Pandemi COVID-19 yang sudah terjadi selama 8 bulan masih memukul perekonomian Indonesia. Hampir seluruh lini sektor usaha terkena pukulan, termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menyelamatkan UMKM adalah sebuah keharusan, mengingat posisinya sebagai mayoritas sektor usaha Indonesia.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut setidaknya terdapat lebih dari 64 juta unit UMKM yang berkontribusi pada 97% terhadap total tenaga kerja dan 60% PDB nasional. Namun, sektor ini pula yang paling terpukul oleh COVID-19.

Kontraksi konsumsi rumah tangga yang merupakan sektor andalan penerimaan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia memberikan kontribusi besar pada pukulan terhadap sektor UMKM. Konsumsi rumah tangga mulai memburuk pada kuartal II, setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut data BPS, pada kuartal II 2020 (PDF), konsumsi rumah tangga terkontraksi hingga 5,51% year on year (yoy). Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terkontraksi di angka 5,51%.

Memasuki kuartal III 2020, seiring mulai dibukanya sebagian aktivitas ekonomi, konsumsi rumah tangga mulai membaik meski masih mengalami kontraksi. Berdasarkan data BPS (PDF), konsumsi rumah tangga masih mengalami kontraksi hingga 4,04%. Sementara ekonomi terkontraksi 3,49% , sehingga secara teknis Indonesia masuk resesi.

Sementara indeks indeks penjualan riil juga menunjukkan hal yang sama. Indeks penjualan riil pada kuartal II terkontraksi hingga 18,2%. Sementara pada kuartal III menunjukan perbaikan, meski masih belum beranjak dari zona kontraksi dengan minus 10,1%.

Ragam Upaya Mempertahankan UMKM

Sebagai urat nadi perekonomian nasional, UMKM menjadi salah satu fokus pemulihan. Sejauh ini, pemerintah menganggarkan berbagai bantuan untuk UMKM dari total anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sebesar Rp695 triliun. Dari jumlah itu, sebesar Rp123,46 triliun dikhususkan untuk bantuan UMKM.

Bantuan itu dibagi pada enam bagian (PDF) yakni subsidi bunga sebesar Rp35,28 triliun, kredit dana untuk restrukturisasi kredit sebesar Rp79,78 triliun, belanja imbal jasa penjaminan Rp5 triliun, menanggung PPh Final dengan anggaran hingga Rp2,4 triliun, dan pembiayaan investasi koperasi sebesar Rp1 triliun.

Selain itu, pemerintah juga meluncurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp2,4 juta per unit usaha. Program bantuan yang dinamakan Bantuan Presiden (Banpres) Produktif ini memiliki pagu anggaran hingga Rp 28,8 triliun.

Dukungan juga diberikan Bank Indonesia untuk menghidupkan kembali produktivitas UMKM. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) telah menetapkan penurunan suku bunga acuan atau 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. BI juga menetapkan untuk menurunkan tingkat suku bunga dopiest facility dan bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 3% dan 4,5%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini diharapkan membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia. Melalui penurunan suku bunga kredit, Perry berharap dapat menghidupkan kembali penyaluran kredit yang sebelumnya terseok-seok.

Langkah ini ditempuh BI lantaran kondisi kredit yang mengkhawatirkan selama masa pandemi ini. Menurut data BI, pertumbuhan kredit semakin melambat. Dalam Statistik Ekonomi dan Moneter (SEKI) Oktober 2020, pertumbuhan kredit terkontraksi 0,47% secara year on year (yoy). Padahal, pada kuartal III 2020, posisi pertumbuhan kredit menunjukan perbaikan berada di zona positif dengan tumbuh 0,12% yoy.

Sementara skema bantuan terus digelontorkan, UMKM lokal juga tengah digenjot untuk memperluas pasar lewat penetrasi ke ranah digital. Ini penting mengingat masa pandemi membuat transaksi digital semakin berperan.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut data pelaku UMKM yang sudah go digital hingga Oktober 2020 sudah mencapai 9,4 juta. Teten optimistis target UMKM go digital sebesar 10 juta akan tercapai di akhir 2020 ini.

Tantangan Global di Depan Mata

Pandemi COVID-19 memberikan lingkungan yang menantang pada sektor UMKM. Ke depan, tantangan UMKM semakin besar dengan perjanjian kemitraan Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP yang ditandatangani Indonesia dan 14 Negara di Asia Pasifik lain.

Perjanjian di antara 10 negara ASEAN, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia ini merupakan kesepakatan perdagangan bebas dengan pangsa pasar hingga 2,2 miliar calon konsumen atau setara dengan 30% populasi dunia.

RCEP mengatur rantai pasok global dan memuluskan perdagangan bebas antar negara anggotanya. Perjanjian ini rupanya menyimpan potensi yang merugikan UMKM Indonesia. Dengan RCEP, UMKM Indonesia harus bersaing dengan negara-negara anggota. Di sisi lain, kebijakan perdagangan terbesar dunia ini memungkinkan masuknya produk impor dengan tarif lebih murah ketimbang produk lokal.

Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Piter Abdullah menjelaskan, potensi keuntungan RCEP ini belum bisa dirasakan Indonesia. Menurut Piter, kebijakan untuk memperluas pasar ini tidak dibarengi dengan kesiapan produk. “Alih-alih membuka pasar baru, dengan perjanjian ini justru UMKM Indonesia bisa kehilangan pasar karena produknya tidak siap bersaing dengan negara lain,” kata Piter kepada Tirto (24/11).

“Kita membuka pasar dengan harapan produk kita dapat masuk ke negara lain, tapi saya lihat sampai saat ini kita belum tahu produk andalan kita apa saja” katanya.

Menurut Piter, langkah strategis dalam memetakan produk andalan dan meningkatkan daya saing UMKM perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi perjanjian RCEP ini. Terlebih, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan subtitusi 35% produk impor pada 2022. Bila Indonesia tidak siap menghadapi RCEP, bukan tidak mungkin target subtitusi impor Kemenperin terancam tidak tercapai dan pelaku UMKM kehilangan pasar produknya.

RCEP dipandang Piter tidak cukup untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional bagi pelaku UMKM. alih-alih mengharapkan peluang perdagangan bebas ini dalam waktu dekat, Piter melihat potensi mengangkat kondisi UMKM dengan memperbaiki data penerima bantuan non-moneter seperti Bantuan Presiden (BanPres) Produktif UMKM.

“Langkah yang menjadi perhatian untuk UMKM saat ini ialah perbaikan proses distribusi bantuan pemerintah agar cepat dan tepat. Kendala data juga harus diatasi sehingga pemerintah bisa tahu siapa saja yang sebenarnya perlu bantuan,” Pungkas Piter

Baca juga artikel terkait UMKM atau tulisan lainnya dari Muhamad Arfan Septiawan

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Muhamad Arfan Septiawan
Editor: Windu Jusuf