Menuju konten utama

Menutup Rembesan Gula Rafinasi yang Menuai Polemik

Gula rafinasi yang diperuntukkan bagi industri sering merembes ke pasar umum hingga menjadi bola liar dan polemik menahun tanpa solusi akhir.

Menutup Rembesan Gula Rafinasi yang Menuai Polemik
Satuan Tugas Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan memeriksa garis polisi yang terpasang di tumpukan gula rafinasi ilegal milik UD Benteng Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (22/5). ANTARA FOTO/Dewi Fajriani

tirto.id - “Saya keberatan dengan pembelian gula secara lelang. Itu distorsi,” ujar Imam Nawawi.

Nawawi adalah pengusaha gula merah asal Cilacap, Jawa Tengah. Baru-baru ini ia terusik hingga menyampaikan keresahannya terhadap rencana pemerintah menerapkan sistem lelang untuk gula rafinasi--adalah berbasis gula mentah impor yang diolah di dalam negeri yang pasarnya untuk pelaku industri makanan dan minuman, tidak untuk umum.

Dengan raut wajah yang menahan emosi, Imam menyampaikan sejumlah argumen dalam sebuah diskusi publik soal lelang gula rafinasi, yang digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi pada Rabu (29/9) di Kuningan, Jakarta.

“Selain memakan waktu yang cukup lama dan tidak tentu, hanya orang yang punya duit yang bisa ikut lelang,” kata Imam.

Ia khawatir akan kalah telak dalam bersaing dengan sesama pengusaha pengguna gula rafinasi. Menurut Nawawi, peluang bagi para pelaku usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) untuk mendapatkan gula rafinasi dengan cara lelang malah berpotensi menghambat mereka mendapatkan gula rafinasi. Lelang gula rafinasi memang awalnya bertujuan mulia untuk mencegah rembesan gula berbasis impor ini ke pasar umum dan berhadapan dengan gula kristal putih (GKP) yang dihasilkan oleh petani dari pabrik-pabrik gula tua yang sulit bersaing. Sensitifnya persoalan gula membuat komoditas gula sebagai barang dalam pengawasan pemerintah.

Menyoal tentang keresahan Nawawi bisa jadi sesuatu yang berlebihan, karena kenyataannya pemerintah juga nampaknya tidak memperlihatkan keseriusannya soal rencana lelang gula rafinasi. Sejatinya, kegiatan lelang dijadwalkan berlangsung pada Juli 2017 tapi diundur hingga 1 Oktober 2017. Namun, pada Selasa (26/9), Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menundanya hingga 8 Januari 2018.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kemendag Bachrul Chairi tidak menampik apabila implementasi dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi Melalui Pasar Lelang Komoditas itu tengah dikaji ulang. Setidaknya ada dua poin yang menjadi fokus, yakni aspek kekuatan regulasi dan target keikutsertaan UMKM.

“Dalam rapat antara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Perdagangan, diputuskan sebaiknya lelang diundur dulu. Kami menunggu Perpres (Peraturan Presiden) keluar, sehingga memberikan kekuatan lebih dari lelang ini,” ujar Bachrul di kantornya pada Kamis (28/9).

Jumlah UMKM yang tercatat sebagai peserta lelang juga dinilai masih jauh dari harapan. Menurut data terakhir, UMKM yang telah mendaftar baru sebanyak 314 usaha dan berasal dari 18 provinsi. Kondisi ini tentu akan berpotensi menjadi blunder bila UMKM yang tak ikut lelang justru kesulitan mendapatkan bahan baku gula, dan bisa memicu krisis gejolak harga.

Para pelaku UMKM di 18 provinsi yang sudah terdaftar cenderung berada dekat dengan pabrik gula rafinasi yang jumlahnya hanya 11 unit pabrik di Indonesia. Mereka bisa ikut lelang secara sendiri atau bersama kelompok, karena harus memenuhi syarat lelang minimal sebanyak 1 ton.

Ketentuan ini berpotensi memberi ruang terjadi penyimpangan termasuk potensi rembesan gula rafinasi dengan gaya baru. Sebelumnya gula rafinasi didistribusikan ke industri melalui para distributor yang diseleksi. Namun sayangnya, kasus rembesan gula rafinasi tetap terus berulang karena gula ini dianggap lebih kompetitif dan berkualitas lebih baik dari gula petani sehingga diminati konsumen.

“Kan kita punya 34 provinsi, minimum ada wakilnya dulu. Nanti kalau (lelang) ini jalan, akan melebar sosialisasinya, dan bakal meningkat jumlah pesertanya,” kata Bachrul.

Baca juga: Pasang Surut Industri Gula Indonesia

Apakah lelang menjamin tak akan terjadi rembesan gula rafinasi ke pasar umum? Bachrul mengakui sistem lelang tidak akan bisa sepenuhnya mengatasi setiap masalah, tapi aturan baru ini setidaknya akan mempermudah pemerintah dalam hal pendataan dan pengawasan peredaran gula rafinasi. Guna meminimalisir terjadinya rembesan gula rafinasi, pemerintah juga telah berencana untuk mencantumkan barcode pada karung gula yang dilelang.

“Dengan melakukan monitoring dan pengawasan, peringatan awalnya dari sini. Selain itu, tak hanya memberikan akses yang sama, namun juga mencegah kebocoran,” kata Bachrul.

Rencana lelang gula rafinasi ini seolah begitu serius, kemendag memastikan aturan payung hukumnya akan dibuat oleh peraturan dari presiden. Selain itu, akan dilibatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU), DPR, hingga KPK. DPR mendorong minimal jatah 20 persen gula rafinasi diberikan kepada UMKM dan koperasi.

Baca juga: Senjata Tumpul Melawan Samurai Gula

infografik gula rafinasi

Pro dan Kontra Pengusaha

Pemerintah begitu optimistis kebijakan lelang gula rafinasi menjadi jawaban masalah rembesan gula rafinasi yang sudah terjadi menahun bahkan politis karena menyangkut nasib petani tebu. Namun, mau tak mau sebuah cara harus ditempuh agar persoalan akut ini tak dibiarkan menahun. Pemerintah tak bisa menutup mata perkembangan industri gula rafinasi berbasis bahan baku impor berkembang pesat menyalip kemampuan produksi gula kristal putih yang berbasis tebu milik para petani.

Berdasarkan data yang dihimpun Tirto dari Kementerian Pertanian, Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), produksi gula rafinasi tahun lalu mencapai 3,2 juta ton. Sementara produksi gula kristal putih yang merupakan hasil panen petani tebu adalah hanya 2,3 juta ton. Peningkatan produksi gula rafinasi sangat cepat, pada 2010 produksinya 2,3 juta ton, lalu pada 2015 sudah naik jadi 2,9 juta ton. Nasib yang berbeda justru dengan gula kristal putih petani, pada 2010 jumlah produksi tercatat sebanyak 2,4 juta ton, lalu pada 2015 hanya naik jadi 2,5 juta ton.

Baca juga: Pahit Industri Gula Indonesia

Jomplangnya kemampuan produksi ini membuat pemerintah khawatir akan menjadi masalah dalam hal distribusinya bila menggunakan distribusi umum yang sudah terbukti sering terjadi rembesan gula rafinasi. Gagasan lelang pada akhirnya dipilih oleh pemerintah sebagai sebuah cara menekan masalah ini.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menilai sistem lelang tersebut bisa jadi harapan baru bagi petani tebu. Ia membenarkan bahwa petani tebu saat ini kian terpuruk dan putus asa dengan mudahnya gula rafinasi masuk ke pasar umum. Soemitro berharap dengan diberlakukannya sistem lelang ini bisa membuka jalan bagi petani tebu untuk lebih sejahtera.

“Kami lihat ada kemungkinan bisa sukses atau nggak, bisa jadi baik atau nggak. Bagi kami, (sistem lelang) ini perlu diuji dulu,” kata Soemitro kepada Tirto.

Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community Colosewoko menekankan perlu adanya perhatian khusus terhadap peluang munculnya makelar dalam proses lelang gula rafinasi. “Karena pasti ada fee yang diambil, lalu harga di pasaran bagaimana? Itu yang pengawasannya mungkin akan susah,” kata Colosewoko kepada Tirto.

Harga gula rafinasi yang cenderung lebih murah dari harga gula kristal putih petani dikhawatirkan dapat berpengaruh pada pasar gula. Namun, ia menilai sistem lelang akan membantu pemerintah dalam mendata volume maupun harga gula rafinasi di pasaran. Selain itu, kemampuan mendeteksi dan pengawasan jumlah industri yang membeli ke pasaran pun bisa lebih mudah dilakukan.

Rencana lelang gula rafinasi tak semua dunia usaha mendukungnya. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana berpendapat sistem lelang hanya akan menguntungkan penyelenggara lelang dan makelar yang menampung para pelaku UMKM.

“Jumlah makelar itu bisa lebih dari 700 di tingkat kabupaten/kota. UMKM tidak akan mungkin bisa beli 1 ton,” kata Danang.

Ia menilai keberadaan makelar malah berpotensi memunculkan praktik baru perembesan gula rafinasi ke pasar umum. Apindo telah menyatakan menolak terhadap sistem lelang gula rafinasi untuk UMKM. Menurut Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani, sistem lelang tidak sesuai dengan tujuan pemerintah yang ingin menegakkan keadilan bagi UMKM serta menghilangkan rembesan gula rafinasi. Pelaku UMKM untuk memperoleh harga yang sama dalam pembelian gula rafinasi bakal sulit tercapai. Pasalnya, pembelian dalam jumlah besar cenderung akan memperoleh harga yang relatif murah.

“Jadi jawabannya bukan lelang gula. Tapi bagaimana membuat harga gula menjadi kompetitif dengan harga gula di negara sekitar. Industri juga mau kalau harganya lebih murah,” kata Hariyadi.

Persoalan gula rafinasi memang sarat dengan berbagai kepentingan dan menyangkut uang triliunan rupiah. Gesekan kepentingan pelaku gula petani dengan pebisnis gula berbahan baku impor sulit terhindari. Sikap tegas dan jelas pemerintah untuk mengakhiri polemik menahun rembesan gula rafinasi sangat dibutuhkan.

Meningkatkan efisiensi industri gula domestik tak bisa ditawar-tawar lagi dengan percepatan peremajaan pabrik gula dan lahan tebu, sebab bila tidak perlahan tapi pasti industri gula berbasis impor seperti rafinasi akan merajai pasar dengan segala daya saingnya. Selagi ini tak dilakukan, maka suara-suara petani soal rembesan gula rafinasi akan jadi nyanyian yang terus menahun dan tanpa kapan pasti akan berhenti.

“Ketika gula rafinasi bocor, nggak ada tuh yang membela petani. Tapi kenapa saat mau ada lelang ini, baru pada mengeluhkan?” tanya Soemitro.

Baca juga artikel terkait GULA atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Suhendra