Menuju konten utama

Menumpang Rumah Ibadah untuk Merayakan Paskah

“Jadi kami nebeng ibadah di sana kalau boleh dipakai. Kalau enggak boleh, kami cari gereja yang lain.”

Menumpang Rumah Ibadah untuk Merayakan Paskah
Jemaat GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi mengikuti ibadah di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (21/1). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - “Paskah besok, kami menumpang ibadah di gereja orang lain setelah mereka selesai ibadah.”

Ucapan ini menjadi pembuka perbincangan saya dengan Ardus Simanjuntak, seorang pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat. Mereka sengaja meminjam gereja lain lantaran sudah tak punya rumah ibadah bersama.

Simanjuntak bercerita, ia dan 122 keluarga dalam jemaat HKBP Filadelfia semula akan menggelar ibadah di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Rencana itu batal lantaran ibadah di depan Istana Merdeka sudah mereka lakukan saat misa Jumat Agung, kemarin (30/3/2018).

Mereka lantas mencari alternatif dengan menghubungi Pendeta Tasaut Simanjuntak, pemimpin Gereja HKBP Maranata di Rawa Lumbu, Bekasi. Gereja Maranata berjarak sekitar 5,6 kilometer dari bangunan Gereja Filadelfia yang disegel secara sepihak oleh Pemda Kabupaten Bekasi sejak 12 Januari 2010.

“Jadi kami nebeng ibadah di sana kalau boleh dipakai. Kalau enggak boleh, kami cari gereja lain,” ujar pria berusia 50 tahun ini.

Cerita serupa dituturkan Renata Anggraini (44 tahun), seorang jemaat Gereja Kristen Yasmin, Kota Bogor, Jawa Barat. Pembangunan gereja Yasmin juga disegel sejak 2011.

Anggraini berkata jemaat GKI Yasmin menggelar ibadah Paskah di salah satu rumah jemaat. Ia bilang ia tak bisa menceritakan lokasi tersebut, dan pendeta yang akan memimpin misa Paskah bukan dari GKI Yasmin.

“Pokoknya di rumah jemaat yang tidak jauh dari gereja kami,” ucap Anggraini.

Tak Pernah Berhenti Berharap

Sudah delapan tahun, Ardus Simanjuntak dan seluruh jemaat HKBP Filadelfia beribadah di luar gereja. Ia bercerita, tiga bulan setelah gereja disegel pada 12 Januari 2012, jemaat harus menggelar peribadatan di depan halaman gereja tersebut.

“Kebetulan waktu pendirian gereja, kami masih menyediakan lahan kosong di depan pagar untuk parkir. Jadi setiap Minggu, kami pakai alas koran dan terpal,” ujar Simanjuntak.

Saat pelarangan beribadah ini berlangsung, jemaat mengajukan gugatan ke PTUN Bandung. Mereka menang gugatan pada September 2010. Namun, keputusan hukum ini rupanya tak berpengaruh. Pemerintah Kabupaten Bekasi menolak mencabut penyegelan, dan mengajukan banding ke PT TUN Jakarta.

Pada 5 Mei 2011, HKBP Filadelfia dimenangkan PT TUN Jakarta dengan menguatkan putusan PTUN Bandung. Pemkab Bekasi mengajukan Kasasi ke Mahakamah Agung. Pada Juni 2011, kasasi ini ditolak. Toh, rangkaian keputusan hukum ini tak serta merta membuat jemaat HKBP Filadelfia bisa beribadah di dalam gereja.

Selain menghadapi terik matahari saat beribadah, jemaat harus menghadapi diskriminasi dari warga setempat. Ardus Simanjuntak bercerita ada orang-orang yang menolak keberadaan gereja berusaha menghalang-halangi jemaat beribadah. Salah satunya dengan cara menaruh kotoran di halaman gereja, padahal halaman itu digunakan jemaat untuk beribadah.

“Jadi pagi-pagi, kami harus bersihkan dulu kotoran tersebut,” ucapnya.

Puncaknya saat perayaan Natal 2011. Jemaat kesulitan menggelar ibadah lantaran gangguan yang mereka hadapi mulai frontal. “Ada [jemaat] yang diadang di jalan, alasannya gereja ini disegel,” ujar Simanjuntak.

Pengalaman itu yang kemudian membuat mereka menggelar peribadatan secara rutin di depan Istana Merdeka. Hingga kini sudah 166 kali jemaat HKBP Filadelfia menggelar ibadah di depan Istana Negara.

Simanjutak berharap pemerintah pusat bisa membantu mereka berkomunikasi dengan Pemda Bekasi agar mereka bisa kembali beribadah di dalam gereja.

“Kami ingin tunjukkan kepada pemerintah pusat soal nasib kami. Kami hanya berharap pemerintah daerah betul-betul terketuk hatinya dan pemerintah pusat bisa membantu kami berkomunikasi dengan mereka,” kata Ardus Simanjuntak.

Sepercik Titik Cerah

Hambatan beribadah tanpa rumah ibadah sudah lebih lama dialami jemaat GKI Yasmin. Renata Anggraini mengisahkan jemaat harus berpindah dari satu rumah ke rumah lain untuk tetap bisa beribadah. Langkah itu dilakukan sejak 2008.

Sejak izin mendirikan bangunan milik GKI Yasmin dicabut, 120 jemaat harus mencari tempat baru agar bisa beribadah. Jika lokasi rumah mulai dipersoalkan, jemaat GKI Yasmin terpaksa beribadah di trotoar jalan.

Kegiatan ibadah mereka pun dihalang-halangi. Kerap kali misa yang mereka gelar dihalangi kelompok tertentu. Bahkan, pelarangan dilakukan dengan tindakan fisik.

“Mereka menghalangi ibadah kami. Teriak-teriak memakai uniform dengan membawa bambu,” ujar Anggraini.

Meski mendapat tekanan, jemaat tak pernah goyah. Mereka terus berupaya untuk mendapatkan IMB buat gereja mereka. Awal 2016, pemerintah Kota Bogor mulai membuka pintu komunikasi.

Wali Kota Bima Arya kemudian membuat "tim teknis" untuk merancang konsep pembangunan kawasan peribadatan yang baru. Nantinya, GKI Yasmin akan bersanding sebuah masjid.

“Kami percaya perjuangan kami bukan hanya memperjuangkan sepetak tanah 1.700 meter persegi, tapi kemerdekaan buat beribadah,” tutur Anggraini.

Infografik Kasus Tempat Ibadah

Baca juga artikel terkait PERAYAAN PASKAH atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Mufti Sholih