Menuju konten utama

Mentersangkakan Mendiang Laskar FPI, Upaya Polisi Cari Selamat?

Polri mentersangkakan 6 anggota laskar FPI yang telah meninggal dunia. Bagi guru besar Undip itu adalah upaya polisi agar tak dituding melanggar hukum.

Mentersangkakan Mendiang Laskar FPI, Upaya Polisi Cari Selamat?
Tim gabungan dari Polres Metro Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya dan Dandim Jakarta Pusat menggeruduk Markas FPI di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu sore, (30/12/2020). Polisi dan TNI memaksa anggota FPI yang berada di lokasi untuk mencopot semua atribut FPI dan poster Rizieq Shihab yang ada di markas. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Polri menyematkan status tersangka kepada enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas ditembak polisi dalam insiden KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 dini hari. Andi Oktiawan, Ahmad Sofiyan alias Ambon, Faiz Ahmad Syukur, Muhammad Reza, Lutfi Hakim, dan Muhammad Suci Khadavi dijerat Pasal 170 KUHP.

Keterangan ini awalnya disampaikan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi, Rabu (3/3/2021) kemarin. “Sudah ditetapkan tersangka,” kata Andi. Berkas penyidikan telah dikirim ke jaksa.

Kasus ini terbagi dalam dua perkara: pertama, baku tembak polisi dengan laskar yang mengakibatkan dua anggota laskar meninggal; kedua, penembakan empat anggota laskar di dalam mobil polisi karena dituding melawan. Ketika itu mereka tengah mengawal Rizieq Shihab yang hendak menghadiri pengajian keluarga.

Hariadi Nasution, ketua tim advokasi kasus kematian laskar, mengatakan penetapan tersangka terhadap orang yang sudah tidak ada di dunia keliru. Polisi melanggar Pasal 77 KUHP yang menyebut kewenangan menuntut dihapus jika tertuduh meninggal. “Pernyataan polisi tersebut menempatkan dirinya di atas UU atau lebih tinggi dari UU,” ujar Hariadi kepada reporter Tirto, Kamis (4/3/2021).

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur juga berpendapat serupa. Menurutnya, menetapkan tersangka terhadap orang yang sudah meninggal tidak logis karena mereka tak lagi dapat membela diri dan mengajukan saksi meringankan.

Jika mengikuti logika yang sama, menurutnya “seharusnya kepolisian juga meneruskan kasus Soeharto dan lain-lain.”

Kasus pidana Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia, ditutup pada 2006 lalu karena ia sakit permanen yang oleh pengadilan dianggap sama dengan meninggal dunia. Soeharto sendiri benar-benar meninggal pada 2008.

Dengan juga berpegang pada Pasal 77 KUHP, Isnur menyebut tindakan polisi akan “berbahaya jika dianggap sebagai standar penegakan hukum.” “YLBHI menyarankan tidak meneruskan proses hukum ini agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan juga tidak membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum,” ujarnya dalam keterangan tertulis, kemarin.

'Menyelamatkan Polisi'

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Suteki mengatakan penetapan tersangka akan membuat polisi yang diduga melakukan penembakan terhadap empat anggota laskar di dalam mobil terbebas dari tuduhan unlawfull killing. Ia juga membentuk anggapan bahwa para personel laskar memang mencoba melawan dan layak mendapat tindakan “tegas dan terukur”--alias didor.

“Atas logika yang dibangun ini diharapkan nama dan kehormatan institusi kepolisian dapat diselamatkan,” ujar Suteki kepada reporter Tirto, Kamis.

Dampak lanjutannya, wajah kepolisian akan terselamatkan di dunia internasional karena telah bertindak tegas terhadap kelompok yang dituding berhaluan “radikal” dan fundamentalis. Dan menurut Suteki akan “menghambat proses pembuktian di Mahkamah Internasional.”

“Semestinya perkara dapat diberhentikan pada tahap penyelidikan, tanpa perlu ada penetapan seseorang yang sudah meninggal menjadi tersangka,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat kekeliruan polisi dalam penetapan tersangka juga karena sejauh ini belum ada investigasi yang efektif terhadap aparat yang diduga membunuh personel laskar. Usman meminta polisi untuk fokus terhadap temuan Komnas HAM dan mulai menyelidiki petugas yang diduga melakukan pembunuhan di luar proses hukum.

“Petugas yang diduga terlibat dalam tindakan pembunuhan di luar proses hukum tersebut harus segera dibawa ke pengadilan pidana secara terbuka, dengan mematuhi kaidah-kaidah peradilan yang adil atau fair trial,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Kamis.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan penetapan tersangka harus dilakukan karena “pertanggungjawaban hukumnya harus ada”, “Artinya bahwa proses terhadap perbuatan awal kejadian itu tetap kami proses,” katanya di KPK, Kamis.

Pada hari yang sama, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan Bareskrim Polri resmi menghentikan kasus penyerangan di Tol Jakarta-Cikampek. “Dengan begitu, penyidikan serta status tersangka sudah gugur,” ujar Argo Yuwono dalam keterangan tertulis.

Terkait dengan dugaan pembunuhan di luar hukum, Argo menyebut ada tiga polisi dari jajaran Polda Metro Jaya yang sudah berstatus terlapor. Hal itu sesuai instruksi Kapolri untuk menjalankan rekomendasi dan temuan Komnas HAM. “Saat ini masih terus berproses,” sambung Argo.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN LASKAR FPI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino