Menuju konten utama

Menteri Prabowo dan Ironi Utang Triliunan untuk Alutsista

Prabowo kerap mengritik kebijakan utang Jokowi. Kini, sebagai Menhan, mau tak mau ia harus kelola utang triliunan untuk alutsista.

Menteri Prabowo dan Ironi Utang Triliunan untuk Alutsista
Ilustrasi Anggaran Kemenhan. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Negara yang terus menambah utang untuk bayar utang, dan menambah utang untuk membayar kebutuhan rutin pemerintahan yaitu membayar gaji pegawai negeri,” kata Prabowo, 14 Januari 2019.

“Utang menumpuk terus, kalau menurut saya jangan disebut lagi lah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang,” ujar Prabowo, 26 Januari 2019.

“KPK mengatakan yang bocor Rp2000 triliun. Selama ini kami katakan Rp1000 triliun hilang. Bayangkan kalau lima tahun lagi yang hilang Rp10.000 triliun, bayangkan apa yang bisa kita bangun dengan utang sekian,” kata Prabowo lagi, April 2019.

Tiga kritikan keras Prabowo terhadap pemerintah saat itu ada benarnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam dokumen APBN Kita Edisi Januari 2019, posisi utang Indonesia memang berada pada Rp4.418,3 triliun. Naik sekitar 10,6 persen dibanding akhir Desember 2017 yang mencapai Rp3.995,25.

Namun, kritik itu dijawab tenang oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman berada di angka 30 persen. Ia memintanya membandingkan dengan rasio utang negara lain, misalnya saja di kawasan Asia Tenggara.

Dari data Global Finance pada akhir 2018, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih yang terendah kedua di Asia Tenggara, setelah Brunei dengan rasio hanya 2,3 persen.

Terlepas dari rasio utang yang masih aman itu, Prabowo kini harus menerima karma atas kritiknya. Setelah menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo menjadi bagian dari pemerintah yang sering dikritiknya karena utang yang menumpuk. Bahkan, kementerian yang digawanginya pun kini sebagian anggarannya menggunakan utang.

Dalam buku Himpunan RKA K/L TA 2020, Kementerian Pertahanan akan mendapat alokasi anggaran Rp127,357 triliun sebelum akhirnya dinaikkan menjadi Rp131 triliun pada APBN 2020.

Dari anggaran tersebut, tujuh persen di antaranya berasal dari utang luar negeri yakni sebesar Rp9,05 triliun. Jika dibandingkan dengan kementerian/lembaga lain, jelas angka ini menjadi yang terbesar, kemudian disusul Kementerian PUPR sebesar Rp5 triliun dan Polri sebesar Rp1,8 triliun.

Namun, jika dibandingkan dengan anggaran tahun-tahun sebelumnya, pinjaman luar negeri Kementerian Pertahanan cenderung fluktuatif.

Misalnya saja di 2016 yang hanya mendapat alokasi Rp3 triliun. Kemudian meningkat drastis pada 2018 sebesar Rp 11,73 triliun. Namun lantaran realisasinya hanya 78 persen, yakni sekitar Rp9 triliun, maka pada 2019 dan 2020, sumber dana itu disesuaikan menjadi Rp9 triliun.

Utang untuk Alutsista

Kembali melihat Buku Himpunan RKA K/L TA 2020, jumlah pinjaman luar negeri itu seluruhnya akan digunakan untuk program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Pertahanan yang total berjumlah Rp15 triliun.

Menurut Direktur Anggaran bidang Polhukam Kementerian Keuangan Dwi Pudjiastuti Handayani, itu artinya belanja modal yang di dalamnya termasuk pengadaan alutsista. Sementara sisa Rp6 triliun akan diperoleh dari rupiah murni.

“PLN (Pinjaman Luar Negeri) 2020 itu bukan PLN baru. Tetapi PLN yang on going, yang loan agreementnya sudah ditandatangani beberapa tahun lalu,” ujar Handayani.

Kendati Presiden Jokowi sempat menginstruksikan untuk mengedepankan pembelian alutsista dalam negeri mulai dari hulu hingga ke hilir, namun menurut Kemenkeu, utang luar negeri tersebut tetap harus dilakukan mengingat ada beberapa spek tertentu pada alutsista yang tidak bisa dipenuhi hanya bermodal pembiayaan dari dalam negeri.

Tidak hanya itu, dalam buku II nota keuangan beserta RAPBN 2020 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan mendapat porsi pinjaman dalam negeri (PDN) yang lumayan.

Dalam nota keuangan itu dituliskan pinjaman dalam negeri (neto) dalam APBN 2020 yang direncanakan sebesar Rp1,296 triliun ini akan difokuskan untuk upaya pemberdayaan industri dalam negeri untuk pengadaan alutsista dan almatsus pada Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara RI dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan stabilitas keamanan nasional.

Harus Kuat Modal

Pada APBN 2020, pengadaan alutsista mendapat alokasi Rp14,53 triliun untuk tiga Matra, Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Untuk pengembangan sarana dan prasarana matra darat, alokasi anggaran mencapai Rp1,735 triliun. Rinciannya berupa; rumah prajurit TNI AD sebanyak 1.110 unit, Pos Pamtas sebanyak 8 pos, dan lanjutan pembangunan Divisi 3 (Kostrad, Kodam dan Yon Komposit).

Sementara untuk Matra Laut, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp2,117 triliun, antara lain untuk melanjutkan Sarpras Koarmada III dan Pasmar-3 Sorong. Kemudian dialokasikan pula untuk pemeliharaan/perawatan Alpung, KRI, Kal dan Ranpur/Rantis untuk 143 unit sebesar Rp3, 139 triliun. Matra Udara mendapat alokasi sebesar Rp5,072 triliun untuk pemeliharaan/perawatan 228 unit pesawat.

Pada Oktober 2019, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Yuyu Sutisna sempat mengatakan pihaknya berencana membeli pesawat baru pada Resntra 2020-2024. Ia mengatakan, wilayah udara Indonesia akan diperkuat dengan pesawat super canggih keluaran terbaru dari Lokheed Martin, perusahaan produsen pesawat asal Amerika Serikat, F-16 Block 72 Viper. TNI AU berencana akan membeli dua skuadron yang akan dilakukan secara bertahap mulai 2020-2024.

Selain rencana pembelian F-16, Matra Udara juga memperkuat diri dengan rencana pembelian Sukhoi SU-35 asal Rusia sebanyak 11 unit.

Jika pemerintah Indonesia serius membeli dua pesawat super canggih itu maka setidaknya Kementerian Pertahanan harus menyediakan anggaran belanja modal yang cukup gemuk.

Harga per unit F-16 dengan spek Block 72 Viper sebesar 14 hingga 18 juta USD atau setara dengan Rp252 miliar. Jika dikalikan dengan dua skuadron (asumsi satu skuadron = 12 unit) seperti rencana TNI AU, maka pemerintah Indonesia harus menyiapkan Rp6 triliun untuk melengkapi skuadron tersebut.

Jika ingin menambah kekuatan dengan 11 unit SU-35 seharga 40 sampai 65 juta USD per unit, maka pemerintah harus menyediakan anggaran sebesar sekitar Rp10 triliun.

Infografik HL Indepth Kemenhan

Utang Luar Negeri Demi Alutsista. tirto.id/Lugas

Sementara itu TNI AD sudah memiliki alutsista mumpuni. Menurut Global Fire Power, TNI Angkatan Darat memiliki 315 tangker perang dan kendaraan berawak 1,3 ribu, artileri otomatis 141 dan 356 artileri manual serta 36 proyektor misil.

Di Matra Udara, TNI AU memiliki 62 transportasi udara, 192 helikopter, 8 di antaranya helikopter perang. Sementara TNI AL memiliki 8 frigate, 24 corvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli, dan 11 pangkalan perang.

Melihat dari matriks capaian dan target prioritas Kementerian Pertahanan, maka pada 2020 Kemenhan hanya memiliki target untuk dukungan pengadaan alutsista sebanyak satu paket. Dukungan pengadaan munisi kaliber kecil 235.717 butir. Dukungan pengadaan/penggantian kendaraan tempur sebanyak 16 unit. KRI, Kal, Alpung, dan Ranpur/Rantis Matra Laut sebanyak 14 unit. Peningkatan kesiapan pesawat udara sebanyak 4 unit.

Dari sini terlihat, kekuatan Matra Udara menjadi yang paling lemah. Beberapa punggawa andalannya seperti F5 Tiger bahkan sudah mulai dipensiunkan dan belum ada penggantinya.

Peningkatan anggaran Kemenhan menjadi yang terbesar lantas seolah tak ada artinya jika tidak berfokus pada modernisasi alutsista yang diproyeksikan dalam anggaran.

Baca juga artikel terkait DANA ALUTSISTA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Mild report
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Mawa Kresna