Menuju konten utama

Menteri Pertanian: Masalah Swasembada Beras Sudah Selesai

"Tahun 1984, jumlah penduduk Indonesia 160 juta jiwa, sementara sekarang mencapai 260 juta jiwa. Artinya naik dua kali lipat. Dengan demikian, masalah swasembada beras sudah selesai".

Menteri Pertanian: Masalah Swasembada Beras Sudah Selesai
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman (kanan) bersama Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso (kiri) melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pasar Beras Induk Cipinang (PIBC), Jakarta, Kamis (8/11/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa masalah swasembada beras di Indonesia telah selesai. Ia mengeklaim bahwa Indoneisa pada periode pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah mencapai swasembada beras.

Dalam keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri Pertanian, ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.

Angka itu kata dia telah dicapai oleh pemerintahan Jokowi-JK. Namun ia menyayangkan banyak pihak termasuk akademisi dan politisi yang belum paham makna swasembada dan status swasembada Indonesia yang sebenarnya.

"Di tahun 1984, jumlah penduduk Indonesia 160 juta jiwa, sementara sekarang mencapai 260 juta jiwa. Artinya naik dua kali lipat. Dengan demikian, masalah swasembada beras sudah selesai. Ini yang harus dipahami, supaya masyarakat tidak dibuat bingung," ujar Amran, Minggu (17/2/2019).

Amran mengatakan dari tahun 2016 sampai 2018, Indonesia sudah surplus beras. Pada 2016 dan 2017 tidak ada impor, kalaulah ada impor pada 2016 menurutnya itu adalah limpahan impor 2015.

Kemudian tahun 2018 ia menyebut surplus beras sebanyak 2,85 juta ton. Kata Amran itu berdasarkan data resmi dari BPS, adapun impor 2018 sebagai cadangan.

Amran menekankan bahwa pembangunan pertanian tidak hanya mengurus beras, akan tetapi sektor pertanian memiliki 460 komoditas yang harus dijaga siang malam. Dan ekspor komoditas pertanian 2018 kata dia melejit yakni 29,7 persen.

"Kemudian stok beras sebagai cadangan saat ini 2 juta ton. Cadangan itu, kalau stok intinya tidak ada masalah, nanti terpakai atau tidak dipakai. Standar cadangan beras nasional 1 juta ton, artinya cadangan beras kita sekarang 2 kali lipat," jelasnya.

Lanjut Amran, berdasarkan data BPS, stok beras yang berada di rumah tangga mencapai 8 sampai 9 juta ton. Dengan demikian, jika ditambah stok beras di Bulog 2 juta ton, stok beras nasional saat ini mencapai 10 sampai 11 ton. Jika konsumsi beras nasional 2,5 juta ton, artinya stok beras yang kita punya bisa mencukupi kebutuhan selama empat bulan.

"Kita masih punya produksi padi dari standing crop atau yang tanaman padi yang berdiri hari ini 3,88 juta hektare (ha), jika produktivitas 5,3 ton per ha, menghasilkan beras 20 juta ton gabah kering giling, kalau dibagi dua, menghasilkan beras 10 juta ton. Total beras ini mampu mencukupi kebutuhan empat bulan. Dengan demikian, stok beras aman hingga 8 bulan ke depan," tegas Amran.

Harus dicatat juga, tegas Amran, Kementan terus mendorong transformasi pertanian dari pertanian tradisional ke pertanian modern. Dengan modernisasi target peningkatan produksi hasil pertanian menjadi lebih visibel untuk diwujudkan.

"Artinya setiap hari terjadi olah tanah, tanam dan panen. Jangan dibayangkan pertanian Indonesia seperti 30 tahun lalu. Makanya penduduk dua kali lipat dari 1984, kita bisa memberi makan," ucapnya.

Sementara itu, Sekertaris Jendral Kemeterian Pertanian, Syukur Iwantoro menyampaikan terkait polemik swasembada beras, bahwa hal ini diperkuat dengan data BPS yang menggunakan metode baru KSA (Kerangka Sampel Area) bahwa Indonesia masih mengalami surplus beras sebesar 3,1 juta ton sampai dengan akhir Desember 2018.

"Artinya di era pemerintah Jokow-JK, impor beras yang dilakukan sangat rendah dan terkendali. Kalaupun ada, itu lebih ditujukan untuk memperkuat stok beras nasional," kata Syukur.

Harus diakui kata dia dalam dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia juga pernah melewati fenomena iklim El Nino dan La Nina secara berurutan. Fenomena tersebut dinilai terberat sepanjang 71 tahun terakhir.

"Tantangan yang sangat berat, tidak pernah ada el nino di Indonesia selama 71 tahun seberat tahun 2015. Bahkan Intensitasnya 2,44 persen, lebih besar dari El Nino di tahun 1997/1998 yang hanya 1,9 persen. Dan kita berhasil melaluinya dengan baik," kata Syukur

Sementara itu Menteri Amran disaat menerima para pengurus Ikatan Pengusaha Wanita Indoneaia (IWAPI) di Bandung (13/2/2019) juga menyampaikan sejumlah pencapaian dalam sektor pertanian selama empat tahun terakhir (2014-2018) yang sangat memuaskan.

Menurut dia, ekspor komoditas pertanian strategis (kelapa sawit, kakao, karet, kopi, dan komoditas pertanian lain) mengalami peningkatan signifikan. Perinciannya kelapa sawit naik 22,5 persen, karet 21,3 persen, dan kopi 28,6 persen.

"Secara keseluruhan ekspor pertanian naik 29% di 2018," ujar Amran.

Selain itu, Amran menyebut inflasi bahan makanan/pangan juga mengalami penurunan. Dari 10,57% di 2014 menjadi 1,26% di 2017. "Inflasi ini ekstrem penurunannya," kata dia.

Amran juga menyebut nilai investasi pertanian juga terus mengalami peningkatan. Apabila pada 2016 nilainya Rp 45,4 triliun, maka berturut-turut pada 2017 dan 2018 masing-masing tercatat Rp45,9 triliun dan Rp61,6 triliun.

Faktor utama yang mendorong peningkatan nilai investasi adalah deregulasi yang dilakukan Kementan. "Kami cabut 219 permentan (peraturan menteri pertanian) yang menghambat investasi," ujar Amran.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA BERAS atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Agung DH