Menuju konten utama

Menteri Enggar "Ugal-ugalan" dalam Impor, Kok Jokowi Diam Saja

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai Jokowi lemah lantaran tak mengganti Menteri Perdagangan di tengah derasnya barang impor.

Menteri Enggar
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/6/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/pd.

tirto.id - Kekalahan Indonesia oleh Brasil di World Trade Organization (WTO) menambah daftar panjang serbuan barang impor yang masuk ke dalam negeri. Terlepas dampak impor daging bagi peternak ayam, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan keputusan ini harus dijalankan apapun konsekuensinya karena dapat memancing respons negara tetangga.

“Tidak ada pilihan lain untuk kita menyesuaikan sesuai rekomendasi dari WTO,” ucap Enggar, Rabu (7/8/2019) seperti dikutip dari Antara.

Hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih.

Kemudian ada juga kritik pada impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi.

Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik.

Tak hanya itu, masuknya produk semen asing ke Indonesia juga menuai persoalan. Sebab, produksi semen Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun.

Belum lagi, dari sejumlah kebijakan impor yang dikeluarkan juga kerap bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 9 Agustus 2019 lalu, KPK menangkap 11 orang terkait suap impor bawang putih.

Nama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bahkan terseret dalam kasus dugaan gratifikasi impor pupuk oleh anggota DPR RI nonaktif, Bowo Sidik Pangarso. KPK pernah menggeledah kantor Enggar dan menyita dokumen impor gula rafinasi.

KPK juga sudah tiga kali memanggil Enggar untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut, namun ia mangkir.

Presiden Joko Widodo sebenarnya mengatahui bila dampak dari derasnya impor ini membuat defisit neraca perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1,93 miliar dolar AS per Juli 2019 dibandingkan capaian year on year 2018. Belum lagi, sepanjang 2018 defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang terdalam dengan nilai 8,70 miliar dolar AS selama periode pertama Jokowi.

Namun, Jokowi tak menegur Enggar soal impor. Perhatian Jokowi lebih terarah pada mandeknya ekspor yang tak kunjung mampu mengimbangi impor. Sampai-sampai Jokowi ingin membuat kementerian ekspor dan investasi.

Dinilai Lemah

Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mempertanyakan sikap Jokowi karena tak kunjung berani mengganti Enggar. Yudhistira menilai Jokowi menampilkan kesan lemah dengan terus menunda keputusan itu.

Dalam setahun terakhir kepemimpinan Jokowi, Yudhistira menilai mencuatnya kasus hukum yang mengarah kepada menteri terkait juga seharusnya menguatkan alasan Jokowi untuk mengganti Enggar.

Yudhistira menjelaskan, kebijakan impor jelas kontradiktif dengan keinginan Jokowi untuk kemandirian ekonomi. Ia beralasan kebijakan impor diambil tanpa mempertimbangkan perlindungan ekonomi dalam negeri.

“Ini menunjukkan presiden lemah kalau tidak (berani) me-reshuffle menteri Enggar,” kata Yudhistira saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/8/2019).

Atas dasar itu, Yudhistira menilai reshuffle posisi menteri perdagangan tidak perlu menunggu Oktober 2019 ketika masa jabatan berakhir. Sebab, kata dia, impor yang dilakukan "ugal-ugalan" dikhawatirkan membuat pelaku usaha enggan menaikkan kapasitas produksi lantaran produknya dikalahkan barang-barang impor yang membanjiri pasar.

"Jokowi harus melakukan reshuffle sebelum bulan Oktober. Jadi kepastian buat pelaku usaha domestik. Kalau impor dilakukan ugal-ugalan pelaku usaha bisa menurunkan kapasitas produksinya," tegasnya.

Kinerja Perdagangan Indonesia Jadi Sorotan

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Mudrajad Kuncoro menilai kinerja perdagangan Indonesia dalam setahun terakhir memang layak dipersoalkan karena kerap defisit. Namun, Mudrajad mengatakan masalah ini tergolong struktural sehingga tak hanya Menteri Enggar saja yang perlu diganti.

Mudrajad mencontohkan masalah pengembangan industri Indonesia yang belum maju ke tahap pekerja terampil dan penelitian seperti Samsung di Korea Selatan.

Sebaliknya, fokus industri dan ekspor masih mandek pada tenaga kerja dan komoditas berbiaya murah seperti sawit dan mineral tambang. Bahkan, kata dia, untuk pemenuhan komoditas pertanian dalam negeri pun belum sepenuhnya dipacu, tetapi mengandalkan impor.

Atas dasar itu, Mudrajad menyebutkan posisi Menteri Pertanian dan Perindustrian juga perlu diganti di samping Enggar. Bila hal itu dilakukan, Mudrajad yakin kesempatan Jokowi 5 tahun berikutnya bisa dimanfaatkan dengan baik menyelesaikan masalah defisit ini.

“Kalau itu kan hak prerogatif presiden. Itu diganti aja gak masalah. Saya kira gak hanya perdagangan saja ya, tapi pertanian juga industri,” ucap Mudrajad saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/8/2019).

Menanggapi hal itu, Deputi IV Kantor Staf Presiden bidang Komunikasi Politik, Eko Sulistyo enggan bicara soal performa Enggar dalam masalah impor.

Sementara mengenai masalah hukum, Eko mengatakan presiden bukan menunjukan sikap lemah melainkan menerapkan asas praduga tak bersalah. Ia mengatakan Enggar belum terbukti melakukan suatu tindak pidana.

“Presiden tidak bisa me-reshuffle pembantunya hanya karena misalnya ada yang diperiksa sebagai saksi. Tentu akan terjadi opini Presiden bertindak melampaui hukum karena akan ada opini yang menggiring seolah menteri tersebut bersalah,” kata Eko saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/8/2019).

“Jadi jangan dibawa kewenangan presiden untuk melampaui hukum dan kemudian dibilang lemah,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN IMPOR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan