Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Mental Kere Penyebab Subsidi Energi Dinikmati Orang Kaya, Benarkah?

Fahmy pesimistis penerapan aplikasi MyPertamina akan mendukung kebijakan pembatasan pembelian pertalite dan solar subsidi.

Mental Kere Penyebab Subsidi Energi Dinikmati Orang Kaya, Benarkah?
Petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) melayani pelanggan di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (29/6/2022). ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/wsj.

tirto.id - “Dengan subsidi mencapai Rp520 triliun, justru akhirnya yang banyak menikmati adalah kelompok yang kaya.”

Pernyataan itu diungkapkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengan Banggar DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Sri Mulyani secara terang-terangan sebut subsidi pemerintah via bahan bakar minyak, listrik dan LPG 3 kilogram masih dinikmati orang kaya. Hal itu tidak lepas dari metode subsidi Indonesia yang masih terbuka.

“Itu kemungkinan besar bahwa yang menikmati [subsidi energi] kelompok yang mampu lebih banyak, itu memang terjadi,” kata Sri Mulyani.

Presiden Joko Widodo sebelumnya juga mengeluhkan soal subsidi energi yang tinggi. Saat Rakernas II PDIP di Leteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (21/6/2022), Jokowi sempat menyinggung soal krisis keuangan, energi dan pangan akibat pandemi COVID hingga dampak perang Ukraina-Rusia.

Jokowi mengaku, tidak sedikit negara mengalami kesulitan akibat tidak memiliki cadangan devisa yang memadai. Negara-negara sulit karena harus impor pangan dan energi di tengah kelangkaan pangan dan energi. Di sisi lain, negara-negara terjebak utang pinjaman tinggi.

Di salah satu poin pidato, Jokowi bercerita soal harga BBM di Indonesia yang tetap di angka Rp7.650 per liter untuk pertalite dan BBM jenis pertamax Rp12.500 per liter. Harga ini ia komparasikan dengan negara lain seperti Singapura dan Jerman (Rp31.000 per liter) atau Thailand (Rp20.000).

Mantan Wali Kota Solo itu menuturkan bahwa pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi agar harga BBM tidak berubah. Ia mengaku, nominal subsidi BBM sudah tembus Rp502 triliun demi menjaga harga tetap stabil. Jokowi berseloroh biaya subsidi yang diberikan sudah setara biaya pembangunan ibu kota baru.

“Besar sekali (subsidi yang diberikan) bisa dipakai untuk membangun ibu kota satu. Karena angkanya sudah 502 triliun rupiah. Ini semua kita harus ngerti,” kata Jokowi.

Pertamina sebagai perusahaan pelat merah yang selama ini menerima penugasan BBM bersubsidi juga sebut bila subsidi energi di Indonesia tidak tepat sasaran. Mereka mengklaim mayoritas subsidi energi justru dinikmati orang kaya.

“60 persen masyarakat mampu atau yang masuk dalam golongan kaya ini mengonsumsi hampir 80 persen dari total konsumsi BBM bersubsidi,” kata Irto Ginting, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga saat Press Conference di Graha Pertamina Jakarta, ditulis Jumat (1/7/2022).

Pertamina, kata Irto, berupaya agar subsidi yang diberikan tepat sasaran. Ia menyinggung upaya menciptakan mekanisme penyaluran BBM subsidi tersebut adalah aturan pelaksana dari Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 serta Surat Keputusan (SK) Kepala BPH Migas No 04/P3JBT/BPH Migas/KOM/2020. Regulasi tersebut jelas menetapkan segmentasi pengguna, kuota mengenai penyaluran BBM subsidi, namun di lapangan masih tidak tepat sasaran.

“Oleh karena itu, Pertamina Patra Niaga sebagai pelaksana penugasan berinisiatif mengembangkan mekanisme baru untuk memastikan penyaluran di lapangan tepat sasaran,” kata Irto.

Mengapa Tak Tepat Sasaran?

Pemerhati isu energi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Yogyakarta, Fahmy Radhi tidak memungkiri bahwa salah satu faktor dominan subsidi tidak tepat sasaran akibat perilaku masyarakat yang lebih memilih untuk membeli energi subsidi. Hal itu tidak terlepas dari harga yang berbeda jauh antara komoditas energi subsidi dengan harga pasar sesuai kekonomian. Misal BBM jenis pertalite atau LPG 3 kg.

“Sebagian masyarat price elasticity tinggi, artinya keputusan membeli BBM didasarkan pada murahnya harga,” kata Fahmy saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (1/7/2022).

Fahmy menjelaskan saat ini harga minyak dunia meroket hingga 105 dolar AS per barel melebihi batas ICP yang ditetapkan pemerintah sebesar 63 dolar AS per barel. Selisih angka membuat pemerintah memberikan subsidi energi yang memberatkan APBN.

“Masalahnya, sebagian besar subsidi salah sasaran, sehingga pemerintah perlu membatasi [keriteria yang bisa beli] pertalite, solar dan LPG 3 kg,” kata Fahmy.

Sebab, kata Fahmy, selama ini orang yang tidak berhak pun membeli barang yang sudah disubsidi. “Publik pemilik mobil, yang tidak berhak [akhirnya] menerima [BBM] subsidi,” kata mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas tersebut.

Fahmy menilai, tujuan pembelian BBM subsidi lewat aplikasi MyPertamina yang dicanangkan pemerintah berupaya mencegah konsumen yang tidak berhak tersebut. Masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi energi didorong agar bermigrasi ke BBM non-subsidi seperti pertamax.

Akan tetapi, Fahmy pesimistis kebijakan penerapan aplikasi MyPertamina akan mendukung kebijakan pembatasan pembelian pertalite dan solar. Sebab, kata dia, tidak semua konsumen punya alat untuk akses aplikasi. Selain itu, tidak semua SPBU punya akses internet untuk mengakses aplikasi MyPertamina.

“Dengan potensi masalah tersebut, pembatasan pertalite via MyPertamina sebaiknya dibatalkan,” kata Fahmy menambahkan.

Fahmy pun menyarankan agar pemerintah lebih baik mendorong publik untuk menggunakan pertamax daripada menggunakan aplikasi. “[Masyarakat yang mampu] dipaksa untuk migrasi ke pertamax melalui pembatasan pertalite,” kata Fahmy.

Data Pemerintah Lemah

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, pemerintah tidak punya data spesifik sehingga menerapkan kebijakan beli BBM subsidi melalui aplikasi MyPertamina. Ia justru ragu pemerintah punya data konkret pemberian subsidi tepat sasaran karena kebijakan pendataan lewat aplikasi MyPertamina.

“Kalau selama ini pemerintah punya data orang kaya yang memakai subsidi energi, kenapa masyarakat harus daftar MyPertamina? Itu artinya pemerintah sebenarnya tidak punya data yang valid. Kalau baru didata, ya artinya belum punya data, kan,” kata Bhima kepada reporter Tirto.

Bhima juga menilai janggal pandangan pemerintah yang tidak membuat subsidi tepat sasaran ketika disparitas harga BBM subsidi dan non-subsidi belum tinggi di masa lalu. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah baru heboh soal subsidi setelah disparitas harga BBM subsidi dan non-subsidi sangat jauh.

Ia lantas menyoalkan apakah 115 juta kelas menengah Indonesia dan 60 juta UMKM tidak butuh subsidi dan dinilai kaya? Pemerintah, kata Bhima, seharusnya memberi subsidi, tetapi malah ingin mencari upaya lain.

“Ini, kan, pemerintah sedang surplus APBN, tapi uangnya pelit untuk masuk ke subsidi energi, maunya dimasukkan ke proyek infrastruktur biar cepat selesai jelang Pemilu 2024. Masyarakat bisa membaca motif itu,” kata Bhima.

Bhima pesimistis bahwa angka subsidi terus melonjak akibat masyarakat yang pakai mobil mewah mengisi BBM subsidi atau masyarakat kaya menikmati subsidi LPG 3 kg atau gas melon. Bhima memberikan ilustrasi kasus pertalite yang digunakan untuk mobil mewah. Bhima sebut, masyarakat tentu memperhatikan soal kenyamanan berkendara.

“Kalau ditanyakan balik, berapa banyak data orang kaya yang pakai pertalite? Pasti tidak bisa jawab karena enggak ada datanya,” kata Bhima.

Bhima menambahkan, “Sebenarnya mitos-mitos itu dicipakan agar penghematan subsidi dicapai, tapi sisa anggaran dialihkan ke proyek yang tidak berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.”

Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih baik menambahkan anggaran subsidi energi. Ketika harga minyak turun dan harga BBM non-subsidi tidak memiliki perbedaan harga yang jauh, maka pemerintah baru menyesuaikan besaran subsidi. Pemerintah lebih baik melepas proyek infrastruktur dan berhemat sebagai solusi agar APBN tidak terjepit.

“Karena sekarang ada ancaman resesi, inflasi pangan naik, bisa terjadi beban ganda ke konsumsi rumah tangga secara luas. Setop dulu proyek mercusuar dan penghematan dari insentif pajak yang tidak tepat sasaran bisa dilakukan,” kata Bhima.

Subsidi Tak Tepat Sasaran Basisnya Harus Data

Peneliti kebijakan publik dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro menegaskan, pemerintah tidak boleh menghilangkan subsidi. Ia mengingatkan bahwa esensi subsidi adalah bukti negara peduli pada rakyat dalam berbagai sektor.

Namun masalah subsidi tidak sekadar diberikan, tapi juga bagaimana tepat sasaran dan tepat guna. Kunci tepat sasaran ada pada pengelolaan data, sementara Indonesia tidak pernah punya data yang akurat dan terpercaya dalam melakukan kebijakan.

“Data itu dari dulu, Indonesia sejak lahir ini persoalan memang [data]. Kita gak punya data yang bisa dipercaya, dipegang secara erat dan baik. Nah itu enggak heran kemudian tudingan-tudingan bahwa subsidi tidak tepat sasaran itu selalu muncul,” kata Riko kepada Tirto, Jumat, 1 Juli 2022.

“Jadi pemerintah ayuk gunakan data yang akurat. Kalau untuk minyak, untuk bahan bakar tentu basis pertama adalah jenis kendaraan. Yang kedua lokasi kendaraan itu berada,” kata Riko.

Akan tetapi, Riko melihat ada tantangan pendataan yang tepat di masyarakat, terutama perkotaan. Ia beralasan, masyarakat perkotaan bisa cepat berganti kendaraan, misalnya membeli motor varian A ke motor varian B.

Di sisi lain, masalah yang kerap dilupakan sehingga subsidi menjadi besar adalah kebocoran data. Riko menilai, Pertamina masih belum jujur karena masih ada aktor-aktor sektor energi yang juga mengakali subsidi. Sebagai contoh, masih ada kasus pengoplosan minyak subsidi dengan non-subsidi di masyarakat.

“Subsidi itu amanat negara bahwa rakyat harus dibantu. Bahwa subsidi harus tepat sasaran, basisnya harus data, berapa konsumisnya, jumlah kendaraan itu di mana, distribusi ke mana, itu kelihatan, tapi yang ketiga ada aktor di belakang itu adalah kebocoran-kebocoran minyak itu,” tutur Riko.

Riko menambahkan, “Bisa enggak? Mau enggak Pertamina dikontrol lebih jauh tentang distribusi minyak itu? Belum tentu mau. Mereka selalu mengkoreksi keluar, tapi gagal mengoreksi ke dalam.”

Lalu, apakah angka subsidi tinggi terjadi karena ada orang-orang kaya yang membeli barang subsidi? Riko tidak memungkiri fenomena tersebut. Akan tetapi, ia pesimistis orang yang benar-benar kaya akan menikmati barang subsidi. Dalam kasus bahan bakar, ia yakin pengguna BBM subsidi memang orang yang mencari nafkah dengan kendaraan yang mereka punya seperti driver online.

“Jadi kalau kemudian menyalahkan mobil bahwa rakyat semena-mena menggunakan subsidi, itu bisa kalau misalnya pemerintah mau memperoleh data baru, pemerintah bisa menuding itu. Aku lebih senang menyatakan Pertamina yang gagal melakukan kontrol terhadap minyak. Jadi jangan salahkan rakyatnya. Coba pakai data,” kata Riko.

Riko memahami penggunaan aplikasi MyPertamina sebagai upaya mengurangi subsidi. Akan tetapi, ia melihat kebijakan tersebut sebagai upaya menggambarkan konsumsi BBM bersubsidi di wilayah tertentu. Data di MyPertamina digunakan sebagai basis data untuk kebijakan yang lebih baik. Oleh karena itu, ia menegaskan subsidi tidak boleh dicabut.

Baca juga artikel terkait SUBSIDI BBM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz