Menuju konten utama

Menormalisasi Pemakaian Kebaya, Mungkinkah?

Kebaya kontemporer menjadi peluang untuk mendekatkan tradisi berkebaya pada gaya hidup masa kini, terutama pada generasi muda.

Ilustrasi perempuan berkebaya. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Posisi kebaya saat ini yang masih "berstatus" sebagai pakaian yang istimewa - digunakan pada keperluan yang tidak biasa - pesta pernikahan, wisuda, lamaran, atau acara formal lainnya, membuat kebaya justru berjarak dengan perempuan Indonesia. Tidak seperti perempuan di era sebelumnya, perempuan Indonesia kini jarang terlihat memakai kebaya sebagai pakaian sehari-hari. Selain desain baju modern yang semakin simpel, pakem awal pemakaian kebaya tradisional membuat kebaya semakin sulit dekat dengan gaya hidup perempuan kini. Mungkinkah kebaya kembali akrab dengan perempuan Indonesia, seperti yang masih terjadi pada kimono di Jepang atau sari pada masyarakat India?

Posisi Kebaya Tradisional dan Kontemporer

Dibandingkan dengan cropped top, oversized blazer yang sedang tren di dunia fesyen saat ini, kebaya akan menjadi pilihan gaya yang unik untuk digunakan sehari-hari. Apalagi secara pakemnya, kebaya tradisional biasanya dikenakan bersama kain batik sebagai bawahan serta selendang yang disampirkan di pundak, ditambah dengan penataan rambut yang disanggul atau digelung.

Namun belakangan, kampanye Kebaya Goes to UNESCO geliat dilakukan dalam upaya mendaftarkan kebaya di UNESCO sebagai warisan dunia tak benda (Intangible cultural heritage). Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, gerakan ini mendapat dukungan dari aktris Dian Sastrowardoyo yang mengajak para perempuan muda Indonesia untuk mengenakan kebaya dalam beraktivitas sehari-hari. Penggunaan figur populer dalam mengkampanyekan suatu gerakan, merupakan strategi yang jitu. Namun, cukupkah pengaruh orang populer dalam upaya pelestarian kebaya ini?

Mengembalikan pemakaian kebaya tradisional dalam kehidupan sehari-hari, terbilang tentu cukup sulit dilakukan dalam kehidupan modern yang serba cepat saat ini. Kebaya dengan segala atributnya, bisa jadi menghambat aktivitas, terutama bagi perempuan yang sehari-harinya harus berkejaran dengan waktu dengan ritme kerja orang modern. Gempuran tren mode dari dunia internasional, kini Korea, yang selalu menarik dan trendi juga semakin menyulitkan posisi kebaya, terutama di kalangan generasi muda.

Kebaya kontemporer sepertinya menjadi peluang untuk mendekatkan tradisi berkebaya pada gaya hidup masa kini. “Dari tahun 2001, saya sudah mengenakan kebaya dengan bawahan rok. Tampilan ini kemudian malah menjadi tren setelah muncul di beberapa fashion show yang saya adakan. Bisa dibilang, saya yang menciptakan tampilan yang memadukan kebaya dengan bawahan rok tutu,” ungkap Lenny Agustin, seorang perancang busana ternama yang identik dengan hasil desainnya berupa busana yang penuh warna.

Kebaya yang digunakan Lenny Agustin merupakan gambaran pemakaian kebaya di zaman modern yang telah mendobrak tradisi. Tak lagi tampil dengan gaya klasik yang memadukan kebaya dengan wastra, perempuan muda masa kini lebih senang mix & match kebaya dengan bawahan berupa celana panjang dan rok. Alas kakinya pun bukan selop, melainkan sepatu jenis flat atau sneakers. Selendang yang biasanya disampirkan di pundak, kini dijadikan obi atau ikat pinggang.

Modernisasi yang sulit dibendung memungkinkan modifikasi kebaya. Menurut Lenny, kondisi ini merupakan hal yang wajar. Jika dilihat dari sejarahnya pun, kebaya merupakan hasil modernisasi dari busana perempuan Indonesia yang sebelumnya berupa kain yang dililit menjadi kemben.

“Saya selalu campaign kalau kebaya itu merupakan pakaian yang biasa aja, seperti kemeja atau blus,” jelasnya. Hal ini penting, terutama untuk menjangkau anak-anak muda yang suka berkreasi dan mendobrak aturan.

Pada 2020, Lenny mendirikan Funky Kebaya, yaitu sebuah lini yang ditujukan untuk anak-anak muda yang memilih mengenakan kebaya dengan gayanya sendiri. Selain lini, ia juga membentuk komunitas Funky Kebaya yang beranggotakan para perancang busana dan masyarakat umum yang senang berkreasi mix & match saat mengenakan kebaya.

Ai Syarief, seorang pemerhati mode dan perancang busana, yang bergabung dalam komunitas Warisan Budaya Indonesia (WBI), mengatakan, “Saat ini sudah banyak komunitas yang mendorong anggota perempuannya mengenakan kebaya saat mengadakan pertemuan. Di WBI, anggota-anggotanya yang termasuk generasi milenial juga tak ragu untuk berkebaya sehari-hari saat mereka kuliah atau beraktivitas lain. Mereka sudah memiliki pemahaman yang tinggi tentang cara pemakaian kebaya dan wastra Indonesia, tapi tetap memasukkan gaya yang modern dengan misalnya, memakai topi, sneakers, atau aksesori yang sesuai dengan karakternya untuk memberi kesan modern,” ungkap Ai.

Namun Ai mengingatkan bahwa mengenakan kebaya yang sesuai pakem memang sebaiknya tetap dilakukan saat menghadiri acara-acara resmi dan acara-acara yang berkaitan dengan adat atau keagamaan. Memiliki pengetahuan tentang jenis kebaya dan wastra juga penting agar tidak terjadi kesalahan fatal, misalnya memadukan kebaya dengan wastra yang merupakan kain kematian, atau mengenakan jenis kebaya yang salah untuk acara keagamaan.

Baca juga: Sejarah Kebaya di Masa Kolonial: Busana Perempuan Tiga Etnis

Dukungan Konsisten dari Berbagai Pihak

Figur nenek atau keluarga terdekat menjadi faktor inspirasi bagi perempuan muda di Indonesia untuk mengenakan kebaya.

“Perkenalan saya dengan kebaya dimulai saat saya kecil dan tumbuh bersama nenek yang sehari-harinya mengenakan kebaya dan kain lurik. Pada saat itu, saya memang tidak ikutan nenek untuk memakai kebaya sehari-hari, tapi kebaya dan kain wastra menjadi lekat di diri saya. Segala sesuatu tentang pemakaian kebaya, termasuk mengenakan jarik dan stagen, serta menyanggul rambut, saya pelajari dari nenek,” ungkap Tri Suci Maharani Zatkova, perempuan asal Semarang yang kini menetap di Bratislava, Slovakia.

Bagi Uci, panggilan akrabnya, kenangan nenek dan koleksi kebaya, wastra, yang hanya tersimpan di lemari, semakin membuatnya berkomitmen untuk lebih sering mengenakan kebaya dan wastra untuk sehari-hari walaupun tinggal di negeri orang.

Menurut Ai Syarief, kunci untuk menggugah perempuan Indonesia dan menjadikan kebaya sebagai bagian busana sehari-hari adalah konsistensi dalam mengedukasi dan memberi contoh. “Jika Dian (Sastrowardoyo) ingin mengajak generasi muda Indonesia untuk berkebaya sehari-hari, maka ia harus memberi contoh yang konsisten dengan mengenakan kebaya setiap kali keluar rumah. Tak hanya saat beraktivitas yang diunggah di social media, tapi juga yang tidak (diunggah). Dengan demikian, para perempuan muda ini akan terinspirasi dan berpikir, ‘Kalau Dian bisa maka saya juga bisa!’” tambahnya.

Fafa Utami, praktisi kebudayaan yang juga memakai paduan kebaya dan batik dalam kesehariannya mengatakan, bahwa upaya mengembalikan kebaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari telah dilakukan di kota tempat tinggalnya di Solo, Jawa Tengah. Namun menurutnya, gerakan seperti ini tidak akan berjalan masif secara nasional tanpa dukungan banyak pihak, termasuk pemerintah, industri fesyen, sampai pengaruh budaya pop seperti film.

Infografik Kebaya sebagai Busana Keseharian

Infografik Kebaya sebagai Busana Keseharian. tirto.id/Ecun

Sebagai desainer, Lenny Agustin, berpendapat cara yang efektif untuk menarik minat perempuan muda untuk lebih sering berkebaya adalah dengan membaurkannya dengan tren saat ini, misalnya dengan tren busana muslim dan gaya busana yang lebih modern.

“Ada pejuang-pejuang kebaya yang menginginkan kebaya tetap dikenakan sesuai dengan pakemnya walau untuk sehari-hari. Padahal, dengan berlangsungnya modernisasi, ditambah dengan masuknya berbagai budaya dari luar Indonesia, tidak mungkin untuk ngotot seperti itu. Kebayang tidak, kalau perempuan berhijab harus bersanggul saat mengenakan kebaya? Karena itu, pemakaian kebaya untuk sehari-hari baiknya lebih fleksibel dan harus bisa melebur dengan busana muslim dan busana modern, jangan malah dibenturkan,” ujar Lenny.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah memandang pemakaian kebaya untuk sehari-hari sebagai sesuatu yang normal. Pemikiran Uci ini muncul setelah mendengar cerita teman-temannya di Indonesia yang dipandang dengan tatapan aneh saat memakai kebaya ke tempat-tempat umum, misalnya ke mal. Tanggapan dari orang sekitar seperti, “Habis kondangan, ya?”, atau “Mau ke acara apa?”, membuat teman-teman di generasinya kurang bersemangat untuk mengenakan kebaya sehari-hari.

Uci sendiri telah terbiasa menggunakan kebaya sehari-hari, yang biasanya dipadukan dengan wastra tapi dengan gaya yang ia kreasikan sendiri. Alasannya, agar hasilnya lebih praktis dan nyaman dikenakan saat beraktivitas. Sedangkan untuk acara yang lebih formal seperti resepsi pernikahan, perayaan Natal, atau perayaan hari nasional di Kedutaan Indonesia, ia lebih memilih mengenakan kebaya yang sesuai pakem.

Bila kehadiran kebaya pertama kali adalah hasil dari pengaruh budaya lain yang masuk ke Indonesia, perkembangan kebaya kontemporer yang simpel, sesuai dengan zaman dan selera generasi sekarang, sepertinya bukan sesuatu yang perlu dihalang-halangi - apalagi hanya demi kesakralan budaya tradisional - yang sebenarnya sudah memiliki ruangnya sendiri di ranah tradisi.

Baca juga artikel terkait TRADISI atau tulisan lainnya dari Yunita Lianingtyas

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Yunita Lianingtyas
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Lilin Rosa Santi
-->