Menuju konten utama

Menonton Dunia dalam Berita, Menyaksikan Protes Seniman Zaman Orba

Nostalgia Orde Baru: politikus menjualnya, seniman memprotesnya.

Menonton Dunia dalam Berita, Menyaksikan Protes Seniman Zaman Orba
Lukisan Karya tisna sanjaya dalam pameran dunia dalam berita yang diselenggarakan di museum macan. FOTO/Dok. Museum macan

tirto.id - Hampir setiap pemilu pasca-reformasi Orde Baru jadi bahan kampanye para politikus penjaja nostalgia.

Dalam sebuah pertemuan di Hotel Sahid awal Maret lalu, Prabowo Subianto Djojohadikusumo berkata, “Di dalam Orde Baru pun kalau kita lihat, kalau kita simak, dari 32 tahun Orde Baru bisa dikatakan, katakanlah, 20 tahun pertama, 25 tahun pertama, ada suatu keberhasilan untuk rakyat dan negara".

Dalam debat calon presiden pada pertengahan April 2019, Prabowo kembali mengenang era pemerintahan mantan mertuanya, Soeharto. Ia menyatakan pemerintah saat ini belum bisa menciptakan swasembada pangan serta belum sanggup memperbaiki persentase rasio pajak yang ideal seperti masa Orba.

Ekspresi nostalgis Orde Baru juga dilontarkan oleh Titiek Soeharto. Mantan istri Prabowo ini pernah terang-terangan menyatakan keinginannya agar Indonesia kembali seperti saat masa kepemimpinan ayahnya. Adik Titiek, Tommy Soeharto, bahkan berambisi mendirikan Partai Berkarya yang dalam kampanyenya menjual kenangan hidup di era Soeharto.

Namun, yang punya keinginan untuk kembali ke era Soeharto rupanya bukan cuma mereka yang berkuasa pada zaman itu, melainkan juga sebagian kalangan milenial dan kaum muda generasi z.

Pada 2017, Tirto mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 601 orang berusia 16-35 tahun dan berasal dari kelas ekonomi menengah-atas. Riset menyatakan 78,54% responden menyatakan rezim Orba berjasa dalam membangun dan memajukan Indonesia. Meski dinilai otoriter, para responden menganggap Soeharto mampu menciptakan stabilitas keamanan dan ekonomi.

Propaganda Orde Baru memang berhasil menciptakan ilusi stabilitas tersebut. Padahal, ada banyak sekali konflik sosial dan kekerasan negara terhadap masyarakat, mulai dari penggusuran puluhan desa untuk pembangunan bendungan Kedung Ombo hingga operasi militer di Aceh.

Organ penting propaganda Orde Baru adalah Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang salah satu siarannya bertajuk Dunia dalam Berita. Program yang mengudara setiap malam selama 30 menit dari Juli 1973 hingga Desember 2008. Dalam kurun waktu 35 tahun itu, Dunia dalam Berita senantiasa memperlihatkan kondisi Indonesia yang minim konflik. Sebaliknya, negara-negara Dunia Ketiga, khususnya di Afrika dan Timur Tengah, selalu digambarkan penuh konflik dan kemiskinan.

Tak hanya itu, stasiun-stasiun televisi swasta pun wajib menyiarkan Dunia dalam Berita dan program-program berita lainnya dari TVRI.

Dunia dalam Berita muncul sekitar satu dekade setelah TVRI berdiri. Sejak awal, stasiun televisi tersebut ditujukan sebagai sarana untuk menyuarakan program-program pemerintah. Ide mendirikan stasiun televisi datang dari menteri penerangan era Soekarno, Maladi. Bagi Maladi, siaran televisi mampu menggalang dukungan publik untuk pemerintah.

TVRI pertama mengudara pada 1962 dengan siaran perdana upacara peringatan kemerdekaan Indonesia.

Ketika Soeharto jadi presiden, TVRI dilarang menyiarkan pemberitaan tentang konflik dan hal-hal lain yang dianggap memicu ketidakstabilan dalam masyarakat

Dalam "Television Industry Dynamics in New Order Era The Effect of Broadcasting Policy Towards News Report" (2010), Ishadi S.K. menyatakan TVRI selalu merasa kesulitan untuk menyajikan karya jurnalistik yang berimbang.

Di sisi lain, pemerintah merasa sudah cukup bersikap ‘toleran’ dengan mengizinkan siaran Dunia dalam Berita yang menyajikan kabar dari negara lain.

Selasa (30/4), kurator seni Asep Topan resmi membuka pameran seni "Dunia dalam Berita" di museum MACAN, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ekshibisi menampilkan 10 seniman yang produktif berkarya dengan medium baru sepanjang dekade 1990-an seperti Mella Jaarsma, F.X. Harsono, Heri Dono, Agus Suwage, I Nyoman Masriadi, I Gak Murniasih, Krisna Murti, Tisna Sanjaya, S.Teddy D, dan kolektif Taring Padi.

Dalam pameran itu, F.X. Harsono menampilkan karya yang seketika mengingatkan publik pada kontrol pemerintah terhadap media. Ia menampilkan jajaran potret berbagai program berita televisi pada 1990-an hingga 2000-an awal. Harsono sengaja menyensor beberapa bagian gambar dengan lingkaran putih sebagai penanda 'sensor' terhadap tayangan televisi.

Pada karya lain Harsono mengajak pengunjung pameran bermain dengan memberi mereka kesempatan untuk menggambar apapun yang melintas di pikiran mereka ketika melihat lingkaran putih pada layar televisi.

Karya Tisna Sanjaya juga menunjukkan protes keras terhadap pemerintahan Orde Baru. Ia membuat instalasi dari bambu, membentuknya sedemikian rupa sehingga mirip gerbang kawasan WC Umum. Pada gerbang tertulis bayaran ongkos buang air yang berlaku bagi ABRI. Inilah protes Tisna terhadap praktik Dwifungsi ABRI yang dijalankan selama Orde Baru.

“Setiap orang yang hidup pada masa itu pasti punya memori tersendiri tentang Dunia dalam Berita. Salah satunya karena semua stasiun televisi wajib menayangkan acara itu. Buat saya, tayangan tersebut mewakili sebuah periode. Acara turut memperlihatkan momen penting dalam ranah eksistensi media massa. Buat orang menyadari pentingnya sirkulasi informasi dan kehidupan berdemokrasi yang digambarkan lewat sebuah acara televisi,” kata Asep Topan.

“Sejumlah seniman yang ada pada masa itu terpacu untuk membuat karya dengan cara baru yang diharapkan bisa memberi efek lebih besar pada masyarakat. Mella Jaarsma pertama kali berkarya di luar studio, berproses dalam karya seni yang melibatkan publik. Ini seperti titik balik. Ia mendengar kabar tentang mahasiswa yang berani turun ke jalan dan merasa keresahannya bisa dituangkan dengan cara serupa,” lanjut Asep.

Infografik Pameran Dunia Dalam Berita

undefined

Di mata Asep, periode 1990-an itu juga merupakan era penting dalam sejarah seni Indonesia karena banyak seniman mulai tertantang untuk bereksperimen dengan medium elektronik. Salah satu yang disebut Topan adalah Heri Dono, yang membuat karya video yang terinspirasi dari maraknya warung tenda penjual burung dara.

Ada pula Krisna Murti yang menampilkan instalasi berbentuk jajaran kloset yang menampilkan gambar berbagai jajanan kaki lima.

“Menurut saya karya tersebut ada hubungannya dengan program televisi dan situasi pemerintahan masa itu.”

Di antara nama-nama seniman kawakan yang tampil dalam pameran ini, muncul pula kolektif Taring Padi. Kelompok tersebut muncul pada 1999 sebagai komunitas yang kerap terlibat dalam aksi-aksi protes. Selain menggelar aksi, mereka membuat poster, pamflet, dan spanduk bernada protes yang disebar di pinggir jalan dan ruang publik lain.

“Tayangan favorit saya, Dunia dalam Berita, tidak menampilkan situasi masyarakat yang sebenarnya. Saya dapat info soal ‘realita’ dari stensilan. Dari sana, kami terinspirasi untuk bergerak,” kata Hestu Setu Legi, pendiri kolektif Taring Padi yang peduli terhadap isu hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

Dalam ekshibisi ini gambar-gambar yang dibuat kolektif Taring Padi dibuat dengan teknik cukil kayu. Pada tiap gambarnya tertera pesan-pesan perdamaian’. “Perang hanya mempersulit keadaan”, “Bangun nusantara tanpa tetes darah”, dan lain-lain.

Untuk bisa membaca pesan-pesan itu, para pengunjung ekshibisi harus lebih jeli mengamati ruanganmengingat karya dua dimensi taring padi dikelilingi karya instalasi dan kanvas-kanvas besar dari seniman lain.

“Selama ini pesan-pesannya kurang lebih seperti itu. Kami ingin menanamkan info ini di alam bawah sadar orang yang melihat gambar,” pungkas Hestu.

Baca juga artikel terkait SENIMAN PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf