Menuju konten utama

Menkumham Yasonna Laoly Sebut Wali Kota Tangerang Arogan

Tindakan Wali Kota Tangerang Arif R. Wismansyah terhadap penghentian sejumlah layanan publik dinilai sebagai bentuk arogansi.

Menkumham Yasonna Laoly Sebut Wali Kota Tangerang Arogan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly memberikan keterangan kepada wartawan di kompleks kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (17/7/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, tindakan Wali Kota Tangerang Arif R. Wismansyah yang menghentikan sejumlah layanan di lahan milik Kemenkumham Tangerang sebagai bentuk arogansi.

Atas tindakan Wali Kota Tangerang tersebut, Kemenkumham melaporkan ke Polres Kota Tangerang. Hal ini, kata Yasonna, untuk membuktikan pihak mana yang benar secara hukum.

"Saya bilang ke staf saya uji saja [diproses secara hukum]. Kalau mereka yang benar, kita salah. Kalau kita yang benar, ya kita lihat saja. Jadi ini supaya tidak boleh ada arogansi lah," kata dia di Yogyakarta, Rabu (17/7/2019).

Yasonna menjelaskan, arogansi yang dimaksud adalah tindakan Wali Kota Tangerang yang mengabaikan pelayanan publik dengan menghentikan sejumlah layanan di lahan milik Kemenkumham.

"Dia melupakan tugasnya sebagai pelayanan publik. Menyetop [layanan] lampu. Lampu jalan itu sudah dibayar sama rakyat, kantor kami sudah membayar lampu jalan, bill-nya kan ada. [Lalu] sampah dibiarkan numpuk di situ," kata dia.

Padahal, menurutnya, pelayanan publik yang semestinya didapatkan oleh warga Kota Tangerang tersebut menjadi tanggung jawab kepala daerah.

"Ini, kan, tugas dan tanggung jawab kepala daerah. Tugas wali kota, kan. Dia menghilangkan hal publik yang enggak ada urusannya dengan kita," ujarnya.

Oleh karena itu, pada Selasa (16/7/2019) kemarin pihaknya melaporkan hal ini ke Polres Kota Tangerang agar diketahui kebenarannya dan sah secara hukum. Pasalnya lahan yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Tangerang tersebut, kata Yasonna merupakan milik Kemenkumham.

"Kalau hukum mengatakan kami yang benar, ya kami yang benar. Karena itu, kan, tanah kita, tanah kementerian," katanya.

Ia mencontohkan tanah Kasultanan Yogyakarta tidak dapat digarap seenaknya, meskipun yang menggarap pemerintah pusat harus izin kepada kepala daerah Yogyakarta.

"Walaupun pemeritahan pusat [yang mau menggarap tanah], harus izin, harus ada prosesnya. Dari segi anggaran juga, membangun di atas tanah yang tidak sah kepemilikannya itu juga bermasalah secara hukum," katanya.

Sebelumnya, diketahui Yasonna sempat menyindir Arief saat peresmian Politeknik BPSDM Hukum dan HAM dengan menyebut Arief mencari gara-gara. Pasalnya, Pemkot Tangerang menuding pembangunan gedung saat itu tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) dan mewacanakan lahan Kemenkumham sebagai lahan pertanian di pemkot Tangerang.

"Lah ceritanya itu, kan, pemerintah kota Tangerang kota, memakai banyak tanah kita, dulu itu kantor wali kota tanah Kemenkumham, tapi itu sudah diserahkan. Masih ada tanah-tanah Kemenkumham yang dipakai, dibangun oleh pemerintah kota tidak ada izin dari kita. Nah, kemudian saat kita membangun politeknik sampai sekarang tidak dikeluarkan izinnya. Kita sudah tahu ada, dan disurati apakah ada kekurangan izin perlengkapan, tidak dijawab-jawab," jelas Yasonna.

Yasonna pun mengakui ia menilai pemerintah kota Tangerang tidak ramah kepada Kemenkumham.

Arief lalu memutuskan tidak akan memberikan pelayanan di atas lahan Kemenkumham, tepatnya perkantoran di Kompleks Kehakiman dan Pengayoman, Tangerang.

Pelayanan tersebut termasuk penerangan jalan umum, perbaikan drainase, dan pengangkutan sampah karena Arief keberatan dengan pernyataan Yasonna Laoly yang menyebut Pemkot Tangerang menghambat perizinan di lahan Kemenkumham.

"Itu beliau itu kasihan, kan, bertentangan dengan UU pelayanan publik, dan yang diputuskan fasilitas itu, kan, bukan lagi milik Kemenkumham sudah memiliki pribadi-pribadi warga, kalaupun itu milik siapa pun itu bagian dari layanan publik. Kalau lampu jalan itu, kan, sudah dibayarkan pajaknya langsung," ungkap Yasonna.

Atas terhentinya pelayanan publik tersebut, menurut Yasonna, sejumlah warga sudah mengajukan keluhan.

"Rakyat sudah mulai 'complain', ombudsman sudah menegur, kami juga sudah menyampaikan pengaduan karena kita juga ajukan semacam pengaduan ke beberapa lembaga," tambah Yasonna.

Yasonna mengaku pihaknya sudah mengajukan aduan ke Polri soal tanahnya yang diambil tanpa izin dan di atasnya didirikan bangunan.

"Pertanggungjawaban keuangannya kan juga berat itu karena membangun di suatu tempat yang status hukum tanahnya bukan punya pemeritah kota. Walaupun sama-sama (aparat) negara karena ini kita hitung tanah yang ini, dikuasai itu cukup luas ditaksir harganya Rp500 miliar. Kalau sudah Rp500 miliar, itu pelepasannya kami setuju sudah sampe presiden dengan DPR, tidak mudah," jelas Yasonna.

Ia pun berharap agar Wali Kota Tangerang belajar sebelum membangun bangunan.

"Pastikan dulu tanahnya supaya tidak ada keruwetan di lain waktu, tapi wali kota sudah mengatakan mau bersilturahmi, saya katakan silakan saja, saya mau ke Batam, nanti diatur," tambah Yasonna.

Meski pelayanan publik di kantor Kemenkumham dihentikan, tapi pelayanan untuk masyarakat yang tinggal di Kompleks Kehakiman dan Pengayoman tidak akan dihentikan. Permukiman warga tetap mendapatkan layanan dari pemkot seperti biasa.

Sebelumnya, Arief melayangkan surat bernomor 593/2341-Bag Hukum/2019 tentang nota keberatan dan klarifikasi Wali Kota atas pernyataan Menkumham. Arief mengatakan pemblokadean ini akan dilakukan sampai ada komunikasi dari pihak Kemenkumham.

Tempat-tempat yang dihentikan pelayanannya meliputi Kantor Imigrasi Kota Tangerang, Rumah Penyitaan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Kota Tangerang, Lapas Pemuda, Lapas Wanita, dan Lapas Anak.

Baca juga artikel terkait PELAYANAN PUBLIK atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno