Menuju konten utama

Menjinakkan Polarisasi dan Politik Identitas Jelang Pemilu 2024

Polarisasi bukan tak mungkin terulang di pemilu 2024, letak masalahnya justru ada pada sistem pemilu itu sendiri.

Menjinakkan Polarisasi dan Politik Identitas Jelang Pemilu 2024
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melayani pemilih saat mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan di Kantor KPU Provinsi Sumatera Utara, Medan, Rabu (15/12/2021). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Lmo/rwa.

tirto.id - Masih lekat ingatan Delpedro Marhaen bagaimana urusan pemilu bisa merembet ke hubungan keluarga. Ini ia rasakan pada 2019 lalu, di mana beda pilihan calon presiden membuat hubungan anggota keluarga merenggang.

“Ada polemik di keluarga besar karena ada yang masing-masing mendukung paslon itu dampak terburuknya sampai grup keluarga (WhatsApp) bubar,” kata pemuda berusia 22 tahun tersebut kepada Tirto sambil tertawa geli.

Pemilu 2019 memang hanya menjadi kontes dua pasangan calon. Saat itu, Joko Widodo yang berstatus petahana bersanding dengan ulama Maruf Amin. Sementara di sisi seberang ada purnawirawan jenderal Prabowo Subianto dan eks wagub DKI Jakarta, Sandiaga Uno. Masyarakat pun terpecah. Ribut-ribut soal cebong dan kampret, yang menjadi panggilan sindiran bagi pendukung Jokowi dan Prabowo bergulir di media sosial.

Bagi Delpedro hal serupa bukan tak mungkin terulang kembali. Sebagai aktivis mahasiswa yang getol mengikuti dinamika politik dan kerap terjun dalam aksi-aksi besar seperti Reformasi Dikorupsi dan protes Omnibus Law , Pedro memahami kejadian yang sama bisa kembali terjadi melihat tingginya ambang batas pencalonan yang kini ditetapkan.

Di satu sisi, Delpedro melihat di tengah ingar bingar rapat-rapat besar partai dan saling bertandangnya elit-elit partai di pertengahan 2022 ini, belum satupun partai menawarkan program yang memadai. “Tidak ada program atau ide yang ditawarkan atau gimmick politik aja antara koalisi poros 1, poros 2, atau poros 3 tanpa menawarkan politik substansialnya, ide, gagasan yang sebenarnya mereka mau perjuangkan atau tawarkan apa,” kata Pedro.

Riuh Polarisasi

Meski jalan menuju pemilu 2024 baru akan berlangsung kira-kira 1,5 tahun lagi, namun isu potensi polarisasi pemilu telah menjadi salah satu pokok pembicaraan.

Dalam sebuah kunjungan ke calon ibu kota negara baru, Penajam Paser, Kalimantan Timur, Presiden Joko Widodo mengungkapkan perhatiannya pada isu tersebut lalu. Di hadapan pimpinan media-media, ia mengungkit bagaimana polarisasi tidak selesai meski pesaingnya di pemilu terdahulu, yakni Prabowo dan Sandiaga, kini duduk di kursi kabinet pemerintahannya. Prabowo kini menjabat menteri pertahanan, sementara Sandiaga duduk sebagai orang nomor satu di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

“Tadinya saya kira akan selesai setelah saya memasukkan Pak Prabowo dan Pak Sandi ke dalam pemerintahan,” kata Jokowi pada 22 Juni lalu, seperti diberitakan Koran Tempo.

Di kesempatan yang sama, Jokowi pun mengaku mendapat usulan agar sejumlah nama bisa bersanding dengan tokoh tertentu agar bisa membendung polarisasi. Beberapa usulannya adalah supaya sosok seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersanding dengan Ketua DPR Puan Maharani, atau Anies dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Tak hanya Jokowi yang mengangkat isu potensi polarisasi. NasDem sebelumnya juga mengangkat isu ini. Ketua DPP NasDem mengatakan setidaknya di pemilu 2024 setidaknya ada tiga pasangan calon. "Menimbulkan efek negatif dengan terjadinya polarisasi di masyarakat. Jika lebih dari dua pasang capres, memungkinkan masyarakat punya banyak alternatif pilihan," kata Ketua DPP NasDem Saan Mustopa awal Juni lalu.

Isu polarisasi memang setidaknya terjadi dalam dua pemilihan presiden terakhir.

Peneliti Australia National University Marcus Mietzner menganalisa polarisasi terjadi ketika dua calon Jokowi dan Prabowo maju dalam pertarungan pada 2014. Ia melihat dua calon ini mewakili kelompok yang berbeda.

Jokowi dianggap mewakili kelompok teknokrat populis yang mana mengedepankan citra pragmatis. Ia juga dianggap tokoh pembeda yang bukan bagian dari elit politik masa lalu dan militer. Adapun Prabowo dianggap mewakili kelompok ultranasionalis yang berusaha dekat kelompok masyarakat kecil.

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Whisnu Triwibowo dalam artikelnya di The Conversation menjelaskan jurang polarisasi semakin dalam ketika pada Pemilu 2014, Prabowo yang kalah tipis dari Jokowi tidak mengakui kekalahannya.

Ditambah lagi, isu polarisasi terbawa saat kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Saat itu Anies yang didukung Prabowo menang melawan Basuki Tjahaja Purnama, yang notabene didukung oleh partai-partai yang mendukung kemenangan Jokowi di Pilpres 2014.

Polarisasi di tengah masyarakat pun semakin terbentuk kala Jokowi kembali bertemu Prabowo di pemilu 2019.

Desain Pemilu dan Potensi Politik Identitas

Wakil Direktur Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia Hurriyah mengingatkan isu polarisasi, seperti yang diresahkan sejumlah elit tak lepas dari andil mereka sendiri. Pasalnya fraksi-fraksi mereka di parlemen menghasilkan undang-undang pemilu yang mempersempit peluang banyak calon untuk maju.

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa partai bisa mengusulkan calon presiden sendiri, bila berhasil memperoleh 20 persen dari total kursi di DPR, di pemilu sebelumnya. Jika berkaca dengan jumlah 575 kursi di DPR saat ini, artinya satu partai perlu memiliki minimal 115 kursi untuk lolos syarat pengusungan presiden.

Berkaca dari hasil Pemilu 2019, praktis hanya PDI-P satu-satunya partai yang bisa mengusung calon presidennya sendiri lantaran mereka memiliki 128 kursi pada pemilu 2024. Adapun perolehan kursi partai lain tak mencapai ambang batas untuk mengusulkan calon presiden mereka sendiri.

Oleh karenanya, Hurriyah mengingatkan polarisasi yang terjadi sebelumnya bukannya tak mungkin terulang.

Ia pun mengkritik desain pemilu hasil buatan partai-partai di parlemen. Ia mengatakan ini mengakibatkan kejenuhan di tengah warga, yang sudah

"Parpol harus bertanggung jawab atas kerusakan besar yang mereka buat di Pemilu 2019 lalu. Apa itu? Satu mempersempit ruang kompetisi politik melalui PT (presidential threshold)," kata Hurriyah.

Hurriyah mengatakan dampak polarisasi bagi warga pun bisa diperburuk dengan munculnya politik identitas. Ia menyebutkan hal ini digerakkan oleh kelompok yang jadi tim sukses pihak tertentu namun bergerak di tataran digital dalam bentuk tim pendengung. Mereka, menurut Hurriyah membenturkan nilai yang dibawa lawan politiknya.

“Ada yang mengangkat dengan isu nasionalisme, menjaga kebhinekaan, keindonesiaan jadi dibenturkan. Saya melihat yang dilakukan ada membenturkan antara berbagai isu yg berkaitan dengan identitas. Identitasnya itu bisa apa aja, bisa kesukuan, keindonesiaan, agama, nasionalisme atau identitas kelompok,” kata Hurriyah.

Hurriyah juga menambahkan kecenderungan mereka yang akan menjadi tampil bertarung pada pemilu belum menjual program dan justru fokus pada jualan politik identitas. “Akhirnya ketika tidak ada basis untuk kampanye programatik yang kuat, yang mencerminkan preferensi ideologis mereka akhirnya cara-cara untuk mendapatkan dukungan dengan memainkan emosi massa itu yang menjadi cara paling efektif,” kata Hurriyah.

Hurriyah mengatakan upaya saling serang pun sudah terasa. “Sekarang begini kita lihat di media sosial perilaku para buzzer ini kan masih terus dibawa. Minimal ini dilakukan oleh tim-tim pendukung politisi yang dianggap potensial sebagai capres,” kata Hurriyah.

Peneliti Center for Strategic and International Studies Arya Fernandes mengatakan baiknya elit partai pada kali ini mencoba fokus pada narasi yang dibutuhkan masyarakat. Ia melihat baiknya partai membangun narasi soal kepemimpinan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan seperti harga pangan, krisis iklim, dan kesenjangan.

"Di tengah tantangan domestik dan tantangan di global saya kira partai perlu mengangkat narasi kira-kira di tengah tantangan seperti itu, kira-kira kita butuh pemimpin yang seperti apa? Nah, itu mungkin dari sisi publik lebih bermanfaat," kata Arya.

Baca juga artikel terkait POLARISASI PEMILU atau tulisan lainnya dari Johanes Hutabarat

tirto.id - Politik
Reporter: Johanes Hutabarat
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi