Menuju konten utama

Menjawab Mitos-mitos Soal Hand Sanitizer

Salah satu pertahanan utama dalam melawan virus adalah kebersihan tangan.

Menjawab Mitos-mitos Soal Hand Sanitizer
ilustrasi seorang wanita menggunakan hand sanitizer. foto/istockphoto

tirto.id - Siapa yang menyangka sebuah bola bisa menjadi medium penyebaran penyakit? Hal tersebut pernah terjadi pada pertandingan college football antara Duke University melawan Florida State pada 1998. Dalam pertandingan level universitas tersebut, salah satu anggota tim Duke University menulari tim lawannya setelah dia menderita keracunan makanan.

“Satu-satunya kontak antara kedua tim adalah di lapangan,” kata Dr Christine Moe, asisten profesor epidemiologi di University of North Carolina di Chapel Hill, dikutip dari ABC News. “Virus itu disalurkan oleh orang-orang yang saling menyentuh tangan, seragam, dan bahkan football yang terkontaminasi.”

Pertandingan itu kemudian menjadi kasus pertama yang diteliti dan salah satu yang mengubah kebiasaan dalam persiapan pertandingan olahraga di Amerika Serikat. Setelah itu, para peneliti mendesak para pelatih untuk mencadangkan pemain yang sakit dan menekankan pentingnya membersihkan tangan.

Lebih dari dua dekade berlalu, kita kembali diingatkan pentingnya membersihkan tangan untuk mencegah COVID-19. Maklum, tangan adalah anggota tubuh yang paling sering digunakan, mulai dari memegang sesuatu, menulis, dan makan.

Pertahanan utama dalam melawan virus corona adalah kebersihan tangan. Sabun, air, dan hand sanitizer sama-sama memiliki peran penting dalam hal ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan membersihkan tangan karena dinilai efektif dalam menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit.

Dengan membersihkan tangan, maka bakteri, kuman, dan virus yang ada di tangan tidak akan masuk ke saluran pencernaan dan pernafasan, serta tidak menempel di benda-benda yang bisa saja menjadi medium penyebaran penyakit.

Kalau sabun sudah ditemukan sejak tahun 2800 SM pada masa Babilonia, cikal bakal hand sanitizer baru mulai berkembang 2.000 tahun setelah itu. Tahun 200-an, Claudius Galen menyarankan alkohol sebagai pengobatan untuk luka. Selanjutnya, pada 1363 Guy de Chauliac menggunakan anggur panas untuk mengobati luka. Sementara sekarang, alkohol adalah bahan utama pembersih tangan antiseptik.

Sifat antiseptik alkohol memang telah dikenal cukup lama. Namun peran alkohol dalam kebersihan tangan dan perawatan kesehatan baru teridentifikasi pada 2002, ketika Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) secara resmi merekomendasikan penggunaan hand sanitizer untuk perawatan kesehatan.

Infografik Hand Sanitizer Lifebuoy

Infografik Mitos Seputar Hand Sanitizer. tirto.id
Hand Sanitizer Tidak Efektif, Berbahaya, dan Bikin Kulit Kering?

Selama beberapa dekade terakhir, hand sanitizer semakin populer, baik di dunia perawatan kesehatan maupun di kalangan masyarakat umum, apalagi pada masa pandemi seperti sekarang. Salah satu merek hand sanitizer yang banyak diminati adalah Lifebuoy Hand Sanitizer; hand sanitizer pertama di dunia yang tidak hanya membunuh kuman tapi juga mengaktifkan peptida kulit untuk meningkatkan imunitas kulit.

Meski makin populer, hand sanitizer tak lepas dari berbagai mitos salah yang melingkupi. Misalkan perkara efektivitasnya, yang dianggap tak efektif. Keraguan itu ditepis oleh studi CDC yang menyatakan jika produk dengan setidaknya 60 persen alkohol adalah alternatif yang efektif dari sabun. Lifebuoy Hand Sanitizer mengandung 62 persen alkohol.

Selain soal kandungan alkohol, CDC juga menyarankan langkah-langkah dalam menggunakan hand sanitizer, antara lain mengoleskannya ke salah satu telapak tangan mengikuti instruksi label produk, menggosok kedua tangan, dan menggosok produk ke seluruh permukaan tangan dan jari hingga punggung tangan sampai kering.

CDC memang merekomendasikan menggunakan hand sanitizer ketika sabun dan air tidak tersedia. Menurut WHO, hand sanitizer lebih cepat dan lebih efektif melawan kuman tertentu, serta lebih praktis daripada sabun dan air. Akan tetapi untuk petugas kesehatan, baik CDC maupun WHO mengarahkan petugas kesehatan menggunakan pembersih berbasis alkohol untuk membersihkan tangan mereka.

Selain soal mitos efektivitas, mitos lain terkait hand sanitizer adalah: produk ini berbahaya dan dapat menyebabkan resistensi antibiotik serta menciptakan kuman berikutnya yang kebal. Pada kenyataannya, itu sama sekali tidak benar.

Sifat antibiotik bisa timbul jika ada sesuatu yang dicerna, sesuatu yang tidak terjadi pada hand sanitizer berbasis alkohol. Alkohol dengan cepat membunuh spektrum kuman secara luas, menghancurkan membran sel, mendenaturalisasi protein dalam kuman, dan tidak tertinggal di kulit untuk membiarkan kuman menjadi resisten. Masih menurut CDC, penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaan antibiotik (terutama yang dikonsumsi) secara berulang dan tidak tepat.

Kemudian ada kekhawatiran juga hand sanitizer bisa mengurangi kuman atau bakteri “baik” di tangan kita. Padahal, kuman atau bakteri “baik” itu memang bisa saja terbunuh, tapi akan dengan cepat tumbuh kembali jika tubuh kita benar-benar membutuhkannya.

Mitos lain yang juga sering dikhawatirkan: semakin sering menggunakan hand sanitizer akan membuat kulit tangan menjadi kering. Lagi-lagi, ini tidak sepenuhnya benar dan tidak bisa digeneralisasi. Semua tergantung komposisi yang ada dalam pembersih tangan tersebut.

Kabar baiknya, Lifebuoy Hand Sanitizer dikembangkan dengan pelembab alami dan vitamin E, sehingga tidak merusak kulit. Bukan hanya tak merusak kulit, produk Lifebuoy ini juga bisa membunuh kuman tanpa perlu dibilas, serta bisa membantu meningkatkan imunitas kulit dalam melawan kuman dengan pemakaian teratur.

Sebenarnya selain hand sanitizer, kita juga bisa menggunakan produk kebersihan lain dari Lifebuoy, yaitu sabun cuci tangan (hand wash) dan sabun cair (body wash). Seperti rekomendasi CDC, semua jenis sabun bisa dipakai untuk mencuci tangan dan mencegah penyebaran COVID-19, tak perlu selalu sabun cuci tangan atau sabun anti-bakteri. Namun dengan hadirnya hand sanitizer, setidaknya kita punya opsi yang lebih praktis, apalagi ketika sedang berada di tempat yang tak ada air.

Lifebuoy selalu menjagamu di mana dan kapan saja, termasuk ketika kamu bepergian keluar di era new normal ini. Lifebuoy bekerja sama juga dengan mitra seperti Grab, Gojek, dan Bluebird untuk memastikan perjalananmu terlindungi dari bakteri dan virus.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis