Menuju konten utama

Menjajaki Kornea Babi sebagai Solusi Kebutaan Manusia

Donor kornea kini langka, terutama dari negara-negara kawasan Asia dan Afrika.

Menjajaki Kornea Babi sebagai Solusi Kebutaan Manusia
Ilustrasi transplantasi kornea. AP/Gemunu Amarasinghe

tirto.id - Selain katarak, penyakit mata yang menyebabkan kebutaan terbesar di dunia adalah kerusakan kornea. Jika solusi operasi sudah tersedia untuk katarak, operasi transplantasi kornea seringkali tersandung ketiadaan donor. Kornea sintetis yang berasal dari hewan akhirnya diajukan sebagai jawaban.

Menurut data WHO, setelah katarak, penyebab kedua kebutaan adalah trakoma, yakni infeksi bakteri pada mata yang dapat menyebabkan jaringan parut pada kornea dan vaskularisasi. Katarak menyumbang 20 juta kebutaan dari 45 juta kebutaan di seluruh dunia, sedangkan trakoma menyumbang 4,9 juta kebutaan.

Selanjutnya kasus kerusakan kornea yang sering tidak dilaporkan adalah okular trauma dan ulkus kornea. Kedua penyakit itu bertanggung jawab atas 1,5-2 juta kasus baru kebutaan monokular setiap tahun. Sayangnya, tak semua dari pasien kerusakan kornea dapat melangsungkan transplantasi kornea.

Mereka harus bersabar dan rela mengantre untuk mendapat donor yang sangat sedikit jumlahnya. Apalagi pada pasien anak, mereka harus mendapat donor sesama anak karena ketebalan kornea yang lebih tipis. Kelangkaan pendonor membikin waktu antrian panjang dan tak jarang memupuskan semangat pasien untuk kembali melihat.

“Padahal sebesar 80 persen kerusakan penglihatan dan kebutaan dapat dicegah, termasuk kebutaan akibat kerusakan kornea dengan transplantasi,” papar dr. Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, Ketua Bank Mata Indonesia.

Di dunia daftar tunggu transplantasi kornea kebanyakan berasal dari negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Faktor budaya dan kepercayaan lah yang menjadi batu sandungan bagi negara-negara tersebut untuk mendonorkan korneanya. Kepercayaan negara-negara tertentu menyebutkan pembedahan pada mayat akan menyakiti rohnya.

Di India, perbandingan jumlah kasus per tahun dengan daftar tunggu transplantasi kornea bisa mencapai 1:300. Cina sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia memiliki perbandingan daftar tunggu hingga 1:40.000. Bandingkan dengan Inggris yang jumlah daftar tunggunya hanya 1:5 dari jumlah kasus per tahun. Atau Amerika dan Australia yang sama sekali tak memiliki daftar tunggu pasien.

Kebutuhan kornea di Indonesia sendiri masih dicukupi dari impor kornea dari Amerika dan Belanda. Daftar tunggu pasien transplantasi kornea di Indonesia berjumlah lebih dari 20 ribu orang per tahun, sementara donor kornea dalam tiga tahun hanya mencapai 35 orang. Impor kornea hanya menutupi 5-10 persen kebutuhan kornea di dalam negeri.

“Transplantasi sangat tergantung pada ketersediaan kornea donor yang penyediaannya dikelola bank mata," kata Tjahjono.

Kornea Babi sebagai Solusi?

Cangkok kornea lazimnya diambil dari pendonor yang merelakan korneanya diambil ketika telah meninggal. Untuk melakukan tindakan ini, sebelumnya pendonor harus mengisi formulir kesediaan yang disertai saksi keluarga. Tujuannya agar keluarga dapat menginformasikan kematian pendonor kepada lembaga donor sesegera mungkin. Juga untuk menghindari penolakan saat proses pengambilan kornea.

Dalam waktu kurang dari enam jam setelah pendonor meninggal, kornea harus sudah diambil. Jika melebihi waktu tersebut, jaringan kornea akan mati dan tak bisa digunakan. Selanjutnya, dokter akan memeriksa kornea pendonor dan memastikan keadaannya bagus serta tidak terinfeksi. Kornea akan disimpan dalam cairan khusus agar dapat bertahan selama 14 hari.

Meski negara-negara yang kekurangan pendonor selalu disokong oleh negara yang berlebih seperti Amerika Serikat, kebutuhan donor kornea manusia di seluruh dunia jauh melebihi pasokan. Perlu terobosan mengatasi masalah ini, dunia tak bisa terus bergantung pada donor kornea dari manusia.

Pada tahun 2011, Hidetaka Har dan David K.C. Cooper sempat menyatakan dalam penelitiannya kemungkinan menggunakan kornea dari spesies lain, terutama babi. Hipotesis mereka berdasar pada prinsip kemiripan sifat biomekanik kornea manusia dengan babi. Percobaan transplantasi kornea babi ke primata saat itu telah mendekati kesuksesan. Meski terdapat sedikit penolakan imunitas pada primata, akan tetapi mereka menyakini hal tersebut dapat diatasi beberapa tahun ke depan.

Infografik Berbagi Kornea

Sebagai negara yang punya daftar tunggu transplantasi kornea tinggi, Cina akhirnya menjadi pionir dalam mengusahakan substitusi kornea manusia. Masalah penolakan imunitas pada primata akhirnya berhasil mereka atasi. Cina sukses melakukan transplantasi kornea babi ke manusia, demi memberi solusi kelangkaan donor kornea di seluruh dunia.

Negara ini sudah mulai menunjukkan hasil signifikan pada penelitian mereka pada 2010. Saat itu, Rumah Sakit Tongren Beijing dan Rumah Sakit Wuhan Xiehe telah melakukan uji klinis Acornea, kornea babi yang direkayasa secara bio-engineering. Hasilnya menyatakan tingkat keberhasilan 94,44 persen, hampir sama dengan tingkat keberhasilan donor kornea manusia.

Lalu, pada 2015, Institut Mata Shandong di Cina Timur mengumumkan transplantasi Acornea berhasil dilakukan pada manusia. Relawan yang berhasil mendapatkan donor kornea sintetis tersebut adalah Wang Xinyi, pria berumur 60 tahun ini menderita ulkus kornea serius dan hanya bisa melihat objek bergerak dalam jarak 10 cm.

“Visi pasien berangsur membaik setelah tiga bulan masa pemulihan, artinya transplantasi sukses,” kata Zhai Hualei, direktur divisi kornea institut.

Sejak saat itu perusahaan bernama China Regenerative Medicine International (CRMI) memutuskan mengembangkan rekayasa kornea babi dan mulai memasarkannya ke dunia pada Juli 2015 lalu. Keberhasilan Cina menciptakan substitusi kornea telah menyelesaikan sepertiga hingga setengah kasus kebutaan kornea di negara tersebut. Negara itu telah membuka jalan ke era baru: dunia tanpa kebutaan kornea.

Baca juga artikel terkait KEBUTAAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani