Menuju konten utama

Menjaga Semangat Warga Melawan PT RUM: dari Ngamen hingga Dakwah

Warga menjaga semangat perjuangan melawan PT RUM dengan ngamen dan dakwah.

Menjaga Semangat Warga Melawan PT RUM: dari Ngamen hingga Dakwah
Ilustrasi Pelawanan Warga Terhadap PT RUM. tirto.id/Lugas

tirto.id - Informasi mengenai penangkapan tujuh aktivis beredar cepat. Salah satu penggerak Forum Warga Terdampak Limbah Pabrik PT. RUM dari Desa Celep, Tugino, 48 tahun, bilang informasi beredar cepat ke telinga warga karena memang koordinasi antar warga desa yang masif. Para aktivis tertangkap dini hari, informasi sudah tersebar pada pagi hari.

Gino, sapaan akrabnya, mengaku kabar penangkapan itu bikin warga desa Celep, Gupit, Pengkol, dan Plesan ketakutan dan sempat down. Penangkapan tujuh orang itu terbukti ampuh bikin semangat perlawanan warga diredam sementara waktu.

“Apalagi pasca penangkapan, tiap malam banyak mobil-mobil tak dikenal lewat kampung-kampung warga. Mereka berkeliaran,” kata Gino saat saya temui, 26 Februari lalu.

Namun, bagi Gino dan para penggerak forum warga lainnya, keadaan seperti ini tak bisa dibiarkan lama-lama. Usai penangkapan tujuh aktivis, Gino dan beberapa orang lainnya menginisiasi untuk pengurus-pengurus forum merapatkan diri dan berkonsolidasi.

Usai penangkapan itu, mereka merancang tiga fokus gerakan warga: memompa kembali semangat warga, membantu tujuh aktivis yang ditangkap, dan tetap fokus mengawal isu awal ke PT. RUM.

Tujuh orang aktivis warga ditangkap usai demo besar-besaran di depan kantor PT. RUM, 22-23 Februari 2013. Sukemi Edi Susanto, Kelvin Ferdiansyah, Brillian Yosef Nauval, Hisbun Payu alias Iss, dan Sutarno ditangkap atas tuduhan perusakan barang dan fasilitas. Sedangkan Danang Tri Widodo dan Bambang Hesti Wahyudi dituding melakukan provokasi dan ujaran kebencian di media sosial. Mereka berdua dijerat UU ITE—pasal karet yang telah memakan banyak korban sejak 2008.

Penangkapan atas tujuh orang tersebut adalah buntut panjang dari demonstrasi besar-besaran warga Kabupaten Sukoharjo kepada PT. Rayon Utama Makmur (RUM). Mereka protes lantaran aktivitas produksi PT. RUM di Kabupaten Sukoharjo menimbulkan limbah udara dan air yang merugikan warga.

Kata Gino, usai penangkapan, forum warga jadi makin sangat waspada. Mereka akhirnya menunjuk seseorang untuk menjadi koordinator di tiap desa. Orang itu nantinya akan disebut Koordes. Tugas dan perannya cukup vital: rutin bertemu, menguatkan, dan menggerakkan warga di desa masing-masing. Ia juga bertugas untuk mengkomunikasikan ke antar Koordes jika terjadi suatu hal di desanya. Gino adalah salah satunya.

“Kami kasih peringatan ke warga untuk hati-hati dan saling menguatkan. Saling berkabar dan berkoordinasi ke Koordes dan pengurus forum warga. Kita meyakinkan warga kalau kita enggak salah. Penangkapan-penangkapan itu saja lucu dan banyak salah prosedur kok,” katanya.

Salah satu cara yang menarik dan efektif untuk meyakinkan para warga di tiap desa adalah seperti yang dilakukan oleh Tomo, 40 tahun. Dia adalah salah satu penggerak forum warga dari Desa Pengkol. Tomo memberikan penjelasan dasar teologis perjuangan rakyat membela kelestarian lingkungan alias dengan cara berdakwah.

Tiap forum pertemuan warga, Tomo menjelaskan bahwa agama Islam meyakini bahwa alam semesta adalah nikmat yang harus dijaga dan tak boleh merusaknya. Ia beberkan ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi tentang kewajiban menjaga lingkungan hidup dan kelestarian alam. Semua bermuara untuk mewariskan kelestarian alam ke generasi penerus.

“Kita meyakinan mereka [PT. RUM] yang salah. Mereka yang merusak. Mereka berbuat dzolim. Sehingga akan timbul semangat ke warga. Semangat dipupuk dari situ,” kata Tomo bercerita kepada saya, 25 Februari lalu.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Tomo tak terlepas dari profesi kesehariannya. Ia adalah seorang staf kantor di Pondok Pesantren Al-Ukhuwah, Sukoharjo. Jam kerja formalnya dimulai dari pagi hingga sore.

Rumahnya yang berada di Dusun Tegalsari, Desa Pengkol, tersebut juga menjadi tempat pengajian TPQ saban Selasa, Kamis, dan Sabtu sore. Santri-santrinya datang lintas usia dari SD hingga SMA. Kegiatan itu sudah berlangsung selama delapan tahun terakhir. Saat menyambangi rumahnya, ada ruangan khusus seluas 10 meter kali lima meter, dengan beberapa papan tulis dan banyak kitab suci umat Islam.

Tak hanya soal landasan teologis, Tomo mengaku warga juga perlu diberi landasan pengetahuan hukum. Apalagi, forum warga terdampak memang kerap mengundang LBH Semarang—yang juga merupakan kuasa hukum tujuh aktivis—untuk ikut dalam rapat warga dan memberikan pencerahan soal hukum kasus PT. RUM.

“Ternyata negara kita negara hukum memang sudah mencantumkan hak-hak asasi manusia. Bahwa setiap warga negara berhak mendapat lingkungan hidup yang sehat, termasuk air dan udara yang bersih. Setiap warga berhak memperjuangkannya,” kata Tomo.

“Modal utama kita selalu ngomong ke warga kalau harus berani karena benar. Kita merasa benar. Kita berjuang di jalur yang benar. Untuk meyakinkan warga karena benar, kita butuh dasar-dasar tadi [teologi dan hukum],” lanjutnya menggebu-gebu.

Apa yang dilakukan para penggerak macam Gino dan Tomo adalah cara kecil untuk meyakinkan dan memompa semangat warga bahwa: kriminalisasi tak boleh membuat mereka takut dan jera.

“Hikmahnya: kasus PT. RUM ini memaksa warga untuk belajar dan paham ilmu kimia dan ilmu hukum,” kata Gino mantap.

Dari dalam Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah, para aktivis yang mendekam di dalam bui pun menyuarakan hal yang sama. Saat masa sidang hingga vonis dan menjalani masa tahanan, mereka kerap memberi pesan kepada warga agar tidak takut dan jera.

Apalagi, kata Bambang, limbah udara yang dihasilkan akan berkontribusi besar menjadi penyakit di dalam tubuh.

“Jangan jera. Kenapa? Bagi saya, saya tahu, polusi udara khususnya H2S, itu akan sangat merugikan khususnya organ tubuh manusia yang hirup secara langsung terus menerus,” kata Bambang.

Hal senada juga dikatakan oleh Sukemi.

“Kalau jera sih enggak. Hukum itu kan yang penting duit. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Siapa yang punya duit, ia berkuasa. Bukan rahasia lagi. Ini kan konflik lingkungan, polusi udara dan air. Selama sumber-sumber itu masih ada, InsyaAllah saya akan terus melawan. Yang penting saya sudah tahu konsekuensi hukumnya. Cukup tahu,” katanya.

Ngamen dan Pinjam Kas Masjid

Selain fokus untuk memompa kembali semangat warga, salah satu fokus kerja forum warga adalah membantu tujuh aktivis yang dikriminalisasi dan memastikan keluarga yang ditinggalkan tetap diberi bantuan. Apalagi aktivis semacam Danang, Sukemi, dan Sutarno, yang selain berasal dari keluarga ekonomi kecil, juga ada keluarga yang harus dihidupi.

Selama proses hukum berjalan, Gino mengatakan forum warga terus memastikan untuk tetap memberikan bantuan ke para keluarga, dalam bentuk sembako maupun uang tunai. Bantuan diberikan secara berkala: harian, mingguan, atau bulanan.

Selain mengumpulkan dana kolektif dari warga desa, para penggerak forum warga dan mahasiswa juga menginisiasi penggalangan dana lewat mengamen. Mengamen dilakukan paling tidak seminggu sekali di tempat-tempat publik, seperti Alun-Alun Sukoharjo. Selama ngamen tentu mereka membawa embel-embel “solidaritas untuk para warga Sukoharjo yang ditangkap.”

“Kami ngamen selama teman-teman dikriminalisasi untuk kasih bantuan mereka di penjara dan keluarga yang ditinggalkan. Malah sempat beberapa kali diusir oleh aparat. Alasannya enggak ada izin. Kami harus bikin izin pemberitahuan ke Polsek Nguter,” cerita Gino.

Tak hanya ngamen, Gino juga bercerita forum warga juga kerap buat cetak sablon kaos, bertuliskan #PrayForSukoharjo. Dananya untuk membantu para aktivis dan keluarganya.

Salah satu bagian terberat saat mengumpulkan dana adalah ketika mereka harus mengumpulkan dana sebesar 25 juta rupiah untuk membayar ke Lapas Kedungpane, Semarang. Dana itu untuk memastikan tujuh aktivis yang ditangkap masuk ke dalam Blok J, yang merupakan blok kriminal khusus, bukan kriminal umum.

“Bingung kita. Rapat mendadak. Kami akhirnya inisiatif menggunakan dana kas di masjid-masjid tiap desa. Utang dulu. Masjid juga enggak keberatan. Uang ngamen juga salah satunya untuk kembali dana kas masjid. Masjid di Celep, desa saya, terkumpul tiga juta rupiah. Warga satu juta. Total empat juta,” katanya.

Semua hal di atas yang dilakukan oleh para penggerak forum warga dilakukan sembari fokus mengawal isu utama PT. RUM. Forum warga ini yang tetap konsisten bergerak memprotes pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. RUM sejak tahun 2017, kendati beberapa kali berganti nama.

Mulai dari Forum Komunikasi Masyarakat [Desa] Plesan, Gupit, Celep, Pengkol (FKM-PGCP) saat demo besar-besar Februari 2018, berubah nama Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sukoharjo setelahnya. Dan akhirnya saat ini bertahan dengan nama Forum Warga Terdampak Limbah Pabrik PT. RUM.

Infografik HL Indept PT RUM

Infografik Sukoharjo vs PT RUM. tirto.id/Lugas

Bebas dan Terus Melawan

Bulan Juli 2019 menjadi bulan yang melegakan bagi forum warga, tujuh orang aktivis dinyatakan bebas. Bambang bebas pada tanggal 2, Danang pada tanggal 13, Kelvin, Bril, Sutarno, dan Sukemi pada tanggal 25. Sedangkan Iss bebas paling akhir yaitu 2 Agustus. Bulan Agustus itu juga menjadi tenggat terakhir PT. RUM untuk mengelola limbah selama 18 bulan sesuai SK Bupati Wardoyo yang diteken 24 Februari 2018 silam.

Berdasarkan laporan forum warga didampingi LBH Semarang, pada 1 Agustus 2019, Komnas HAM merekomendasikan Bupati Wardoyo untuk ambil tindakan tegas jika pada tenggat yang ditetapkan PT. RUM belum juga bisa memenuhi kewajibannya untuk menjaga lingkungan hidup.

Karena keresahan dan tuntutan warga yang makin meluas, tanggal 25 Oktober 2019, Bupati Wardoyo mengeluarkan perintah ke PT. RUM sebagai sanksi administratif paksaan pemerintah kedua, untuk melakukan pengurangan volume produksi dan menanggulangi dampak bau, yang apabila tidak dilaksanakan akan ada sanksi pemberhentian sementara.

“Bupati telah memberikan sanksi adminitratif, namun PT. RUM tidak melaksanakan paksaan pemerintah tersebut. Harusnya Bupati menaikan sanksi menjadi pembekuan izin, atau pencabutan izin. Bukan justru memberikan sanksi paksaan kedua. Sampai saat ini bau masih dirasakan warga,” kata pengacara LBH Semarang, Cornel Gea.

Tuntutan warga menjadi tak terbendung lagi. Lagi-lagi warga melakukan aksi besar di depan PT. RUM pada 21 Desember 2019 silam. Warga sudah capek dengan bau yang terus menghantui beberapa desa di Kabupaten Sukoharjo.

Kekesalan itu salah satunya ditunjukkan oleh Veny, istri Sukemi aktivis mantan napi yang sudah bebas, saat orasi di atas mobil mob siang itu. Mengenakan baju berwarna biru dan kerudung coklat, di samping anak-anaknya, Veny berapi-api mengkritik pihak Pemerintah Kabupten dan kepolisian yang tak tegas menindak PT. RUM, termasuk Direktur Utamanya, Pramono.

“Kalau memang benar kalian melindungi rakyat, sekarang juga tangkap Pramono seperti kalian menangkap suami saya malam-malam! Ini semua dilakukan hanya untuk menghirup udara bersih!”

Baca juga artikel terkait LIMBAH PT RUM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Mild report
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mawa Kresna